Kamis, 12 Mei 2016

Revitalisasi Pendidikan Kejuruan

Revitalisasi Pendidikan Kejuruan

Satryo Soemantri Brodjonegoro ;   Dirjen Dikti (1999-2007);
Guru Besar Emeritus ITB,  Wakil Ketua AIPI
                                                         KOMPAS, 10 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Instruksi Presiden tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan dalam peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia dengan melibatkan sejumlah kementerian dan pemerintah daerah.

Rupanya kebutuhan akan tenaga terampil tingkat menengah oleh industri dan proyek pembangunan sektoral sangat tinggi. Pendidikan kejuruan saat ini masih jauh dari ideal bahkan cenderung makin jauh dari harapan masyarakat. Revitalisasi ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan di atas.

Pendidikan kejuruan memerlukan investasi yang sangat mahal karena memerlukan guru atau instruktur yang mempunyai keahlian tinggi dan memerlukan peralatan yang selalu mutakhir sesuai dengan perkembangan industri. Untuk menghindari pemborosan investasi, perlu ditemukenali penyebab masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan kejuruan di Indonesia. Penambahan fasilitas praktik berupa penambahan peralatan dan penambahan jumlah guru belum tentu mampu meningkatkan mutu dan relevansi karena faktor utama justru terletak pada kemampuan murid sekolah menengah kejuruan (SMK).

Lulusan SMA lebih disukai

Hasil survei penulis pada 2015 terhadap 460 perusahaan tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, dengan beragam bidang usaha dan beragam ukuran, menunjukkan bahwa pada umumnya perusahaan cukup puas dengan lulusan SMK yang telah mereka rekrut meski tingkat keahliannya belum sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pendidikan kejuruan bertujuan menyiapkan generasi muda yang siap latih untuk memasuki dunia kerja formal sesuai bidang keahlian yang dipelajarinya.

Hasil survei juga menunjukkan bahwa separuh populasi lulusan SMK tidak memperoleh pekerjaan formal, artinya terjadi ketidaksesuaian antara keahlian yang dipelajari di SMK dan harapan dan kebutuhan perusahaan. Hal ini perlu jadi perhatian pembuat kebijakan agar program revitalisasi efektif dan tidak justru menjadi suatu pemborosan investasi. Hal lain yang mengemuka dari hasil survei adalah bahwa perusahaan lebih memilih lulusan sekolah menengah atas (SMA) daripada lulusan SMK. Perusahaan lebih memilih mereka yang siap latih karena dinamika pekerjaan yang demikian cepat dalam era persaingan global sehingga diperlukan calon pekerja yang adaptif mampu mengikuti perkembangan.

Dengan kondisi faktual seperti itu, keberadaan atau peran SMK perlu ditinjau kembali supaya cita-cita SMK dapat terwujud. Reformasi total pendidikan kejuruan perlu dilakukan agar eksistensi SMK tetap terjaga melalui upaya bagaimana menjadikan SMK sebagai pilihan oleh masyarakat (orangtua dan murid) karena SMK menjanjikan suatu prospek masa depan generasi muda dengan keahlian tertentu.

Selama ini SMK hampir selalu jadi pilihan kedua setelah SMA. Artinya, orangtua dan murid pada umumnya ingin masuk SMA, tetapi karena daya tampung SMA terbatas, mereka yang nilainya lebih rendah terpaksa harus masuk SMK daripada tidak bersekolah. Tentu saja tak sedikit mereka yang menjadikan SMK sebagai pilihan pertama karena berbagai pertimbangan dan mereka umumnya adalah outlayer (kelompok di atas rata rata).

SMK harus unik

Adanya dikotomi antara pendidikan umum dengan pendidikan kejuruan juga memicu orangtua dan murid lebih memilih SMA karena prospek masa depannya yang lebih terbuka. Pendidikan kejuruan memberikan kemampuan khusus bagi murid sehingga prospek masa depannya memang lebih terbatas. Di samping itu pendefinisian pendidikan kejuruan oleh pemerintah terkesan melemahkan SMK di mana keterampilan lebih diutamakan ketimbang pengetahuan, padahal untuk mempunyai keterampilan yang tinggi dibutuhkan pengetahuan yang tinggi.
Tantangan global saat ini sudah tak lagi terlalu membedakan antara pengetahuan dan keterampilan, bahkan sudah terjadi komplemen antara keduanya. Dengan demikian, antara pendidikan umum dan pendidikan kejuruan sudah tidak perlu dipisahkan atau dibedakan, keduanya dapat dilaksanakan dalam satu lembaga di mana peserta didik dapat memilih bidang keahlian yang diminatinya setelah memenuhi kecukupan pengetahuan, minimal pengetahuan dasar.

Idealnya di SMA ada peminatan bagi murid sesuai dengan bakat dan kapasitasnya, penjurusan di SMA sebaiknya ditiadakan karena pada usia semuda itu para murid belum dapat menentukan masa depannya, terlalu dini mereka membuat keputusan. Dengan demikian, tak ada lagi SMK dan tak akan ada perbedaan antara lulusan SMA dan SMK.

Seandainya SMK tetap dipertahankan keberadaannya, harus ada reformasi total di mana SMK harus betul-betul spesifik dan unik dan menjanjikan keahlian khusus yang dibutuhkan masyarakat. Karena keunikannya, SMK yang demikian sangat sedikit jumlahnya dan tiap SMK itu punya keluwesan mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat.

Di Jepang hanya ada lima technical college (semacam SMK) dan seluruhnya terintegrasi dengan industri besar, seperti Toyota dan lainnya. Kita di Indonesia dapat membuat SMK yang menarik karena keunikannya, misalnya, SMK untuk fashion design, SMK untuk menyiapkan master chef, dan lainnya. SMK seperti itu kalau ditangani tenaga profesional dan ditangani secara profesional, bukan birokrasi, pasti akan menjadi unggulan dan diminati para orangtua dan murid dari kalangan mampu.

Tantangan ke depan dalam revitalisasi pendidikan kejuruan adalah bagaimana agar SMK diminati kalangan mampu, bukan sekadar tempat bersekolah demi status sosial dan bukan sekadar upaya untuk peningkatan angka partisipasi kasar pendidikan menengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar