Pemimpin
Baru dan Harapan Perubahan
Thomas Koten ; Direktur Social
Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 20 Oktober 2014
Bangsa Indonesia kini memiliki Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden
baru. Seluruh rakyat layak menyampaikan selamat atas pelantikannya sebagai
Presiden ketujuh RI pada 20 Oktober ini. Tentu saja, di balik ungkapan
selamat itu, diiringi pula berbagai harapan yang disematkan di pundaknya.
Harapan klise tetapi fundamental adalah segera terciptanya perubahan
dalam tata kehidupan masyarakat ke
taraf hidup yang lebih baik. Mengapa perubahan? Itu karena keinginan setiap
orang ketika hendak memilih pemimpin baru adalah terjadinya perubahan yang
dapat membawa perbaikan nasibnya. Selain itu, apabila seorang dicatat dalam
buku sejarah bangsanya sebagai pemimpin yang berhasil dan dihormati di
negaranya, bahkan dunia, ditakar dari kesanggupannya dalam membawa perubahan
yang signifikan bagi perbaikan nasib bangsanya.
Pemimpin yang dicatat berhasil memberikan pembaruan adalah Franclin
Delano Rosevelt di Amerika Serikat, Nasser di Mesir, Attaturk di Turki,
Gandhi di India, Gorbachev di Uni Soviet, dan Soekarno di Indonesia. Soeharto
juga dapat dideretkan di sini. Namun, di akhir masa jabatannya, ia mendapat
catatan yang kurang bagus sebagai pemimpin rezim yang korup dan otoriter.
Indonesia hingga kini masih mendambakan lahirnya pemimpin perubahan itu
yang sanggup membawa bangsa ini menuju kemajuan yang signifikan. Rakyat kecil
keluar dari balutan kemiskinan, penganggur diberikan lapangan kerja, korupsi
benar-benar diberantas, moral bangsa yang bobrok dicerahkan, dan kekerdilan
bangsa ini dibuat terhormat supaya disegani bangsa-bangsa lain di dunia.
Mengapa pemimpin perubahan? Perubahan dan kemajuan seharusnya bukan
hanya didengungkan para pemimpin. Sepanjang banyak rakyat miskin dan
penganggur masih bergumul dengan kemiskinannya, korupsi merajalela, moral
bangsa bobrok, Indonesia sejatinya belum mengalami perubahan yang diharapkan.
Oleh karena itu, adanya pemimpin perubahan benar-benar diharapkan
setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi memimpin. Ia tidak
sekadar baik, berbudi, jujur, berintegritas, bermoral, tegas, berwibawa,
berkarakter, tetapi juga harus benar-benar meningkatkan ekonomi rakyat
miskin, menciptakan lapangan kerja, memberantas korupsi, mencerahkan moral
bangsa, dan membawa bangsa ini disegani bangsa lain di dunia.
Dilihat dari sejarahnya, republik ini telah melahirkan sejumlah
pemimpin yang memiliki keunggulan khusus. Soekarno dikagumi karena jasanya
sebagai sang proklamator. Soekarno membawa bangsa ini keluar dari belenggu
penjajahan dan mengantarnya menuju pintu gerbang kemerdekaan.
Soeharto terkenal dengan bapak pembangunan yang membawa perbaikan pada
kehidupan ekonomi rakyat. Habibie dikagumi karena kepiawaiannya di bidang
teknologi. Gus Dur dengan pluralisme dan egalitarianismenya, sedangkan
Megawati sebagai ratu demokrasi karena mengakhiri masa jabatan tanpa
pertumpahan darah.
Yudhoyono gencar memberantas korupsi, meski belum memuaskan. Namun,
perilaku korup para elite pada masa pemerintahan mereka tetap merajalela
sehingga citra Indonesia adalah negeri terkorup di dunia.
Diperlukan
Keberanian
Saat ini, untuk perubahan itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat
dan berani. Pemimpin yang terus bermimpi mengubah negeri, tetapi berani
membayar harga tinggi atas risiko-risiko setiap keputusannya. Untuk kasus
korupsi, misalnya saja, pemimpin tidak cukup dengan memperkuat lembaga penegak
hukum, seperti KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, ataupun Satgas Pemberantasan
Korupsi. Sebaliknya, pemimpin itu haruslah kokoh melaksanakan yang dikatakan
Ferdinand I (1503-1564), yaitu fiat justitia pereat mundus atau hendaklah
hukum ditegakkan, meskipun langit runtuh
dan dunia harus binasa.
Untuk menyejahterakan rakyat miskin dan mengatasi pengangguran,
pemimpin perlu menaikkan pajak pendapatan orang-orang kaya, sambil mengontrol
ketat pembayaran pajak. Bukan dengan kebijakan belas kasih yang terus merendahkan
martabat mereka, seperti memberi bantuan langsung tunai (BLT) di balik
kebijakan menaikkan harga BBM.
Untuk perubahan, Jokowi sebagai pemimpin baru harus menunjukkan
keberanian itu. Jokowi harus berani mengambil keputusan berisiko demi
menyejahterakan rakyatnya, seperti Evo Morales di Bolivia, Ahmadinejad di
Iran, dan Hugo Chavez di Venezuela. Jokowi akan diuji oleh waktu, apakah dia
memiliki keberanian dan kesanggupan untuk hal itu.
Kita memang tidak bisa menuntut lahirnya pemimpin besar paripurna dalam
diri Jokowi. Namun, setidaknya Jokowi dapat tampil sebagai pemimpin bangsa,
seperti yang didambakan masyarakat polis Yunani kuno, yaitu pemimpin yang
memiliki ethos, pathos, dan logos. Ethos, adalah pemimpin yang memiliki
kekuatan, keyakinan, dan keberanian dengan kompetensi dan karakter
kepemimpinan. Pathos, adalah pemimpin yang memiliki kemampuan empati, emosi,
dan hati. Logos, adalah pemimpin yang memiliki kemampuan yang memberi
kesadaran rasio serta cekatan dan efektif menciptakan perubahan akan
kehidupan masyarakat yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar