Menangkal Lampu Kuning Laju Kemiskinan
Enny Sri Hartati ; Direktur
Institute for Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 02 Mei
2016
Target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 rata-rata sekitar 6,94 persen.
Sementara tahun 2015 ditargetkan mampu mencapai 5,5 persen dan pada 2016
mencapai 6,5 persen. Nyatanya, pada 2015 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai
4,8 persen dan pada 2016 asumsi APBN 2016 hanya 5,2 persen. Artinya, pada
2016 saja terdapat selisih target pertumbuhan sekitar 1,3 persen. Itu pun
jika target pertumbuhan 5,2 persen pada 2016 mampu dicapai. Apalagi, target
pertumbuhan 8 persen pada 2019 rasanya akan hanya menjadi target pada dokumen
RPJM.
Berdasarkan realisasi angka pertumbuhan 2015-2016 itu,
akhirnya pemerintah merevisi target angka kemiskinan dan tingkat pengangguran
terbuka pada 2017. Pada Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional 2016, target
angka kemiskinan pada 2017 diturunkan menjadi 9,5-10,5 persen. Sebelumnya,
pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, target angka
kemiskinan pada 2017 adalah 8,5-9,5 persen. Sementara target tingkat
pengangguran terbuka 2017 ditetapkan 5,3-5,6 persen. Angka ini juga lebih
rendah dibandingkan target RPJM yang sebelumnya dipatok 5,0-5,3 persen.
Penurunan target kemiskinan pada 2017 memang dapat
dikatakan lebih realistis. Bahkan, sekalipun targetnya sudah diturunkan,
belum tentu serta-merta dapat mencapainya. Pasalnya, pada September 2015,
angka kemiskinan masih bertengger di angka 11,13 persen. Artinya, pada tahun
2016 untuk menurunkan di kisaran angka 10 persen pun masih perlu kerja ekstra
keras. Demikian juga target penurunan tingkat pengangguran terbuka pada
Agustus 2015 yang masih mencapai 6,18 persen. Sektor yang mampu menyediakan
lapangan kerja terbesar adalah sektor industri pengolahan. Pada triwulan
IV-2015, industri pengolahan hanya mampu tumbuh 4,35 persen. Artinya, untuk
tahun 2016 dapat memulihkan korban gelombang pemutusan hubungan kerja selama
2015 pun sudah bersyukur.
Dengan stagnannya realisasi target penurunan angka
kemiskinan dan pengangguran tersebut, hal ini mesti menjadi evaluasi
pemerintah. Angka kemiskinan dan pengangguran merupakan indikator paling
dasar untuk mengukur efektivitas kerja pemerintah. Sekaligus untuk menilai
apakah kebijakan ekonomi sudah berada pada jalur yang tepat karena
pengangguran akan langsung berdampak pada daya beli masyarakat dan
kontribusinya terhadap kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Di samping berkaitan
langsung dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat, indikator ini juga
menjadi modal sosial untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Sekaligus mencerminkan ada tidaknya kehadiran negara untuk menyejahterakan
rakyatnya.
Paket kebijakan stimulus fiskal harus lebih fokus menyasar
pada sektor-sektor yang mampu menciptakan lapangan kerja. Jika dilihat dari
data yang dirilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), selama 2015
sekalipun terjadi peningkatan investasi hampir di sektor prioritas, investasi
pada sektor padat karya justru turun 12 persen atau hanya mencapai Rp 55,5
triliun. Tren ini belum berubah sampai dengan triwulan I-2016.
Pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja pada triwulan I-2016 hanya tumbuh 3,7 persen (yoy).
Padahal, terjadi kenaikan investasi Rp 146,5 triliun atau naik 17,6 persen.
Bahkan, ironisnya penyerapan tenaga kerja dari investasi penanaman modal
asing justru turun sekitar 5,5 persen. Hanya penanaman modal dalam negeri
yang penyerapan tenaga kerjanya tumbuh 20,4 persen.
Sebenarnya, sekalipun target pertumbuhan ekonomi di bawah
target RPJM, jika ada reorientasi untuk mendorong investasi sektor padat
karya, target penurunan pengangguran masih dapat tercapai. Oleh karena itu,
pemerintah harus fokus menyelesaikan problem dan kendala yang dihadapi
industri-industri padat karya. Rendahnya minat investasi pada sektor padat
karya tentu bukan tanpa alasan. Artinya, beberapa persoalan krusial masih
dihadapi para investor. Pemerintah harus segera menyelesaikan beberapa
problem krusial itu, antara lain segera ada terobosan regulasi untuk
penyelesaian berbagai masalah perburuhan, peningkatan ketersediaan tenaga
kerja terampil sesuai kualifikasi kebutuhan industri, dan insentif yang
konkret untuk industri padat karya.
Di samping investasi industri skala besar, hal yang sering
terlupakan adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sektor ini paling
berkontribusi besar pada penciptaan lapangan kerja. Kemudahan pembiayaan dan
perlindungan akses pemasaran produk UMKM menjadi kunci berkembangnya sektor
ini. Program Kredit Usaha Rakyat harus lebih efektif membiayai usaha-usaha
produktif yang memperluas lapangan kerja. Demikian juga dana desa yang cukup
besar dapat mendorong usaha-usaha produktif di pedesaan. Keberhasilan
instrumen perluasan kesempatan kerja ini sekaligus akan jadi kunci paling
fundamental pengentasan warga miskin di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar