Mafia Hukum Itu Ada
Moh Mahfud MD ; Ketua
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN; Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 30 April
2016
Meskipun dulu pernah dicibir
sebagai gosip belaka, istilah mafia hukum tiba-tiba mencuat lagi setelah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution karena (sangkaan) penyuapan.
Terlebih lagi operasi tangkap
tangan (OTT) itu diikuti dengan pencekalan atas Sekretaris Mahkamah Agung
(MA) Nurhadi untuk bepergian ke luar negeri. KPK pun menyita dokumen perkara
dan uang yang terdiri atas berbagai pecahan uang asing senilai Rp1,7 miliar
dari kantor dan rumah Nurhadi yang digeledahnya.
Istilah mafia hukum atau mafia
peradilan pun hampir setiap hari muncul di berbagai media massa. Ada stasiun
televisi yang pada pekan ini menjadikan isu mafia hukum sebagai berita utama
sekaligus topik dialog sampai berkali-kali, mulai pagi sampai tengah malam
dan sampai pagi lagi. Judulnya tak main-main. Edisi Kamis, 28 April kemarin,
misalnya, pada dialog prime time news dibuat judul ”Ada Mafia Hukum di MA?”
dan ”Nurhadi Makelar Perkara di MA?”.
Istilah mafia hukum merupakan
persamaan dan perubahan dari istilah mafia peradilan di Indonesia yang dulu
dinisbatkan pada proses paradilan yang sangat koruptif. Istilah mafia
peradilan dikenal luas sejak era Orde Baru meski pemerintah sendiri kerap
kali mempersoalkan penggunaan istilahnya. Oetojo Oesman, misalnya, saat
menjadi menteri kehakiman pada 1990-an mengkritik penggunaan istilah tersebut
sebagai berlebihan. Menurutnya istilah itu tidak tepat karena kalau mafia
sebagai organisasi bandit, ada pimpinan dan pengurusnya yang identitasnya
jelas seperti mafia di Sicilia.
Mafioso peradilan di Indonesia
tidak jelas identitas pemimpinnya sehingga menurut Oetojo dan kawan-kawan,
hal itu hanyalah isu atau gosip yang berlebihan belaka. Tapi Artidjo Alkostar
dalam pidato dies natalis tahun 1996 di Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta memastikan bahwa mafia peradilan itu ada. Artidjo yang saat itu
masih menjadi dosen dan advokat mengatakan, siapa pun yang tidak percaya
adanya mafia peradilan, coba saja beperkara atau mengurus perkara ke
pengadilan.
Di sana, kata Artidjo, Anda akan
langsung tahu bahwa mafia peradilan itu ada, bukan gosip, tapi fakta. Mafia
peradilan adalah kanker ganas yang harus dibasmi. Pengalaman sebagai advokat
yang sering dibuat naik pitam oleh mafia peradilan itulah yang, kiranya,
mendasari sikap-sikap Artidjo ketika menjadi hakim agung sejak tahun 2000
sampai sekarang. Sikapnya sangat keras terhadap mafia hukum dan tak mau
berkompromi terhadap pelaku korupsi.
Istilah jual beli dan pengaturan
perkara di pengadilan yang dulunya terkenal sebagai mafia pengadilan itu
secara resmi berubah menjadi istilah mafia hukum ketika Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) menjadi presiden Republik Indonesia (2004- 2009 dan
2009-2014). SBY-lah yang pertama kali menggunakan istilah mafia hukum yang
sebelumnya disebut mafia peradilan. Itu berarti pengakuan bahwa mafia hukum
di pengadilan itu ada. Di dalam kampanye-kampanye pilpres, begitu juga di
dalam pidato-pidato dan kebijakan kepresidenannya, SBY selalu menyebut mafia
hukum secara resmi sebagai masalah besar bangsa kita.
Bahkan secara resmi pula SBY
membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin Kuntoro
Mangkusubroto.
Satgas ini beranggotakan
aktivis-aktivis anti korupsi seperti Denny Indrayana, Yunus Husein, dan Mas
Achmad Santosa (Ota).
Memperkuat pengakuan resmi oleh
negara, adanya mafia hukum, faktanya, terbukti juga secara cetho welo-welo ketika Mahkamah
Konstitusi (MK) di penghujung tahun 2009 membuka rekaman percakapan
pengaturan perkara oleh Anggodo Widjojo. Kasus yang sering disebut sebagai
kriminalisasi terhadap Komisioner KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad itu
membuktikan terjadinya pengaturan perkara oleh Anggodo melalui
pembicaraan-pembicaraanyang bernada instruktif terhadap para penegak hukum.
Dalam kasus Anggodo itu terbukti
jelas adanya pembicaraan pengaturan perkara antara Anggodo dengan pejabat
tinggi kejaksaan agung, pejabat Polri, pejabat LPSK, pengacara, dan
sebagainya. Bukti mafia hukum yang terungkap dari rekaman hasil penyadapan
oleh KPK yang disetel di MK itu kemudian menjungkalkan beberapa pejabat
penting dan mengantar Anggodo dan yang lain ke penjara.
Kasus Gayus Tambunan tak kalah
menghebohkan. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang masih sangat yunior itu
telah melakukan kejahatan dengan mafia yang melibatkan polisi (Sumarni),
jaksa (Cirus Sinaga), hakim (Ibrahim), pengacara (Haposan), dan lain-lain. Kasus
Gayus dan Anggodo adalah contoh yang cukup sempurna dalam mafia hukum
sehingga istilah mafia hukum lebih mudah didefinisikan.
Mafia hukum adalah pengaturan
perkara secara curang yang melibatkan aparat penegak hukum dan calo-calo
untuk membuat putusan pengadilan menjadi seperti yang diinginkan oleh
penyuap. Tentu saja kurang fair kalau saya membahas mafia hukum dengan hanya
mengambil contoh dari kasuskasus di MA, Polri, kejaksaan, dan dunia advokat
tanpa menyebut juga MK.
Di MK pun sudah terbukti secara
sah dan meyakinkan ada mafia hukum.
Penghukuman secara inkracht terhadap mantan Ketua MK yang
melibatkan perantara Mochtar Ependi dan beberapa kepala daerah yang kemudian
juga dihukum karena penyuapan adalah bukti nyata bahwa di MK pun ada mafia
hukum.
Jadi terlepas dari apa pun hasil
penanganan KPK atas OTT terhadap Panitera PN Jakarta Pusat dan pencekalan
serta penggeledahan di kantor dan rumah Sekretaris MA Nurhadi, terbukti atau
tak terbukti, simpulannya, mafia hukum itu ada. Problem utama bangsa kita ini
sebenarnya bersumbu di mafia hukum. Kasus narkoba atau korupsi dan lain-lain
yang dianggap sangat membahayakan itu sebenarnya bersumbu pada soal penegakan
dan mafia hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar