Sinergi Kelautan RI-Malaysia
Rokhmin Dahuri ;
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang
Kemaritiman
|
REPUBLIKA, 16
Mei 2016
Indonesia dan
Malaysia, kerap disebut sebagai negara serumpun. Hubungan yang naik dan turun
kerap kita lalui dengan berbagai peristiwa yang memicu. Tapi, layaknya
saudara, kita selalu bisa mengatasi dan kembali rukun.
Dua negara ini adalah
negara besar di ranah Benua Asia dan sepatutnya bergandeng tangan,
bahu-membahu, dan saling jaga. Sebelum 1980-an, Malaysia banyak belajar dari
Indonesia. Kini, mungkin tiba masanya
kita belajar pada Malaysia.
Pada 23-25 Februari
tahun ini penulis diundang ceramah oleh empat lembaga ternama di Kuala
Lumpur. Ceramah dan diskusi pertama
adalah tentang "Indonesian Maritime Axis Policy: Achievements and
Challenges" (Kebijakan Indonesia tentang Poros Maritim Dunia: Pencapaian
dan Tantangan) di Institute of Strategic and International Studies, sebuah
lembaga think tank tersohor di negeri jiran untuk berdiskusi hal-hal
strategis di antara dua negara. Hal yang didiskusikan mulai dari pokok-pokok
kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia, potensi ekonomi kelautan, sampai dengan percik konflik Laut
Cina Selatan.
Ceramah kedua di
Malaysian Armed Force Defence College, semacam Universitas Pertahanan yang
kita miliki di Indonesia, tetapi khusus untuk jenjang S-2 dan kursus-kursus
yang diikuti oleh peserta militer atau polisi berpangkat perwira menengah,
baik dari Malaysia maupun mancanegara. Topik yang dibawakan tentang
"Enhacing Maritime Cooperation Among East Asian Nations for Regional
Peace, Prosperity, and Sustainability" (Mengembangkan Kerja Sama Maritim
di Antara Bangsa-Bangsa Asia Timur untuk Perdamaian, Kesejahteraan, dan
Keberlanjutan Regional). Beberapa tahun lagi, para perwira ini bakal
menempati posisi-posisi penting di negara masing-masing.
Ceramah ketiga tentang
"Strengthening Indonesia and Malaysia Cooperation in Maritime Education
and Technology" (Memperkokoh Kerja Sama Indonesia dan Malaysia di Bidang
Pendidikan dan Tekonologi Kemaritiman) saya sampaikan di Universiti
Kebangsaan Malaysia (UKM) yang dihadiri sekitar 300 mahasiswa S-2 dan S-3
serta para dosen dan pimpinan universitas. Yang menarik, dari diskusi yang
berkembang, mereka berpendapat dalam hal pendidikan dan iptek kelautan,
Indonesia lebih maju ketimbang Malaysia.
Di bawah kepemimpinan
PM Najib, Malaysia sangat serius merancang dan menetapkan kebijakan-kebijakan
strategisnya, terutama di bidang kelautan. Meski semua diskusi di berbagai
instansi tersebut sangat menarik, perhatian penulis tersita ketika berkunjung
dan berdiskusi dengan para pemimpin negara yang bertugas di bawah Lembaga
Kemajuan Ikan Malaysia (LKIM), setingkat Direktorat Jenderal Perikanan, KKP
Indonesia.
Lembaga ini, meski
tidak setingkat kementerian seperti di Indonesia, mempunyai tugas yang sangat
fokus, yakni mengembangkan sektor perikanan tangkap dan meningkatkan taraf
hidup nelayan Malaysia. Saat pertama kali tiba, kami disambut dengan berbagai
hidangan laut yang telah disiapkan. Pimpinan LKIM menjelaskan satu per satu
produk yang dihidangkan. Mulai dari makanan ringan hasil olahan laut, nasi
ikan dalam kemasan, mi instan dari rumput laut, gamat (ekstrak teripang) yang
dijadikan obat dikemas rapi dengan kualitas ekspor ke luar negeri.
Para petugas
menjelaskan proses pendampingan dan pelatihan yang dilakukan oleh LKIM bagi
para nelayan dan pengusaha produk olahan laut. Tak hanya mendampingi, mereka
juga membangun dan menyiapkan pasarnya. Pelayanan terhadap nelayan juga
terasa extraordinary. LKIM bahkan punya sebuah video yang diputar luas di
semua kawasan permukiman nelayan tentang pentingnya menggunakan pelampung dan
sarana keamanan laut lainnya di saat melaut dan mencari ikan.
Total nelayan Malaysia
hanya sekitar 200 ribu orang, sedangkan nelayan Indonesia mencapai 2,7 juta
orang. Tapi, kita bisa belajar apa yang baik sebagai inspirasi. Setiap bulan,
nelayan Malaysia mendapatkan tunjangan sekitar 300 RM sebagai cost of
allowence yang ditanggung oleh negara. BBM khusus untuk nelayan pun
mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Di bawah administrasi
PM Najib Tun Razak, Malaysia menetapkan penghasilan minimal nelayan
sekurang-kurangnya 2.000 RM per orang tiap bulan (setara Rp 6 juta per orang
tiap bulan). Bandingkan dengan rata-rata pendapatan nelayan Indonesia yang
hanya Rp 1,5 juta per orang tiap bulan. Bahkan, secara berkala LKIM diberi
tugas untuk mencetak sekurang-kurangnya 50 nelayan dalam setahun yang naik
taraf menjadi usahawan di bidang kelautan dan perikanan. Ini belum lagi
hal-hal seperti perbaikan kapal hingga santunan kematian bagi nelayan yang
mengalami kecelakaan di laut, negara memberikan santunan hingga 2.000 RM.
Malaysia mengetahui
persis jumlah nelayan mereka yang bujang, berkeluarga, atau duda. Bahkan,
diketahui pula jumlah nelayan pria yang melakukan poligami atau memiliki
istri lebih dari satu. Data tentang istri nelayan dan rumah tangga mereka
diketahui secara pasti oleh negara.
Secara berkala,
Malaysia melakukan pembaruan data sensus nelayan yang mereka miliki agar
pelayanan bisa dilakukan dengan lebih baik. Karena itu pula, Malaysia
mengetahui dengan pasti berapa jumlah nelayan yang hidup di bawah garis
ekonomi standar dan melakukan tindakan yang tepat guna. Selain memberikan
bantuan melalui program Makanan Nelayan 1 Malaysia (MN1M) program-program
lain juga dilakukan berdasarkan temuan sensus. Mulai dari pendampingan,
pelatihan, pemberdayaan, hingga membangun dan menyiapkan pasar bagi produk
yang dihasilkan.
Tentu, tidak mudah dan
perlu waktu untuk meneladani sejumlah kebaikan negara Malaysia bagi para
nelayannya seperti di atas. Tapi, harus dimulai dari sekarang. Seiring waktu,
bisa kita perbaiki dan sempurnakan.
Kehidupan laut adalah
kehidupan yang berat dan menantang. Kehadiran negara sangat diperlukan sebab
nelayan adalah bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak untuk hidup
sejahtera sesuai amanat konstitusi. Agar, para nelayan juga merasa apa
artinya menjadi rakyat dari sebuah negeri besar yang bernama Indonesia Raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar