Peta Jalan Politik Golkar
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Pengajar Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
16 Mei 2016
MUSYAWARAH nasional
luar biasa (munaslub) Partai Golkar yang digelar 14-17 Mei di Bali menjadi
momentum untuk menentukan masa depan politik partai berlambang beringin itu. Itu
tak semata menjadi agenda pemilihan ketua umum yang akan menjadi nakhoda
partai, tapi juga perumusan langkah prioritas dalam menyatukan institusi partai
yang terkoyak konflik berlarut-larut selama satu setengah tahun. Dualisme
kepengurusan telah menimbulkan konflik mendalam dan berdampak pada buruknya
kohesi politik, soliditas internal, sekaligus melemahnya daya tawar Golkar di
hadapan kekuatan partai lain serta basis konstituen. Akankah Golkar melangkah
menuju penyelesaian masalah? Dari munaslub kali ini kita bisa memetakan jalan
Golkar di masa mendatang.
Munas rekonsiliasi
Inilah babak baru
Golkar setelah dualisme kepengurusan membuat partai berpengalaman itu
terbelah, yakni kubu Aburizal Bakrie hasil Munas IX pada November 2014 dan
kubu Agung Laksono hasil munas Jakarta, Desember 2014. Pertarungan sengit
kedua kubu telah mengorbankan banyak hal. Pecat-memecat pengurus, polarisasi
dari pusat hingga daerah, hingga remuknya Golkar di pilkada serentak tahun
lalu.
Setiap pertarungan
pasti memakan korban. Momentum konsolidasi menjadi bagian terbesar kerugian
Golkar akibat berlarut-larutnya konflik.
Untuk ke sekian
kalinya, realitas politik menunjukkan pelajaran berharga, yaitu konflik
politik di internal partai teramat rumit diselesaikan melalui pendekatan
legal formal di jalur hukum. Gugat-menggugat di pengadilan yang memakan waktu
panjang sering menjadi labirin dan membuat mereka yang berkonflik berputar-putar
seolah tak tahu arah jelas penyelesaian masalah. Islah atau rekonsiliasi
justru menjadi kanal internal yang lebih bisa diterima semua pihak. Basis
mekanisme islah sesungguhnya ialah komunikasi politik.
Jika merujuk pendapat
Denton dan Woodward dalam bukunya Political
Communication in America (1990), proses komunikasi politik ditandai
dengan adanya intention (tujuan) pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan
politik. Faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukan
semata sumber sebuah pesan, melainkan juga isi dan tujuannya. Dalam konteks
rekonsiliasi di Golkar, pesan para elite Golkar terutama Aburizal Bakrie dan
Agung Laksono sudah lama menyatakan tekad untuk duduk bersama melakukan
islah.
Namun, realitasnya,
pesan sekadar pesan tanpa isi dan tujuan yang konkret untuk menuju islah
paripurna. Terbukti, proses gugatan demi gugatan dilancarkan kubu
masing-masing. Rekonsiliasi sebagai cara kerja komunikasi dalam istilah Judy
Pearson (1979) harus memiliki makna communicare
atau membuat sama (to make common),
bukan sekadar siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana ala model laswellian.
Meski terlambat, Golkar sebagai partai berpengalaman akhirnya bisa duduk
bersama dan menyepakati munaslub sebagai cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.
Itulah kelebihan Golkar. Di saat-saat genting, mereka selalu punya cara untuk
mengatasi masalah.
Munaslub sebagai munas
islah atau rekonsiliasi wajib mengusung semangat kebersamaan untuk menguatkan
kesepahaman karena sejatinya islah senantiasa mengandung dua makna politis. Pertama,
membangun komunikasi politik untuk menciptakan pemahaman bersama (mutual understanding) sehingga
terjalin pola interaksi sederajat yang mengarah pada penyelesaian masalah. Kedua,
membuka diri untuk melakukan akomodasi politik dengan mengedepankan bauran
kepengurusan dari kedua kubu yang berkonflik. Islah bukan semata bersepakat,
tetapi juga mengharuskan adanya pemahaman, niat baik (good will) dan niat politik (political
will) untuk menjaganya sehingga menguatkan daya tahan dan kebersamaan di
tengah turbulensi yang terjadi.
Tahap awal
rekonsiliasi sudah bisa dilalui dengan cara melakukan bauran panitia dan
pengarah munaslub. Selain itu, juga ada kemauan membuka ruang bagi siapa pun
dari kedua kubu untuk memajukan figur kandidat yang akan bertarung. Meski di
awal ada hal mengganggu, yakni keharusan membayarkan mahar Rp1 miliar bagi
mereka yang akan mencalonkan diri, belakangan itu disadari panitia munaslub
sebagai kekeliruan dan mereka mengubahnya menjadi sumbangan tidak mengikat. Munaslub
sebagai momentum rekonsiliasi semakin mulus dengan kesediaan Aburizal Bakrie
dan Agung Laksono untuk tidak mencalonkan diri dan memberikan kesempatan
kepada sejumlah figur lain untuk bertarung.
Golkar saat ini tidak
memiliki veto player seperti PDIP,
Gerindra, dan Demokrat. Karena itu, delapan kandidat yang bertarung menuju
Golkar-1, kemarin, sesungguhnya memiliki peluang keterpilihan yang sama
meskipun mereka ditentukan modal sosial, finansial, dan politik berbeda-beda.
Tentu, sebagaimana layaknya gelanggang pertarungan terbuka, perebutan kursi
Ketua Umum Golkar ini riuh rendah dengan beragam strategi kampanye,
propaganda, dan publisitas politik untuk mencari legitimasi sekaligus
mendelegitimasi pihak kompetitor. Meski menyeruak aroma tak sedap, seperti
dugaan praktik politik uang dan catut-mencatut, Golkar telah menyediakan
panggung mewah gelaran munas rekonsiliasi ini. Ada adu gagasan kandidat yang
disiarkan live di media massa dari tiga zona wilayah, kehadiran presiden dan
wakil presiden, serta sejumlah elite partai-partai lainnya.
Agenda prioritas
Munaslub bukan akhir,
melainkan awal dari sebuah jalan terjal bagi Golkar di masa depan. Paling
tidak ada empat agenda prioritas yang harus diperhatikan Golkar pascamunas. Pertama,
Ketua Umum Golkar terpilih harus memprioritaskan konsolidasi internal secara
masif dari pusat hingga daerah. Konflik sebagai dampak kubu-kubuan telah
menyisakan realitas politik yang bipolar, bahkan multipolar dan tentu kondisi
ini membahayakan eksistensi partai Golkar. Ibarat klub bola, Golkar adalah
tim yang berlimpah pemain senior, berpengalaman, dan piawai. Namun, jika tak
mampu mengelola ego para 'pemain bintang', Golkar justru akan disibukkan
dengan kepentingan politik elite mereka yang berbeda-beda tanpa menuju arah
yang sama secara kelembagaan.
Ketua Umum Golkar yang
baru harus sesegera mungkin mengefektifkan komunikasi politik secara vertikal
dan horizontal. Vertikal ialah terhubung dengan struktur partai dari pusat
hingga daerah, sedangkan horizontal ialah terhubung dengan seluruh jejaring
Golkar, mulai sesepuh, organisasi sayap, hingga kekuatan potensial di
internal dan eksternal. Prioritas komunikasi politik ini diperlukan untuk
memastikan suasana kondusif setelah konflik satu setengah tahun dan juga
pertarungan perebutan kursi Golkar-1.
Model komunikasi yang
dipraktikkan tidak lagi bisa model linear atau searah, tapi harus model
interplay atau timbal balik secara demokratis.
Harus ada upaya
merangkul dan memastikan keinginan kepengurusan baru yang menciptakan suasana
kondusif, demokratis, serta berorientasi pada semangat kekitaan di internal
partai. Jika munaslub gagal menghadirkan figur yang komunikatif, potensi
gagalnya rekonsiliasi terbuka lebar. Bahkan, jika konflik mengemuka lagi
pascamunas, itu akan berdampak pada meluas dan mendalamnya konflik itu di
masa mendatang.
Kedua, Ketua Umum
Golkar harus memastikan program yang jelas, bertahap, dan berkelanjutan
terkait dengan pengelolaan Golkar ke depan yang berbasis aturan dasar dan
aturan rumah tangga partai yang dikonsensuskan secara bersama. Bukan
bertindak semaunya atas nama kepentingan pribadi dan kelompok kecil. Inilah
yang disebut sebagai langkah penstrukturan adaptif. Banyak partai mengalami
kegamangan dalam melakukan penstrukturan adaptif di tubuh organisasi.
Dalam terminologi
Anthony Giddens sebagaimana dikutip West dan Turner dalam Introducing Communication Theory
(2008), penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial, seperti
organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan
aturan-aturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya. Dengan
demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat diubah
dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan baru. Artinya, partai politik
seharusnya memperkuat sistem organisasi yang ditaati semua warga partai,
bukan sebaliknya, menyuburkan feodalisasi, politik patron-client yang
menyebabkan organisasi di bawah subordinasi satu atau beberapa orang saja.
Golkar sesungguhnya
punya peluang membangun partai modern karena ketiadaan veto player. Hanya, politik pragmatis kerap menyeret Golkar dalam
kegamangan dalam menaati aturan dasar dan aturan rumah tangga yang
disepakati. Lebih jauh, Golkar sering terjebak dalam model oligarki partai
politik karena keputusan dan kebijakan partai hanya diambil segelintir elite
berkuasa di Golkar. Mereka menutup akses dari dialektika dan masukan dari
luar kelompok kecilnya yang mengendalikan partai.
Dampaknya, alur tata
kelola partai tidak transparan, tidak demokratis dan sangat eliteis. Wajar
jika partai kembali ke tradisi lama feodal, oligarkis, dan transaksional.
Posisi Golkar yang
dikelola secara oligarkis akan menimbulkan gejala groupthink! Gejala ini oleh Irving Janis dalam karyanya Groupthink: Psychological Studies of Policy
Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang sering
kali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para
kader berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat
sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa
dengan elite utamanya.
Ketiga, harus ada
prioritas dalam rebranding dan reformulasi Golkar sebagai institusi. Dalam
jangka pendek, harus ada racikan strategi untuk memastikan daya saing Golkar
di sejumlah Pilkada Serentak 2017, 2018, serta pemilu legislatif dan Pemilu
Presiden 2019.
Data menunjukkan
Golkar fluktuatif. Di Pemilu 1999 Golkar terpuruk dengan hanya memperoleh
suara pemilu legislatif 22,4%, menjadi pemenang di 2004 dengan perolehan
21,6%, hanya mendulang suara 14,4% di Pemilu 2009, dan bertengger di
peringkat kedua dengan perolehan suara 14,7% di Pemilu 2014.
Tragisnya, meski
menjadi pemenang kedua di pemilu legislatif, Golkar mengalami krisis figur
yang bisa 'dijual' di pasar pemilih pemilu presiden.
Langkah itu diperparah
dengan terpuruknya Golkar di pilkada serentak akibat dualisme kepengurusan. Ketua
Umum Golkar baru harus berpacu dengan waktu untuk mengembalikan citra dan
reputasi partai dalam persepsi khalayak, terutama pemilih.
Keempat ialah
fungsionalisasi partai sebagai entitas publik. Kekuatan partai modern di masa
mendatang ialah public trust. Tak
mungkin muncul kepercayaan publik tanpa adanya kinerja partai yang beririsan
dengan sejumlah isu dan kepentingan publik. Golkar dan juga sejumlah partai
lainnya masih dipersepsikan eliteis dan berjarak dengan urusan publik.
Partai hadir jelang
pemilu dan abai setelah itu.
Cara pandang itu harus
diubah dengan memastikan aktualisasi sejumlah program yang bisa dirasakan
manfaatnya untuk publik. Beragam fungsi ideal partai jangan sekadar dijadikan
ornamen, wacana, dan penghias retoris para elite Golkar di media massa,
tetapi juga harus nyata ada kerja politik yang bermanfaat untuk rakyat. Bagi
Golkar, momentum munaslub ini menjadi fase menentukan, akankah Golkar bangkit
atau terus terpuruk dalam konflik internal yang melelahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar