Tantangan
Pemerintahan Jokowi
Saurip Kadi ; Mayor Jenderal TNI (Purn); Mantan Aster KSAD
|
KOMPAS,
03 Oktober 2014
DALAM
negara demokrasi, pemilu diposisikan sebagai sarana menghitung kemauan
mayoritas rakyat dalam membentuk pemerintahan dan sebagai wahana melakukan
kontrak sosial: program dan janji politik yang disampaikan dalam kampanye. Maka,
pemilu tidak sepatutnya disamakan dengan perang: pihak yang kalah akan
menempuh segala cara balas dendam dengan perang berlarut-larut. Lebih bijak
apabila setelah pemilu semua pihak, termasuk dari kubu yang kalah, bersatu
padu kembali membangun negeri ini.
Arsitektur
sistem kenegaraan kita belum menerapkan asas transparansi dan check and
balance karena masih mencampuradukkan nilai-nilai sistem presidensial dengan
sistem parlementer begitu saja. Kedaulatan rakyat yang dipercayakan kepada
seorang presiden dalam praktiknya bisa terganjal, bahkan tereduksi oleh
lembaga demokrasi lainnya. Salah satunya adalah hubungan lembaga presiden
dengan DPR.
Gabungan partai oposisi
Bagaimana
mungkin presiden yang legitimasinya datang langsung dari rakyat melalui
pemilu, sebagai mekanisme demokrasi yang begitu panjang dan dengan risiko
serta biaya politik yang tinggi, berhadapan dengan partai atau gabungan
partai oposisi di DPR layaknya sistem parlementer? Pola demikian ke depan
menuntut kemampuan kabinet yang prima dalam memainkan power play tanpa harus
bagi-bagi kekuasaan seperti yang dilakukan dalam dua kali pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono yang ujungnya hanya menyuburkan wabah korupsi dan mafia.
Tantangan
lain yang langsung menghadang pemerintahan Joko Widodo adalah di bidang
anggaran. Menurunnya pasar produk Indonesia, terkhusus di Eropa Barat dan
Tiongkok, belakangan ini membuat beberapa tahun ke depan upaya menaikkan
penerimaan negara dari sektor pajak dengan cara-cara lama sulit ditempuh.
Oleh karena itu, ke depan dibutuhkan terobosan menghentikan kebocoran dari
sektor pajak dan di sisi lain agar potensi pemasukan sektor pajak yang begitu
besar bisa efektif terpungut sebagai pendapatan negara.
Bengkaknya
subsidi BBM dalam dua periode pemerintahan SBY juga tidak mungkin diteruskan.
Pengalihan subsidi dengan menaikkan harga BBM Rp 1.000 per liter saja akan
menghemat Rp 46 triliun, jumlah besar yang bisa digunakan untuk program
menaikkan pendapatan rakyat banyak sehingga tak peduli harga BBM berapa pun,
kelak rakyat mampu membelinya.
Mafia di
mana-mana dan di mana-mana mafia adalah realitas yang hidup di tengah-tengah
kita. Suburnya praktik mafia tidak bisa lepas dari keterlibatan secara
sistemik birokrasi pemerintah, terlebih pada jajaran aparatur keamanan dan
penegak hukum. Praktik mafia ini bukan hanya telah menistakan dan menghinakan
kemanusiaan, khususnya terhadap rakyat kecil akibat kejahatan modal, bahkan
state terrorism yang dibarengi jatuhnya korban dan juga kriminalisasi.
Ia juga
telah menghilangkan potensi pemasukan negara akibat manipulasi pajak yang
dilakukan dengan cara restitusi pajak fiktif, bisnis ilegal, serta
penggangsiran untung melalui pinjaman luar negeri fiktif dan perdagangan
internal grup sejumlah perusahaan besar (Tbk), di samping hilangnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Praktik
mafia yang tidak kalah mengerikan juga terjadi pada sektor minyak dan gas,
anggaran, perbankan, hukum, bea cukai, BUMN, serta hampir semua sektor
kehidupan, termasuk dalam perekrutan pegawai negara. Tantangan nyata tersebut
hanya mungkin dijawab dengan melakukan terobosan khusus dalam bentuk
reformasi birokrasi dan atau restrukturisasi sejumlah lembaga pemerintahan.
Begitu
pula tentang korupsi, ke depan demokrasi kita harus bebas dari praktik
monopoli dan oligarki kekuasaan serta politik transaksional sehingga peluang
untuk korupsi mengecil. Karena korupsi adalah kreasi manusia, hanya dengan
paksaan dari sistemlah praktik korupsi bisa dieliminasi.
Jokowi
adalah simbol perlawanan rakyat. Kelebihan utama Jokowi tersua pada faktor
kejiwaan terkait dengan trust. Ia
jujur dan sederhana. Lebih dari itu adalah faktor keillahian yang begitu
melekat pada rakyat awam, terlebih di pedesaan: ”wahyu” atau ”pulung”. Hanya
karena dengan turun tangan Tuhan-lah, seorang mandor mebel bisa cepat
meloncat menjadi wali kota, gubernur, kemudian presiden.
Terobosan menentukan
Praktik
korupsi dan mafia yang terstruktur, sistematik, dan masif (TSM) selama
pemerintahan SBY telah membuat rakyat banyak muak terhadap kelakuan sebagian
elite negeri ini, tak terkecuali terhadap sebagian elite partai. Ini membuat
dukungan langsung dari rakyat kepada pemerintahan Jokowi jauh lebih berarti
daripada dukungan partai dan DPR itu sendiri. Dapat dipastikan, ke depan
”oposisi” yang dimainkan Koalisi Merah Putih tanpa didasari aspirasi rakyat
yang murni niscaya akan memunculkan perlawanan rakyat tanpa dikomando sekali
pun.
Dengan
kata lain, sepanjang Jokowi tetap amanah, otomatis kendala struktural berupa
kecilnya jumlah anggota DPR dari partai pendukung pemerintah akan teratasi.
Bagaimanapun, niat pemimpin partai dan terlebih anggota DPR yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih adalah untuk membangun negeri ini, bukan untuk
menerapkan politik balas dendam.
Kalau
saja kabinet diisi oleh figur yang nyata-nyata aset bagi negeri ini, niscaya
semua potensi lawan politik akan pupus sejak hari pertama kepemimpinan Jokowi
pada 20 Oktober 2014. Sebaliknya, apabila susunan kabinet diisi oleh
orang-orang yang justru jadi liability
atau beban bagi negeri ini dan juga bagi Jokowi sendiri (apalagi orang- \orang
yang terkoneksi, terafiliasi, atau bagian dari mafia, koruptor, dan atau
orang bermasalah yang selama ini bak kanker penggerogot jasad dan jiwa bangsa
ini), dalam waktu dekat setelah pelantikan kabinet akan terjadi penggabungan
kekuatan lawan politik Jokowi dan kekuatan rakyat banyak yang kecewa. Bahkan,
bisa terjadi perubahan dari semula cinta menjadi benci. Jika ini terjadi,
niscaya sulit dipulihkan dengan bagi-bagi kekuasaan dengan partai-partai
Koalisi Merah Putih sekalipun.
Berangkat
dari ketegaran dan kemandirian dalam membentuk kabinet, ke depan Jokowi
mempunyai peluang memperbaiki salah pilih figur dengan mengadakan beberapa
kali perombakan kabinet sampai menemukan figur terbaik.
Perang
terhadap mafia hanya bisa dijawab dengan reformasi birokrasi dengan prioritas
jajaran aparatur keamanan. Dalam hal memerangi korupsi, di samping perbaikan
sistem demokrasi untuk menghentikan praktik monopoli dan oligarki kekuasaan
serta politik transaksional, tata kelola pemerintahan ke depan harus bisa
mempersempit niat dan kesempatan terjadi korupsi.
Untuk
itu, perlu melakukan pemisahan jabatan karier dan jabatan politik,
meningkatkan kebebasan warga negara untuk mengetahui apa saja yang dikerjakan
pemerintah, kecuali untuk bidang pertahanan dan intelijen, serta melakukan
penerapan pembuktian terbalik.
Khusus untuk lingkungan pajak dan Bea Cukai serta kejaksaan dan Polri
tidak cukup dengan sekadar reformasi, tetapi harus dibarengi dengan
restrukturisasi kelembagaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar