Negara Melupakan Sejarah
Suriadi Mappangara ;
Kepala Laboratorium Sejarah dan
Budaya,
Universitas Hasanuddin, Makassar
|
KOMPAS, 19 Mei
2016
Bidang ilmu yang
memfokuskan kajiannya atas manusia, terutama ilmu sejarah,mengalami sejumlah persoalan.
Bukan saja persoalan teori dan metodologinya yang tak dapat berkembang
secepatkemajuan bidang kehidupan manusia, melainkan yang lebih utamaketiadaan
ruang yang dapat dimasukiuntuk melakukan intervensi guna turut memecahkan
persoalan kekinian yang dihadapi negara.
Sejarah lokal dan sejarah nasional
Penulisan sejarah
lokal yang telah dikumandangkan Sartono Katodirdjo, kurang lebih 30 tahun
lalu, tampaknya tak membuahkan hasil seperti yang dicita- citakan. Garapan
sejarah lokal, secara filosofi, tentu bukan bertujuan untuk membuat identitas
kelokalan menjadi semakin mengeras, melainkan bagaimana kelokalan itu jadi
penting untuk membangun sejarah nasional.
Kelokalan bukanlah
kajianidentitas yang pada akhirnya mengabaikan kemajemukan, kelokalan itu bukanlah
pencarian identitas untuk membuat perbedaan, kelokalan bukan pula untuk
menafikan the outsiders, melainkan kelokalan itu untuk menyadarkan bahwa kita
hasil dari satu proses sejarah yang belum selesai. Kelokalan adalah persoalan
ruang yang tak berakhir di tingkat itu, tetapi terus-menerus berproses untuk
pada akhirnyatiba pada puncaknya, yaitusejarah nasional.
Dalam banyak hal,
tampaknya sejarah digunakan pada tataran yang sangat rendah saja. Sejarah
hanya diperlukan pada tataran praktis, tidak seperti apa yang diingatkanBung
Karno untuk tidak sekali-kalimelupakan sejarah. Sejarah digunakan sebagai
pembenaran dalamsoal klaim mengklaim saja. Misalnya, apa yang terjadi ketika
euforia pemekaran wilayah terjadi pasca reformasi 1998.
Demikian banyak pemerintah
daerah yang melakukan kunjunganke arsip, baik yang ada di Indonesia maupun di
luar negeri (Belanda) untuk mencari peta dan naskah, yang pada gilirannya
untuk membenarkan klaim sehingga menjadi dasar yang kuat untuk memisahkan
diri dari induknya. Mereka mencari identitas diri untuk membenarkan bahwa
mereka adalah etnis atau suku bangsa yang berbeda dengan induknya. Mereka
mengabaikan persyaratan yang ada, kalau perlu melakukan manipulasi,dan
persekongkolan politik, terutama ketika akan dilakukan pilkada, ataupun
pemilihan kepala negara.
Yang lebih parah,
kekerasan menjadi alternatif lainnyademi pemekaran itu. Oleh karena itu,
tidak jarang benturan terjadi di akarrumput yang akhirnya menyisakan
bibit-bibit konflikibarat api dalam sekam. Bukan itu saja, banyak wilayah
yang mekar hanya jalan di tempat. Mereka hanya mampu untuk menghidupi
pegawainya, tetapi tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan
pembangunan.
Membangun relevansi
Persoalan yang
dihadapi bidang ilmu, terutama ilmu-ilmu humaniora, adalah mencari relevansi.
Kesulitan terdapat pada bidang ilmu itu sendiri yang seperti tak dapat
berjalan secepat perkembangan masyarakat dalam segala aspek kehidupannya
sehingga yang tampak adalah pemaksaanrelevansi yang tentu tidak akan
memecahkan persoalan yang dihadapi. Sejarah hanya dilihat sebagai satu kajian
masa lalu tanpa mencoba mencari relevansinya ke masa kini. Akhirnya sejarah
dianggap sebagai catatan untuk kepentingan seseorang mendapatkan gelar
kesarjanaan sehingga hasilnyatak dapat digunakan untuk menyelesaikan
persoalan kekinian yang dihadapi oleh negara. Keadaan yang demikian ini
tampak seolah-olah negara melupakan sejarah.
Mengabaikan catatan,
ibarat mengerjakan sesuatu dimulai dari titik nol, tanpa menyadari bahwa
pengetahuan sejarah adalah gudang informasi, gudang pengetahuan yang dapat
dijadikan basis sebagai langkah untuk membangun kebijakan. Kita tidak tahu
sejauh mana tulisan naskah akademik dalam pembuatan satu kebijakan telah
melibatkan sejarawan dan di dalamnya. Jangan-jangan negara memang sudah
melupakan sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar