Presiden
Jokowi
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 21 Oktober 2014
Jokowi adalah suatu perayaan atas terwujudnya kehendak orang banyak,
yang dalam bahasa eksotis disebut rakyat. Bukan sekadar bagi 50 persen lebih
rakyat yang telah mencoblosnya dalam pemilihan presiden, melainkan juga
rakyat yang kurang dari 50 persen yang telah mencoblos calon presiden lain.
Jika hanya mengacu pada angka, kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan
besar. Justru karena itu perayaan yang berlangsung bukanlah perayaan atas
kemenangan suatu pihak terhadap pihak lain, melainkan kemenangan pihak mana
pun-jadi bukan sekadar kedua belah pihak-yang menghendaki, mendorong,
memberlangsungkan, mengesahkan, maupun mendoakan, agar sampai kepada
pencapaian pada 20 Oktober 2014 hari ini: pelantikan seorang presiden
terpilih dalam suatu pemilihan yang diikuti oleh rakyat dengan sangat
bergairah.
Sejauh yang bisa diingat, dicatat, dan diperiksa, gairah rakyat
terhadap pemimpin tertinggi pada awal kepemimpinannya yang seperti ini baru
terjadi pada Bung Karno. Saya sebetulnya menganggap gairah rakyat terhadap
Gus Dur juga tinggi, tapi proses politik yang membawanya ke kursi
kepresidenan adalah rekayasa tingkat tinggi, dan begitu pula proses jatuhnya
dari kursi itu, sehingga rakyat hanya bisa berperan sebagai penonton.
Proses yang menyamakan kehadiran Bung Karno dengan Jokowi adalah
momentum sosial-historis yang membawa rakyat untuk berperan. Namun posisi rakyat
dalam peran keduanya sungguh berbeda: Bung Karno adalah pemimpin yang
didukung rakyat, Jokowi adalah pemimpin yang mendukung rakyat. Bung Karno,
dengan segala bakat alamiahnya yang spektakuler, memimpin di depan dan
diikuti oleh rakyat, Jokowi dengan segala kebersahajaannya mengikuti kehendak
rakyat dari belakang, dan hanya untuk eksekusinya maka harus berada di depan.
Perbedaan keduanya jelas: meski bergelar insinyur, Bung Karno memilih
politik; Jokowi juga bergelar insinyur, tapi dengan kesadaran sepenuhnya
memilih berjualan mebel. Segenap riwayat Jokowi yang berhubungan dengan kursi
kekuasaan tidak menunjukkan indikasi ambisi. Sejak awal, sebetulnya Jokowi
adalah orang yang hanya didorong-dorong. Jokowi bukanlah jenis pemimpin yang
ngibul (baca: piawai menciptakan kesan), melainkan orang yang hasil kerjanya
mengesankan.
Perhatikanlah betapa wagu (bahasa Jawa: ganjil) Jokowi itu jika
mengenakan jas dan dasi, begitu pula jika apa boleh buat harus mengenakan
segala "baju kebesaran" sebagai wali kota dan gubernur-dan Jokowi
tidak pernah berhasil ngibul di situ: sekali wagu tetap wagu. Sebaliknya,
bagi saya, betapa mengesankan Jokowi ketika ia berada di lapangan dengan
"baju biasa" dan lengan bajunya tergulung agar lebih leluasa
bergerak.
Lengan baju yang tergulung ini tidak sekadar bermakna simbolis seperti
dalam ungkapan bahasa "menggulung lengan baju", melainkan karena
bagaimana seorang pemimpin akan dapat bekerja secara optimal, jika lebih
mementingkan citra diri, sebagai salah kaprah pemahaman atas konsep
kehormatan, yang telah menjerumuskan bangsa ini dalam korupsi
moral-mental-material selam berpuluh tahun-yang sungguh terlalu mahal
bayarannya.
Jokowi bukan produk pencitraan kosong, karena citra yang terbentuk
sekarang telah teruji berkali-kali dalam berbagai usaha penghancurannya. Kita
memang tidak bisa mengingkari bahwa citra adalah tetap citra, tapi syarat
untuk membuatnya tahan uji, yakni lebih banyak kecocokan daripada kibulnya,
terpenuhi oleh Jokowi, melalui penanda-penanda yang sungguh berbeda sama
sekali.
Bangsa Indonesia akan segera mengalami bagaimana seorang pemimpin itu
bisa saja tidak usah pura-pura berwibawa, kalau berbicara tidak usah
menggunakan bahasa tinggi, karena caranya berpikir yang memang lebih
cenderung praktis-realistis ketimbang teoretis-idealistis, dan seperti selama
ini dibuktikannya, akan lebih banyak meminta (bukan minta-minta) daripada
memerintah. Persuasi, itulah kata kunci keberhasilan Jokowi. Pengalaman
sebagai pedagang pun membuat ia sulit dikibuli pedagang lain.
Sebagai pemimpin, sudah dibuktikannya bagaimana ia akan menghindari
konflik, karena memang bukan kemenangan dan apalagi arogansi kekuasaan yang
penting, melainkan agar tujuan bersama, yakni kebaikan bagi sebanyak mungkin
orang, sebisa mungkin tanpa merugikan siapa pun, bisa tercapai.
Apakah ini berarti Jokowi adalah pemimpin lemah yang bisa
diinjak-injak? Saya ingat komentarnya tentang para aktivis yang hilang:
"Tidak bisa hilang begitu saja, harus dicari kejelasannya."
Sedangkan dari arena debat, saya ingat kalimat: "Jangan dikira saya ini
tidak bisa tegas. Saya juga bisa tegas." Meski diucapkan dengan nada
datar, saya menyarankan agar tidak terlalu perlu untuk mencoba-coba
mengujinya.
Peluang Jokowi adalah juga peluang Indonesia, marilah kita mendukungnya
dengan segenap daya kritis kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar