KH Ali Mustafa Yaqub dan Pengaruh Arab
Ahmad Najib Burhani ; Peneliti
di LIPI dan Kyoto University, Jepang
|
KORAN SINDO, 30 April
2016
Kamis (28/4) pagi kita mendengar
kabar mengejutkan tentang meninggalnya salah satu ulama moderat terkemuka dan
pakar hadis ternama di Indonesia, KH Ali Mustafa Yaqub. Mengejutkan, karena
dalam beberapa waktu belakangan ini beliau masih aktif dalam kegiatan
deradikalisasi, melawan kelompok garis keras dan terorisme yang bahkan telah
masuk ke berbagai masjid dan sekolah Islam. KH Mustafa Yaqub melakukan itu
dengan sepenuh jiwanya. Bahkan, berkali-kali berdebat langsung dengan mereka
yang sering disebut sebagai preman berjubah.
Pada Mei 2012 yang lalu, misalnya,
seperti disiarkan secara langsung oleh TV ONE, KH Mustafa Yaqub membuat Habib
Salim Selon, tokoh FPI (Front Pembela Islam), yang biasanya berteriak lantang
menjadi tak berkutik. Ia mengkritik keras tindakan FPI yang sering melangkahi
hukum dengan main hakim sendiri terhadap tindak maksiat.
Menurut KH Mustafa Yaqub, apa yang
dilakukan FPI itu tak memiliki dasar keagamaan sama sekali. Habib Salim dan
FPI, yang merasa berhak melakukan sweeping
terhadap kemungkaran dan meyakini bahwa penggunaan kekerasan sebagai cara
menegakkan amr ma’ruf wa nahy ‘anil
munkar memiliki sandaran keagamaan (di antaranya pada berbagai pernyataan
Imam Al-Ghazali), lantas dibantah keras oleh KH Mustafa Yaqub.
KH Mustafa Yaqub yang waktu itu
membawa kitab Ihya Ulumuddin karangan Al-Ghazali lantas meminta Habib Salim
untuk membaca dan menerjemahkannya sambil menegaskan bahwa berdasarkan kitab
itu, selama ada pemerintah yang sah, tidak boleh seseorang atau sekelompok
orang main hakim sendiri. Sikap berani dan tidak minder, termasuk dengan
habib-habib itu sering ditunjukkan oleh KH Mustafa Yaqub untuk menghadang
mereka yang merasa paling memiliki Islam dan kemudian mengajarkan Islam
dengan kekerasan.
Terakhir kali penulis bertemu
dengan KH Mustafa Yaqub adalah pada seminar internasional tentang
”Memperkokoh Islam Rahmatan Lil ‘Alamin untuk Perdamaian dan Kesejahteraan”
di STAIN Pekalongan, November 2015. Pada saat itu KH Mustafa Yakub menegaskan
sikapnya untuk melawan gerakan anti-Syiah yang berkembang di masyarakat. Ia
misalnya, menentang sikap ulama-ulama yang mengeluarkan fatwa bahwa Syiah itu
sesat.
Menurutnya, fatwa seperti itu
tidak benar karena Syiah tidaklah tunggal.
Fatwa seperti itulah yang justru
menyesatkan. Beliau baru setuju kalau fatwa itu berbunyi, misalnya: ”Barang siapa yang meyakini bahwa Ali bin
Abi Thalib adalah Tuhan atau memiliki posisi lebih tinggi daripada Nabi
Muhammad, maka mereka telah tersesat.”
Pandangan seperti di atas tentu
merupakan perlawanan terhadap kelompok seperti ANNAS (aliansi nasional anti-Syiah).
Kelompok yang dipimpin oleh Athian Ali M. Da’i itu sering melakukan gebyah
uyah atau mengeneralisasi bahwa semua orang Syiah adalah sesat. Dan kalau lah
mereka sesat, bagi KH Mustafa Yaqub, kita tidaklah berhak melakukan
kekerasan. Negaralah yang memiliki kedaulatan.
Memang, sikap KH Mustafa Yaqub
terhadap Syiah kadang terlihat seperti anti terhadap kelompok ini. Namun
sepemahaman penulis, apa yang dilakukannya adalah upaya untuk menjaga harmoni
dalam masyarakat. Selain hal-hal yang berkaitan dengan teologi, KH Mustafa
Yaqub termasuk ulama yang kritis terhadap mereka yang sering mendewakan
ritual, seperti dalam melakukan ibadah haji.
Di Majalah Gatra (Januari 2006)
misalnya, beliau menulis artikel berjudul ”Haji Pengabdi Setan”. Tulisan itu
sangat menghenyakkan karena ditulis oleh ulama terkemuka dan ketika itu
menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal. Bagaimana bisa seorang ulama menyebut
mereka yang melakukan haji sebagai pengabdi setan? Biasanya ulama justru
menganjurkan umatnya untuk memperbanyak ibadah ritual, termasuk haji. Tapi,
KH Mustafa Yaqub tidak setuju hal itu dan lebih memilih untuk menekankan
pentingnya ibadah sosial.
Intinya, beliau mengecam mereka
yang berhaji berkali-kali yang menurutnya tak lain hanya menuruti bujukan
setan. Ketika banyak persoalan kemiskinan begitu parah di masyarakat, maka
haji berkali-kali itu tidak hanya tak etis secara sosial, tapi juga bahkan
bisa berhukum haram. ”Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di
sisi Ka’bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita.” Ini
adalah refleksi dari teologi pembebasan yang mengalir dalam darah KH Mustafa
Yaqub.
Sebagai salah satu muridnya di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pesantren Darus Sunnah Ciputat, penulis mulai
berkenalan dengan KH Mustafa Yaqub tahun 1994 atau lima tahun setelah beliau
mendirikan Pesantren Darus Sunnah. Selain beberapa sikapnya yang tertulis di
atas, ada beberapa hal yang penulis catat tentang kiai yang berjenggot tipis,
tak suka bergaya Arab, dan tak terlihat jidat hitamnya ini.
Pertama berkaitan dengan pemilihan nama
pesantrennya, Darus Sunnah. Mungkin banyak yang bertanya, mengapa tidak
disebut Darul Hadits? Meskipun KH Mustafa Yaqub disebut sebagai pakar hadits,
beliau tahu betul bahwa Sunnah memiliki makna yang lebih luas daripada
hadits.
Sunnah tidak hanya mengacu kepada
sabda Nabi Muhammad yang tertulis, tetapi juga mengacu kepada sesuatu yang
diteladani para Sahabat dan Tabi’in. Meskipun itu tak tertulis, sesuatu yang
dijiwai dan menjadi model dalam perilaku.
Kedua, kehadiran KH Mustafa Yaqub
membantah tuduhan yang mengeneralisasi bahwa alumni Arab Saudi akan memiliki
pandangan radikal. Meski pendidikan S-1 dan S-2 beliau ditempuh di Arab
Saudi, KH Mustafa Yaqub bukanlah orang yang terbuai dengan penampilan luar
masyarakat Arab atau cara berpakaian Arab. Ia lebih senang memakai kopiah dan
baju sebagaimana umumnya orang Indonesia daripada memakai sorban atau kafiyeh
atau jubah gaya Arab.
Ini berbeda dari orang yang baru
tahu Arab, tapi menjadikan tradisi luar Arab sebagai model kebanggaan. Cara
berpikirnya pun banyak yang tak sejalan dengan ideologi yang dipromosikan
Pemerintah Saudi, Wahabisme. Meskipun Pesantren Darus Sunnah secara
pendidikan berafiliasi dengan Timur Tengah, KH Mustafa Yaqub bisa
mempertahankan independensi dalam berpikir.
Terakhir, berpolitik sepertinya
menjadi kecenderungan dari banyak ulama belakangan ini. KH Mustafa Yaqub
termasuk dari sedikit ulama yang tidak menyerahkan dirinya tergulung dalam
kisaran politik. Ia konsisten dalam bidang akademik sebagai ahli hadits,
mendidik anak-anak di pesantren, dan berdakwah. Selamat jalan Pak Kiai,
semoga akan lahir ahli-ahli hadits baru yang menjadi penerusmu dan yang
benar-benar mengamalkan Sunnah, bukan sekadar tahu tentang hadits. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar