Rabu, 22 Oktober 2014

Pemimpin Baru dan Harapan Perubahan

Pemimpin Baru dan Harapan Perubahan

Thomas Koten  ;  Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Bangsa Indonesia kini memiliki Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden baru. Seluruh rakyat layak menyampaikan selamat atas pelantikannya sebagai Presiden ketujuh RI pada 20 Oktober ini. Tentu saja, di balik ungkapan selamat itu, diiringi pula berbagai harapan yang disematkan di pundaknya.

Harapan klise tetapi fundamental adalah segera terciptanya perubahan dalam tata kehidupan masyarakat  ke taraf hidup yang lebih baik. Mengapa perubahan? Itu karena keinginan setiap orang ketika hendak memilih pemimpin baru adalah terjadinya perubahan yang dapat membawa perbaikan nasibnya. Selain itu, apabila seorang dicatat dalam buku sejarah bangsanya sebagai pemimpin yang berhasil dan dihormati di negaranya, bahkan dunia, ditakar dari kesanggupannya dalam membawa perubahan yang signifikan bagi perbaikan nasib bangsanya.

Pemimpin yang dicatat berhasil memberikan pembaruan adalah Franclin Delano Rosevelt di Amerika Serikat, Nasser di Mesir, Attaturk di Turki, Gandhi di India, Gorbachev di Uni Soviet, dan Soekarno di Indonesia. Soeharto juga dapat dideretkan di sini. Namun, di akhir masa jabatannya, ia mendapat catatan yang kurang bagus sebagai pemimpin rezim yang korup dan otoriter.

Indonesia hingga kini masih mendambakan lahirnya pemimpin perubahan itu yang sanggup membawa bangsa ini menuju kemajuan yang signifikan. Rakyat kecil keluar dari balutan kemiskinan, penganggur diberikan lapangan kerja, korupsi benar-benar diberantas, moral bangsa yang bobrok dicerahkan, dan kekerdilan bangsa ini dibuat terhormat supaya disegani bangsa-bangsa lain di dunia.

Mengapa pemimpin perubahan? Perubahan dan kemajuan seharusnya bukan hanya didengungkan para pemimpin. Sepanjang banyak rakyat miskin dan penganggur masih bergumul dengan kemiskinannya, korupsi merajalela, moral bangsa bobrok, Indonesia sejatinya belum mengalami perubahan yang diharapkan.

Oleh karena itu, adanya pemimpin perubahan benar-benar diharapkan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi memimpin. Ia tidak sekadar baik, berbudi, jujur, berintegritas, bermoral, tegas, berwibawa, berkarakter, tetapi juga harus benar-benar meningkatkan ekonomi rakyat miskin, menciptakan lapangan kerja, memberantas korupsi, mencerahkan moral bangsa, dan membawa bangsa ini disegani bangsa lain di dunia.

Dilihat dari sejarahnya, republik ini telah melahirkan sejumlah pemimpin yang memiliki keunggulan khusus. Soekarno dikagumi karena jasanya sebagai sang proklamator. Soekarno membawa bangsa ini keluar dari belenggu penjajahan dan mengantarnya menuju pintu gerbang kemerdekaan.

Soeharto terkenal dengan bapak pembangunan yang membawa perbaikan pada kehidupan ekonomi rakyat. Habibie dikagumi karena kepiawaiannya di bidang teknologi. Gus Dur dengan pluralisme dan egalitarianismenya, sedangkan Megawati sebagai ratu demokrasi karena mengakhiri masa jabatan tanpa pertumpahan darah.

Yudhoyono gencar memberantas korupsi, meski belum memuaskan. Namun, perilaku korup para elite pada masa pemerintahan mereka tetap merajalela sehingga citra Indonesia adalah negeri terkorup di dunia.

Diperlukan Keberanian

Saat ini, untuk perubahan itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat dan berani. Pemimpin yang terus bermimpi mengubah negeri, tetapi berani membayar harga tinggi atas risiko-risiko setiap keputusannya. Untuk kasus korupsi, misalnya saja, pemimpin tidak cukup dengan memperkuat lembaga penegak hukum, seperti KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, ataupun Satgas Pemberantasan Korupsi. Sebaliknya, pemimpin itu haruslah kokoh melaksanakan yang dikatakan Ferdinand I (1503-1564), yaitu fiat justitia pereat mundus atau hendaklah hukum ditegakkan, meskipun langit runtuh  dan dunia harus binasa.

Untuk menyejahterakan rakyat miskin dan mengatasi pengangguran, pemimpin perlu menaikkan pajak pendapatan orang-orang kaya, sambil mengontrol ketat pembayaran pajak. Bukan dengan kebijakan belas kasih yang terus merendahkan martabat mereka, seperti memberi bantuan langsung tunai (BLT) di balik kebijakan menaikkan harga BBM.

Untuk perubahan, Jokowi sebagai pemimpin baru harus menunjukkan keberanian itu. Jokowi harus berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya, seperti Evo Morales di Bolivia, Ahmadinejad di Iran, dan Hugo Chavez di Venezuela. Jokowi akan diuji oleh waktu, apakah dia memiliki keberanian dan kesanggupan untuk hal itu.

Kita memang tidak bisa menuntut lahirnya pemimpin besar paripurna dalam diri Jokowi. Namun, setidaknya Jokowi dapat tampil sebagai pemimpin bangsa, seperti yang didambakan masyarakat polis Yunani kuno, yaitu pemimpin yang memiliki ethos, pathos, dan logos. Ethos, adalah pemimpin yang memiliki kekuatan, keyakinan, dan keberanian dengan kompetensi dan karakter kepemimpinan. Pathos, adalah pemimpin yang memiliki kemampuan empati, emosi, dan hati. Logos, adalah pemimpin yang memiliki kemampuan yang memberi kesadaran rasio serta cekatan dan efektif menciptakan perubahan akan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar