Menghadang Laju Independen
Wiwin Suwandi ;
Pegiat Tata Negara dan
Antikorupsi di ACC Sulawesi
|
MEDIA INDONESIA,
17 Mei 2016
SALAH satu isu yang
mengemuka dalam revisi UU Pilkada di DPR ialah keinginan mayoritas wakil
rakyat itu untuk memperberat syarat maju bagi calon perseorangan/independen.
Keinginan itu muncul pasca-Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 yang mengubah
syarat dukungan calon independen dalam Pasal 41 ayat (1) UU Pilkada No 8
Tahun 2015.
Jika sebelumnya syarat
dukungan bagi calon independen mengacu ke jumlah penduduk, MK menganulir
syarat itu dengan menerapkan norma hukum baru bahwa syarat dukungan bagi
calon independen mengacu ke daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu
sebelumnya. Pertimbangan MK ini menemukan alas konstitusional jika
berdasarkan pada hak pilih, yaitu yang berhak memberikan dukungan bagi calon
perseorangan ialah yang memiliki hak untuk memilih (rights to vote).
Jika digali
berdasarkan akar masalahnya, revisi UU Pilkada mestinya tidak boleh keluar
dari koridor putusan MK terkait dengan syarat dukungan itu. MK memutuskan
syarat dukungan bagi calon independen berbasis DPT itu berkisar 6,5%-10%.
Jadi, revisi UU Pilkada hanya menyentuh isu syarat dukungan; dari jumlah
penduduk ke DPT.
Akan tetapi, seperti
yang sering dimuat dalam koran ini, DPR ingin memperlebar isu dengan
menaikkan syarat dukungan bagi calon independen menjadi 10%-15%, bahkan
hingga 20% dalam revisi UU Pilkada. Alasan yang dikemukakan DPR terkait ini
ialah menciptakan 'kesetaraan' politik antara calon independen dan calon
perseorangan karena syarat dukungan untuk calon dari partai politik naik dari
5% menjadi 20% dari jumlah suara. Oleh karena itu, DPR berpendapat persentase
dukungan bagi calon independen juga harus diperberat agar berimbang.
Tulisan ini hendak
melakukan uji konstitusional terkait dengan niat menaikkan syarat ambang
batas dukungan bagi calon independen dalam revisi UU Pilkada.
Konstitusionalitas calon independen
Riwayat hadirnya calon
perseorangan dalam rezim pilkada langsung mesti dilihat secara konstitusional
dalam Putusan MK No:5/PUU/V/2007 tentang Pengujian Uu Pemda No 32 Tahun 2004
yang tidak mengenal calon perseorangan. Dalam Pasal 59 UU Pemda, calon kepala
dan wakil kepala daerah hanya diusulkan parpol atau gabungan parpol. MK
kemudian mengoreksi dan menyatakan rezim pilkada langsung wajib mengakomodasi
calon perseorangan sebagai peneguhan terhadap hak sipil-politik (sipol) warga
negara sebagaimana dijamin UUD 1945 serta UU 12/2005 tentang Ratifikasi
Kovenan Hak Sipol (ICCPR).
Putusan itu kemudian
menjadi alas konstitusional lahirnya UU No 12 Tahun 2008 yang mengakomodasi
calon perseorangan dalam Pasal 59 dengan sistem bilangan pembagi berdasarkan
jumlah penduduk. Sejak itu rezim pilkada langsung menjadi uji kontestasi
antara calon dari partai politik (parpol) atau gabungan parpol dan calon
perseorangan/ independen. Di sejumlah daerah, Aceh, misalnya, calon
perseorangan memenangi pilkada, mengalahkan calon parpol atau gabungan
parpol.
Sebagaimana disinggung
MK dalam sejumlah putusan mereka terkait dengan calon perseorangan, hadirnya
calon perseorangan setidaknya didasari tiga alasan utama. Pertama, konstitusi
menjamin hak persamaan kedudukan bagi warga negara dalam hukum dan
pemerintahan (Pasal 27 dan 28 UUD 1945). Oleh karena itu, syarat maju sebagai
cakada yang hanya memberikan ruang bagi parpol ialah inkonstitusional karena
mengingkari hakikat demokrasi dan hak asasi manusia. Negara mesti menjamin
kesetaraan politik bagi warga negara untuk berkompetisi secara sehat dalam
pilkada melalui jalur perseorangan (nonparpol). Prinsip hak sipol itu juga
diatur dalam UU No 12/2005 (ratifikasi ICCPR).
Kedua ialah peneguhan
terhadap asas 'daulat rakyat' dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Hadirnya calon
perseorangan dipandang lebih demokratis dan meneguhkan asas daulat rakyat
dalam pilkada langsung. Premisnya, tidak semua rakyat mendukung calon dari
parpol. Karena itu, hadirnya calon independen merupakan sarana lain bagi
rakyat untuk menyalurkan hak memilih (right
to vote).
Ketiga, calon
independen menjadi autokritik bagi praktik politik uang (money politic) berupa mahar politik yang mesti dibayarkan calon
kepada parpol. Calon perseorangan tidak perlu repot-repot mencari mahar
(uang) hanya untuk maju sebagai cakada lewat jalur parpol. Ketika mereka
bertarung dengan calon dari parpol, modal yang dimiliki calon perseorangan
ialah rekam jejak berupa professional, integritas, dan kelayakan untuk
memimpin daerah.
Menakar 'kesetaraan'
Yang hendak diuji
dalam tulisan ini ialah apakah benar bahwa menaikkan syarat dukungan terhadap
calon perseorangan sebesar 10%-15% bahkan hingga 20% dalam revisi UU Pilkada
oleh DPR itu akan menciptakan 'kesetaraan' dalam persaingan menduduki kursi
kepala daerah antara calon perseorangan dan calon dari parpol? Premis
dasarnya ialah, meskipun secara konstitusional membentuk dan merevisi UU
merupakan fungsi konstitusional DPR, semestinya syarat calon independen dalam
revisi UU pilkada hendaknya tidak mereduksi hak sipol warga negara yang
dijamin UUD 1945 untuk maju sebagai cakada.
Logika DPR yang
membandingkan syarat parliamentary
threshold (PT) dengan syarat dukungan terhadap calon perseorangan dalam
revisi UU pilkada untuk membenarkan klaim ‘kesetaraan’ itu ialah sesat pikir.
Syarat PT dalam UU Pileg itu berdasarkan perolehan suara partai secara
nasional, sementara calon perseorangan hanya mewakili DPT pada satu daerah
saja.
Kemudian, kepentingan
dalam rezim pilkada langsung berbeda dengan rezim pileg. Kepentingan PT dalam
rezim pileg hanya menyangkut kepentingan kursi partai di parlemen untuk
membatasi jumlah partai di parlemen. Sementara itu, kepentingan DPT dalam
pilkada langsung semata-mata hanya terkait dengan syarat dukungan terhadap
calon independen. Jelas dua hal yang jauh berbeda.
Sesat pikir kedua
ialah klaim 'kesetaraan' dengan menyamakan beban politik antara calon
perseorangan dan calon dari parpol dengan menaikkan syarat dukungan.
Perjuangan cakada dari parpol terasa lebih ringan karena di-back up full oleh parpol dan koalisi. Cakada
dari usungan parpol tinggal menggerakkan mesin partai dan simpatisan yang
didukung keuangan partai. Sementara itu, perjuangan cakada calon perseorangan
lebih berat. Selain bertarung dengan partai, ia juga mesti meraih simpati
pemilih secara face to face atau door to door di tengah kondisi
keuangan yang pas-pasan.
Dengan demikian,
menjadi jelas jika keinginan menaikkan syarat dukungan terhadap calon
perseorangan hanyalah siasat politik untuk membendung laju independen. Parpol
seakan ketakutan dengan elektabilitas calon perseorangan, seperti
elektabilitas seorang Ahok menjelang Pilgub Jakarta 2017 nanti. Semestinya
kehadiran calon independen disambut baik untuk menguji elektabilitas calon
parpol di mata publik. Jika calon perseorangan menang, itu menjadi evaluasi
menyeluruh bagi parpol dalam proses kaderisasi internal dan rekrutmen politik
pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar