Apa Kabar TPP dan RCEP?
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 18
Mei 2016
Dibandingkan dengan
”hantu komunisme”, dua wajah hantu kapitalisme di awal abad 21 mungkin lebih
menakutkan dan perlu kita khawatirkan jauh-jauh hari sebelum benar-benar
menjelma menjadi kenyataan. Dua hantu kapitalisme itu bernama Trans Pacific-Partnership (TPP) dan Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP). Mereka adalah dua kesepakatan perdagangan bebas di
kawasan Asia-Pasifik yang memang saat ini menjadi wilayah yang memiliki daya
tarik yang kuat secara ekonomi karena potensi pasarnya yang besar dan
potensial.
TPP adalah kerja sama
antara negara-negara Australia, Selandia Baru, Kanada, Cile, Meksiko, Peru,
Jepang, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan
kemungkinan Indonesia apabila kita meyakini pernyataan Presiden Joko Widodo
saat bertemu Presiden Barack Obama di Amerika Serikat tahun lalu. Hantu lain
yang sudah agak terlihat wujudnya adalah RCEP.
Ini adalah sebuah
proposal kerja sama antara 10 negara ASEAN (Brunei Darussalam, Myanmar,
Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan
Vietnam) dan enam negara di mana ASEAN telah memiliki perjanjian perdagangan
bebas yaitu Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan dan Selandia Baru.
Banyak pengamat asing
yang mengatakan bahwa perjanjian perdagangan bebas ini adalah bentuk
rivalitas China terhadap TPP, namun dalam sejarahnya ide awal dari
pembentukan perjanjian perdagangan bebas ini lahir pada pertemuan puncak
ASEAN di Kamboja pada bulan November 2012. Apakah ada campur tangan China dalam
mendorong dan ”memasak” terobosan ini, saya masih belum memiliki cukup
informasi untuk bisa menyimpulkan.
Namun, kita dapat
membedakan dua perjanjian perdagangan bebas ini secara sederhana dari sifat
keterikatan dan standar yang ingin ditetapkan. TPP adalah perjanjian
perdagangan bebas yang menetapkan standar tertinggi dalam hubungan
perdagangan bebas para anggotanya. Sementara RCEP lebih mengedepankan keadaan
khusus dari masing-masing negara sebelum benar-benar meliberalisasi
perdagangan antar negaranegara penandatangannya.
Standar tinggi yang
dimaksud di dalam TPP adalah penetapan kesepakatan tentang perdagangan bebas
yang tidak hanya mengatur tentang aspek ekonomisnya. Tetapi juga mengatur
masalah sosial dan lingkungan mulai dari penghormatan terhadap hak kekayaan
intelektual (hak cipta), standar perburuhan, hingga standar dampak
lingkungannya. Apabila negara-negara anggota menyalahi kesepakatan tersebut
maka mereka dapat dikenai sanksi ekonomi.
Ciri khas lain di TPP
ini gugatan yang dapat dilayangkan ke sebuah negara oleh sebuah perusahaan
apabila sebuah negara diduga melanggar perjanjian. Pada umumnya, dalam
perdagangan bebas gugatan hanya dapat dilakukan atas nama negara terhadap
negara lain (seperti dalam WTO), bukan atas nama perusahaan. Mekanisme ini
yang diatur dalam Investor-state dispute settlement (ISDS). Standar tinggi di
TPP tidak terjadi di RCEP.
Dalam perjanjian
perdagangan bebas RCEP, semangat yang dikedepankan adalah memahami
keanekaragaman dan perbedaan kondisi masing-masing negara penanda tangan.
Dalam konteks ini, aura yang menjunjung tinggi kedaulatan negara-negara ASEAN
memang cukup kental. RCEP juga tidak memiliki mekanisme perselisihan yang
ketat seperti ISDS dan menetapkan standar yang penyesuaiannya dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kondisi masingmasing negara.
Walaupun sama-sama
perjanjian perdagangan bebas, dengan mengedepankan pemikiran yang positif,
saya menilai RCEP mungkin relatif sedikit lebih baik daripada TPP. Alasannya,
karena kita sudah terlibat sejak awal pembentukan isi perjanjian RCEP dan
memahaminya dengan baik, termasuk baik dan buruknya isi perjanjian tersebut
sejak 2012.
Saya merasa bahwa para
negosiator di RCEP sudah memikirkan dengan baik konsekuensi perdagangan bebas
itu terhadap ekonomi dalam negeri kita. Di TPP, kita adalah tamu yang tidak
terlibat dalam isi perjanjian yang sudah dinegosiasikan dengan alotnya sejak
2008. Di antara para negara penanda tangan perjanjian TPP pun masih timbul
perselisihan. Walaupun demikian, pertanyaannya kemudian, apakah TPP memang
sangat buruk bagi perekonomian Indonesia dan khususnya kesejahteraan
masyarakat Indonesia?
Pertanyaan ini juga
sulit dijawab karena TPP bersifat rahasia sejak awal negosiasinya sehingga
kita tidak mengetahui persis latar belakang dari sebuah isi perjanjian. TPP
bukan sekadar perjanjian, tetapi kontrak dan lembar kontraknya relatif sangat
detail dan mengikat. Ada beberapa hal yang menjadi keprihatinan masyarakat
dunia, yaitu terkait dengan hak kekayaan intelektual khususnya dalam sektor medis.
Dalam perjanjian
tersebut dinyatakan bahwa hak paten untuk memproduksi, misalnya obat, secara
eksklusif dimiliki oleh sebuah perusahaan obat selama delapan tahun sebelum
diikuti oleh perusahaan lain. Maksudnya, dalam dunia medis sebuah produk obat
harus diuji klinis sebelum dapat dipasarkan secara massal. Uji klinis ini
mahal karena harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh badan pengelola
obat, dalam konteks ini adalah standar FDAnya Amerika Serikat.
Sering
perusahaan-perusahaan lain yang tidak memiliki dana untuk uji klinis menunggu
perusahaan yang punya modal kuat untuk melakukan uji klinis. Bila obat itu
lolos uji dan dapat diproduksi massal secara aman, perusahaan lain mulai
mengikuti. Logika tersebut mungkin cocok untuk obat yang menyangkut masalah
estetika seperti obat kecantikan. Tetapi tidak cocok untuk obat yang terkait
dengan nyawa manusia seperti HIV/AIDS atau flu burung.
Hal ini menyulitkan
bagi perusahaan-perusahaan farmasi yang ingin membuat obat generik atau obat
dengan harga terjangkau bagi masyarakat miskin karena harus menunggu delapan
tahun. Masalahnya, obat yang paling laku dalam industri pasar saat ini adalah
justru obat yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, khususnya masyarakat
miskin. Masa menunggu itu bisa jadi semakin lama apabila perusahaan pemilik
paten tersebut melakukan modifikasi sedikit pada obatnya yang dapat
dinyatakan sebagai obat baru.
Dengan status obat
baru ini perusahaan bisa mendapatkan masa eksklusif delapan tahun lagi. Ada
beberapa hal lain lagi dalam TPP yang merugikan kita. Namun, saya tidak dapat
menjelaskannya lebih luas dalam ruang yang terbatas ini. Meski demikian, ada
pula sedikit keuntungan politis yang dapat diperoleh dalam TPP yang mungkin
bermanfaat. Yaitu semakin tingginya standar sosial yang akan membuat
perusahaan Indonesia dapat berkompetisi lebih adil. Misalnya dalam hal
standar perburuhan atau keselamatan dan kesehatan kerja.
Beberapa negara ASEAN
seperti Malaysia, Vietnam, dan Singapura adalah negara-negara yang relatif
sepi dari protes unjuk rasa pekerja yang menuntut kesejahteraan dibandingkan
Indonesia. Hal itu membuat pasar mereka menjadi lebih kondusif untuk
mengakumulasi modal. Di sisi lain, negara-negara ini belum mengakomodasi
serikat buruh dan terpenuhinya hak-hak pekerja, termasuk untuk berserikat dan
mengemukakan pendapat sebagai syarat TPP.
Artinya, ketika mereka
bergabung dengan TPP maka mereka perlu menghargai serikat buruh sehingga dari
sisi tenaga kerja upahnya bisa jadi lebih tinggi lagi. Lebih penting lagi
bahwa isunya di sini bukan semata apakah upah tenaga kerja mereka lebih murah
atau lebih mahal. Tetapi, sejauh mana negara atau perusahaan di negara
tersebut menghargai tuntutan pekerjanya.
Kerap aksi-aksi
pekerja yang kita anggap biasa di sini dapat dikategorikan sebagai upaya
makar di negara-negara tersebut. Akibatnya banyak warga atau organisasi sipil
yang ditangkap. Indonesia yang sudah terbiasa menghadapi aksi unjuk rasa
pekerja di bulan Mei dan akhir Desember dan memilih mekanisme formal/informal
untuk menyelesaikan perselisihan tersebut sebenarnya jauh lebih siap.
Hal ini dapat dianggap
sebagai salah satu keunggulan komparatif kita secara sosial dibandingkan
dengan negaranegara ASEAN lain. Sebagai kesimpulan, apa pun keputusan
pemerintah, perlu dikaji dengan saksama dampak baik dan buruk dari perjanjian
perdagangan bebas, terutama TPP. Mustahil kita bisa meraih hasil baik bila
dampak-dampak buruk tidak diminimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar