Rabu, 22 Oktober 2014

Presiden Jokowi

Presiden Jokowi

Seno Gumira Ajidarma  ;  Wartawan
KORAN TEMPO, 21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Jokowi adalah suatu perayaan atas terwujudnya kehendak orang banyak, yang dalam bahasa eksotis disebut rakyat. Bukan sekadar bagi 50 persen lebih rakyat yang telah mencoblosnya dalam pemilihan presiden, melainkan juga rakyat yang kurang dari 50 persen yang telah mencoblos calon presiden lain.

Jika hanya mengacu pada angka, kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan besar. Justru karena itu perayaan yang berlangsung bukanlah perayaan atas kemenangan suatu pihak terhadap pihak lain, melainkan kemenangan pihak mana pun-jadi bukan sekadar kedua belah pihak-yang menghendaki, mendorong, memberlangsungkan, mengesahkan, maupun mendoakan, agar sampai kepada pencapaian pada 20 Oktober 2014 hari ini: pelantikan seorang presiden terpilih dalam suatu pemilihan yang diikuti oleh rakyat dengan sangat bergairah.

Sejauh yang bisa diingat, dicatat, dan diperiksa, gairah rakyat terhadap pemimpin tertinggi pada awal kepemimpinannya yang seperti ini baru terjadi pada Bung Karno. Saya sebetulnya menganggap gairah rakyat terhadap Gus Dur juga tinggi, tapi proses politik yang membawanya ke kursi kepresidenan adalah rekayasa tingkat tinggi, dan begitu pula proses jatuhnya dari kursi itu, sehingga rakyat hanya bisa berperan sebagai penonton.

Proses yang menyamakan kehadiran Bung Karno dengan Jokowi adalah momentum sosial-historis yang membawa rakyat untuk berperan. Namun posisi rakyat dalam peran keduanya sungguh berbeda: Bung Karno adalah pemimpin yang didukung rakyat, Jokowi adalah pemimpin yang mendukung rakyat. Bung Karno, dengan segala bakat alamiahnya yang spektakuler, memimpin di depan dan diikuti oleh rakyat, Jokowi dengan segala kebersahajaannya mengikuti kehendak rakyat dari belakang, dan hanya untuk eksekusinya maka harus berada di depan.

Perbedaan keduanya jelas: meski bergelar insinyur, Bung Karno memilih politik; Jokowi juga bergelar insinyur, tapi dengan kesadaran sepenuhnya memilih berjualan mebel. Segenap riwayat Jokowi yang berhubungan dengan kursi kekuasaan tidak menunjukkan indikasi ambisi. Sejak awal, sebetulnya Jokowi adalah orang yang hanya didorong-dorong. Jokowi bukanlah jenis pemimpin yang ngibul (baca: piawai menciptakan kesan), melainkan orang yang hasil kerjanya mengesankan.

Perhatikanlah betapa wagu (bahasa Jawa: ganjil) Jokowi itu jika mengenakan jas dan dasi, begitu pula jika apa boleh buat harus mengenakan segala "baju kebesaran" sebagai wali kota dan gubernur-dan Jokowi tidak pernah berhasil ngibul di situ: sekali wagu tetap wagu. Sebaliknya, bagi saya, betapa mengesankan Jokowi ketika ia berada di lapangan dengan "baju biasa" dan lengan bajunya tergulung agar lebih leluasa bergerak.

Lengan baju yang tergulung ini tidak sekadar bermakna simbolis seperti dalam ungkapan bahasa "menggulung lengan baju", melainkan karena bagaimana seorang pemimpin akan dapat bekerja secara optimal, jika lebih mementingkan citra diri, sebagai salah kaprah pemahaman atas konsep kehormatan, yang telah menjerumuskan bangsa ini dalam korupsi moral-mental-material selam berpuluh tahun-yang sungguh terlalu mahal bayarannya.

Jokowi bukan produk pencitraan kosong, karena citra yang terbentuk sekarang telah teruji berkali-kali dalam berbagai usaha penghancurannya. Kita memang tidak bisa mengingkari bahwa citra adalah tetap citra, tapi syarat untuk membuatnya tahan uji, yakni lebih banyak kecocokan daripada kibulnya, terpenuhi oleh Jokowi, melalui penanda-penanda yang sungguh berbeda sama sekali.

Bangsa Indonesia akan segera mengalami bagaimana seorang pemimpin itu bisa saja tidak usah pura-pura berwibawa, kalau berbicara tidak usah menggunakan bahasa tinggi, karena caranya berpikir yang memang lebih cenderung praktis-realistis ketimbang teoretis-idealistis, dan seperti selama ini dibuktikannya, akan lebih banyak meminta (bukan minta-minta) daripada memerintah. Persuasi, itulah kata kunci keberhasilan Jokowi. Pengalaman sebagai pedagang pun membuat ia sulit dikibuli pedagang lain.

Sebagai pemimpin, sudah dibuktikannya bagaimana ia akan menghindari konflik, karena memang bukan kemenangan dan apalagi arogansi kekuasaan yang penting, melainkan agar tujuan bersama, yakni kebaikan bagi sebanyak mungkin orang, sebisa mungkin tanpa merugikan siapa pun, bisa tercapai.

Apakah ini berarti Jokowi adalah pemimpin lemah yang bisa diinjak-injak? Saya ingat komentarnya tentang para aktivis yang hilang: "Tidak bisa hilang begitu saja, harus dicari kejelasannya." Sedangkan dari arena debat, saya ingat kalimat: "Jangan dikira saya ini tidak bisa tegas. Saya juga bisa tegas." Meski diucapkan dengan nada datar, saya menyarankan agar tidak terlalu perlu untuk mencoba-coba mengujinya.

Peluang Jokowi adalah juga peluang Indonesia, marilah kita mendukungnya dengan segenap daya kritis kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar