Kedaulatan dan Sengketa Investasi
Abdulkadir Jailani ; Pemerhati
Isu Hukum Investasi Internasional
|
KOMPAS, 02 Mei
2016
Dalam setiap perundingan free trade agreement (FTA) atau bilateral investment treaty (BIT),
salah satu isu yang paling kontroversial adalah persoalan penyelesaian
sengketa investasi antara investor asing dan negara di arbitrase
internasional.
Perdebatan tentang isu tersebut
berlangsung sangat tajam dalam konteks pertentangan antara keperluan untuk
melindungi hak investor asing dan kepentingan untuk menjaga kedaulatan
ekonomi.
Dalam praktik di semua FTA dan BIT
yang telah dibuat Indonesia, kepentingan investor asing tampak lebih perkasa
dibandingkan upaya menjaga kedaulatan ekonomi nasional. Selama ini Indonesia
telah memberikan hak kepada investor untuk secara langsung menggugat
Indonesia di arbitrase internasional, meskipun langkah tersebut dapat
mengurangi atau membatasi kedaulatan ekonomi nasional.
Berdasarkan pengalaman banyak
negara, hak investor tersebut dapat mempersempit kewenangan negara dalam
menempuh kebijakan pembangunan nasional. Selain itu, hak tersebut juga dapat
dengan mudah disalahgunakan oleh investor asing untuk menggugat kebijakan
pembangunan nasional suatu negara yang
dianggap tidak sejalan dengan kepentingan komersial mereka.
Dalam lima tahun terakhir,
Indonesia telah menghadapi empat kasus gugatan di arbitrase internasional,
yaitu kasus Churchill Mining, kasus Bank Century, kasus Newmont, dan terakhir adalah kasus Indian Metals &
Ferro Alloys. Dalam semua kasus itu, Indonesia digugat untuk membayar
kompensasi yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
Peninjauan
kembali
Menyadari kerawanan penyalahgunaan
ini, Pemerintah Indonesia saat ini sedang meninjau kembali praktik pemberian
hak kepada investor asing dimaksud. Langkah tersebut dilakukan bersamaan
dengan kebijakan pemerintah untuk menghentikan dan meninjau kembali semua BIT
yang telah dibuat oleh Indonesia. Sejauh ini pemerintah telah menghentikan 20
BIT, meskipun tidak ada satu pun FTA yang dihentikan karena alasan ini.
Dalam proses peninjauan kembali
yang melibatkan publik, akademisi, dan praktisi hukum, pemerintah pada
akhirnya mengambil posisi baru. Hak investor untuk menggugat di arbitrase
internasional tetap dapat dipertahankan sepanjang dalam pelaksanaannya
memenuhi persyaratan, yaitu harus memperoleh persetujuan (prior-consent) Pemerintah Indonesia.
Perubahan kebijakan tersebut sama
sekali tidak dimaksudkan untuk menghapus perlindungan terhadap investor asing
di Indonesia dan sama sekali tidak mengurang hak investor asing untuk
memperoleh perlindungan hukum dari hukum nasional.
Posisi baru tersebut dapat
dipastikan akan menghadapi tantangan dalam beberapa perundingan FTA, atau BIT
khususnya dengan negara-negara maju. Oleh karena itu, konsistensi pemerintah
untuk mempertahankan posisi baru sangat diperlukan untuk melindungi
kedaulatan ekonomi nasional.
Landasan
posisi baru
Posisi baru tersebut didasarkan
pada pertimbangan strategis dan
landasan normatif yang memadai. Peraturan perundangan nasional telah
mensyaratkan adanya prior-consent
dari Pemerintah Indonesia sebelum menyelesaikan sengketa investasi di
arbitrase internasional.
Syarat tersebut ditegaskan dalam
Pasal 2 UU No 5/1968 tentang Penyelesaian
Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal
dan Pasal 32 Ayat 4 UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan demikian,
suatu sengketa investasi dapat diselesaikan di arbitrase internasional
apabila pemerintah dan investor asing bersepakat untuk menyerahkan sengketa
tersebut ke arbitrase internasional.
Dengan memperhatikan ketentuan
berbagai peraturan perundangan nasional, misalnya UU No 4/2009 tentang
Minerba dan UU No 13/2010 tentang Hortikultura, yang memiliki semangat
berbeda dengan berbagai BIT atau FTA,
persyaratan prior-consent
diharapkan dapat berperan sebagai legal safeguard bagi kepentingan nasional
dari ancaman gugatan para investor asing di arbitrase internasional.
Utamakan
kedaulatan
Persyaratan tersebut semakin
diperlukan mengingat berbagai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung
mengedepankan kedaulatan nasional dan mengurangi peranan investor asing. Hal
ini bisa dilihat dari, misalnya, pembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya
Air. Tanpa adanya syarat tersebut, para investor asing dapat secara mudah
menggugat pelaksanaan peraturan perundangan nasional di arbitrase
internasional karena keputusan MK tersebut dianggap bertentangan dengan
komitmen Indonesia di BIT atau FTA.
Hal tersebut juga menjadi sebuah
keniscayaan karena buruknya pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah di
Indonesia. Persyaratan tersebut diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
gugatan arbitrase internasional yang muncul akibat kebijakan yang diambil
oleh pemerintah daerah.
Isu di atas perlu mendapat
perhatian khusus mengingat saat ini Indonesia sedang menghadapi gugatan
Churchill Miningdan PT IMFA ke arbitrase internasional akibat kebijakan
pemerintah daerah.
Untuk memperjuangkan posisi baru
tersebut, sudah sepatutnya Indonesia melihat keberhasilan Filipina dalam
mengupayakan perlakuan khusus untuk menerapkan syarat prior-consent di semua ASEAN + 1 FTA. Dalam perjanjian-perjanjian
tersebut, semua investor asing yang akan mengajukan gugatan ke arbitrase
internasional perlu prior-consent dari Pemerintah Filipina.
Pemerintah Indonesia tidak perlu
terlampau mengkhawatirkan posisi baru tersebut bahwa akan memengaruhi daya
tarik Indonesia sebagai tujuan investasi. Berbagai kajian akademis
membuktikan bahwa pemberian hak kepada investor bukan merupakan pertimbangan
utama dalam melakukan investasi.
Pertimbangan
komersial
Investor asing lebih memperhatikan
stabilitas politik, potensi pertumbuhan ekonomi, ketersediaan infrastruktur,
dan pertimbangan-pertimbangan komersial lainnya. Sebagai contoh, meskipun
Brasil sampai saat ini tidak terikat pada FTA atau BIT yang memberikan hak
kepada investor asing untuk mengajukan gugatan secara langsung ke arbitrase
internasional, Brasil menjadi tujuan investasi tertinggi ke-7.
Maka, dalam perundingan BIT atau
FTA yang sedang atau akan dilakukan Indonesia, pemerintah sepatutnya tetap
konsisten mempertahankan posisi yang mensyaratkan prior-consent dari pemerintah bagi investor asing untuk
mengajukan gugatan ke arbitrase internasional.
Langkah tersebut perlu dilakukan
untuk menyeimbangkan kepentingan investor asing dengan keperluan melindungi
kedaulatan ekonomi nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar