Kamis, 19 Mei 2016

Menghadang Laju Independen

Menghadang Laju Independen

Wiwin Suwandi ;   Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi
                                               MEDIA INDONESIA, 17 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SALAH satu isu yang mengemuka dalam revisi UU Pilkada di DPR ialah keinginan mayoritas wakil rakyat itu untuk memperberat syarat maju bagi calon perseorangan/independen. Keinginan itu muncul pasca-Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 yang mengubah syarat dukungan calon independen dalam Pasal 41 ayat (1) UU Pilkada No 8 Tahun 2015.

Jika sebelumnya syarat dukungan bagi calon independen mengacu ke jumlah penduduk, MK menganulir syarat itu dengan menerapkan norma hukum baru bahwa syarat dukungan bagi calon independen mengacu ke daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu sebelumnya. Pertimbangan MK ini menemukan alas konstitusional jika berdasarkan pada hak pilih, yaitu yang berhak memberikan dukungan bagi calon perseorangan ialah yang memiliki hak untuk memilih (rights to vote).

Jika digali berdasarkan akar masalahnya, revisi UU Pilkada mestinya tidak boleh keluar dari koridor putusan MK terkait dengan syarat dukungan itu. MK memutuskan syarat dukungan bagi calon independen berbasis DPT itu berkisar 6,5%-10%. Jadi, revisi UU Pilkada hanya menyentuh isu syarat dukungan; dari jumlah penduduk ke DPT.

Akan tetapi, seperti yang sering dimuat dalam koran ini, DPR ingin memperlebar isu dengan menaikkan syarat dukungan bagi calon independen menjadi 10%-15%, bahkan hingga 20% dalam revisi UU Pilkada. Alasan yang dikemukakan DPR terkait ini ialah menciptakan 'kesetaraan' politik antara calon independen dan calon perseorangan karena syarat dukungan untuk calon dari partai politik naik dari 5% menjadi 20% dari jumlah suara. Oleh karena itu, DPR berpendapat persentase dukungan bagi calon independen juga harus diperberat agar berimbang.

Tulisan ini hendak melakukan uji konstitusional terkait dengan niat menaikkan syarat ambang batas dukungan bagi calon independen dalam revisi UU Pilkada.

Konstitusionalitas calon independen

Riwayat hadirnya calon perseorangan dalam rezim pilkada langsung mesti dilihat secara konstitusional dalam Putusan MK No:5/PUU/V/2007 tentang Pengujian Uu Pemda No 32 Tahun 2004 yang tidak mengenal calon perseorangan. Dalam Pasal 59 UU Pemda, calon kepala dan wakil kepala daerah hanya diusulkan parpol atau gabungan parpol. MK kemudian mengoreksi dan menyatakan rezim pilkada langsung wajib mengakomodasi calon perseorangan sebagai peneguhan terhadap hak sipil-politik (sipol) warga negara sebagaimana dijamin UUD 1945 serta UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipol (ICCPR).

Putusan itu kemudian menjadi alas konstitusional lahirnya UU No 12 Tahun 2008 yang mengakomodasi calon perseorangan dalam Pasal 59 dengan sistem bilangan pembagi berdasarkan jumlah penduduk. Sejak itu rezim pilkada langsung menjadi uji kontestasi antara calon dari partai politik (parpol) atau gabungan parpol dan calon perseorangan/ independen. Di sejumlah daerah, Aceh, misalnya, calon perseorangan memenangi pilkada, mengalahkan calon parpol atau gabungan parpol.

Sebagaimana disinggung MK dalam sejumlah putusan mereka terkait dengan calon perseorangan, hadirnya calon perseorangan setidaknya didasari tiga alasan utama. Pertama, konstitusi menjamin hak persamaan kedudukan bagi warga negara dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 dan 28 UUD 1945). Oleh karena itu, syarat maju sebagai cakada yang hanya memberikan ruang bagi parpol ialah inkonstitusional karena mengingkari hakikat demokrasi dan hak asasi manusia. Negara mesti menjamin kesetaraan politik bagi warga negara untuk berkompetisi secara sehat dalam pilkada melalui jalur perseorangan (nonparpol). Prinsip hak sipol itu juga diatur dalam UU No 12/2005 (ratifikasi ICCPR).

Kedua ialah peneguhan terhadap asas 'daulat rakyat' dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Hadirnya calon perseorangan dipandang lebih demokratis dan meneguhkan asas daulat rakyat dalam pilkada langsung. Premisnya, tidak semua rakyat mendukung calon dari parpol. Karena itu, hadirnya calon independen merupakan sarana lain bagi rakyat untuk menyalurkan hak memilih (right to vote).

Ketiga, calon independen menjadi autokritik bagi praktik politik uang (money politic) berupa mahar politik yang mesti dibayarkan calon kepada parpol. Calon perseorangan tidak perlu repot-repot mencari mahar (uang) hanya untuk maju sebagai cakada lewat jalur parpol. Ketika mereka bertarung dengan calon dari parpol, modal yang dimiliki calon perseorangan ialah rekam jejak berupa professional, integritas, dan kelayakan untuk memimpin daerah.

Menakar 'kesetaraan'

Yang hendak diuji dalam tulisan ini ialah apakah benar bahwa menaikkan syarat dukungan terhadap calon perseorangan sebesar 10%-15% bahkan hingga 20% dalam revisi UU Pilkada oleh DPR itu akan menciptakan 'kesetaraan' dalam persaingan menduduki kursi kepala daerah antara calon perseorangan dan calon dari parpol? Premis dasarnya ialah, meskipun secara konstitusional membentuk dan merevisi UU merupakan fungsi konstitusional DPR, semestinya syarat calon independen dalam revisi UU pilkada hendaknya tidak mereduksi hak sipol warga negara yang dijamin UUD 1945 untuk maju sebagai cakada.

Logika DPR yang membandingkan syarat parliamentary threshold (PT) dengan syarat dukungan terhadap calon perseorangan dalam revisi UU pilkada untuk membenarkan klaim ‘kesetaraan’ itu ialah sesat pikir. Syarat PT dalam UU Pileg itu berdasarkan perolehan suara partai secara nasional, sementara calon perseorangan hanya mewakili DPT pada satu daerah saja.

Kemudian, kepentingan dalam rezim pilkada langsung berbeda dengan rezim pileg. Kepentingan PT dalam rezim pileg hanya menyangkut kepentingan kursi partai di parlemen untuk membatasi jumlah partai di parlemen. Sementara itu, kepentingan DPT dalam pilkada langsung semata-mata hanya terkait dengan syarat dukungan terhadap calon independen. Jelas dua hal yang jauh berbeda.

Sesat pikir kedua ialah klaim 'kesetaraan' dengan menyamakan beban politik antara calon perseorangan dan calon dari parpol dengan menaikkan syarat dukungan. Perjuangan cakada dari parpol terasa lebih ringan karena di-back up full oleh parpol dan koalisi. Cakada dari usungan parpol tinggal menggerakkan mesin partai dan simpatisan yang didukung keuangan partai. Sementara itu, perjuangan cakada calon perseorangan lebih berat. Selain bertarung dengan partai, ia juga mesti meraih simpati pemilih secara face to face atau door to door di tengah kondisi keuangan yang pas-pasan.

Dengan demikian, menjadi jelas jika keinginan menaikkan syarat dukungan terhadap calon perseorangan hanyalah siasat politik untuk membendung laju independen. Parpol seakan ketakutan dengan elektabilitas calon perseorangan, seperti elektabilitas seorang Ahok menjelang Pilgub Jakarta 2017 nanti. Semestinya kehadiran calon independen disambut baik untuk menguji elektabilitas calon parpol di mata publik. Jika calon perseorangan menang, itu menjadi evaluasi menyeluruh bagi parpol dalam proses kaderisasi internal dan rekrutmen politik pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar