Rabu, 22 Oktober 2014

Kabinet Jokowi, Berkaca pada Kennedy

Kabinet Jokowi, Berkaca pada Kennedy

Airlangga Pribadi Kusman ;  Sarjana Ilmu Politik Unair
dan Master Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Kandidat PhD dari Asia Research Center Murdoch University, Australia
DETIKNEWS, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Dalam sebuah kesempatan dalam forum pengajian di Masjid Al-Munawwarah, Ciganjur, Jakarta Selatan, negarawan dan ulama besar kita mendiang presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan tausiyah di hadapan para santrinya. Beliau mengulas prinsip dasar dalam fiqh siyasah (fikih bernegara) yang digariskan oleh kalangan ulama.

Bunyinya “tasharuf al-imam alaa al-raiyyah manutun bi al-maslahah”. Artinya, kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka (KH Abdurrahman Wahid, Misteri Kata-Kata, 2010). Gus Dur menguraikan, seorang pemimpin yang ingin merealisasi prinsip itu dalam perannya harus bersiap hidup dalam keadaan yang membahayakan (vivere pericoloso), baik bagi dirinya sebagai pemimpin maupun rakyat yang dipimpinnya.

Tausiyah politik tersebut sepertinya tepat untuk membaca apa yang akan dihadapi presiden terpilih Ir Joko Widodo saat menentukan kabinet maupun menyiapkan diri untuk memerintah Indonesia selama lima tahun ke depan. Secara umum, pemerintahan Jokowi ke depan dihadapkan pada dua tantangan berat.

Pertama, setelah bertahun-tahun dilanda apatisme politik tak berkesudahan terkait kepemimpinan yang lamban, kemunculan Jokowi menimbulkan harapan perubahan yang meluap di antara khalayak pendukungnya. Antusiasme yang meluap-luap ini merupakan modal sosial yang kuat, tapi juga dapat dibaca sebagai sebuah peringatan. Apabila ekspektasi rakyat tidak tertunaikan, rakyat Indonesia akan masuk jurang kekecewaan politik.

Kedua, kemenangan politik, meskipun didukung antusiasme kekuatan populer publik, memunculkan polarisasi politik yang cukup kuat disertai konfigurasi kekuatan politik yang timpang di parlemen, di mana kekuatan oposisi (Koalisi Merah Putih) dalam konstelasi politik terakhir memiliki kursi yang lebih besar daripada koalisi politik penguasa (Koalisi Indonesia Hebat).

Dalam menjawab tantangan di atas, Presiden Jokowi harus meletakkan keseimbangan politik. Keseimbangan politik yang seharusnya dibangun oleh Jokowi ini diawali dengan, pertama, pembentukan kabinet melalui keseimbangan profesionalisme jabatan dengan kemampuan membangun akomodasi politik yang elegan. Terkait dengan prinsip keseimbangan, ada baiknya kita membaca karya Robert Dalek (2003), John F. Kennedy: Unfinished Life.

Pada awal Kennedy terpilih menjadi presiden dan menyiapkan kabinetnya, yang pertama kali ia ucapkan: “Kita akan menyisir seluruh universitas dan profesor, aktivis civil rights, pemimpin serikat buruh, aktor-aktor bisnis, asosiasi profesional, para politikus di mana pun untuk menemukan orang-orang yang paling cemerlang duduk di pemerintahan saya.”

Dari pencarian bakat orang-orang terbaik yang dilakukan Kennedy, salah satu yang menarik adalah tampilnya Robert McNamara. Dia pengusaha muda, Presiden Direktur Ford Motor Company sekaligus loyalis Partai Republik. McNamara memimpin Departemen Pertahanan. Pilihan ini menarik mengingat Kennedy hanya menang tipis atas rivalnya Richard Nixon dari Partai Republik dalam pemilihan presiden 1960.

Ada kebutuhan untuk mengakomodasi kekuatan oposisi dalam kabinet. Meski demikian, ketika akomodasi politik itu dilakukan, jangan sampai kompromi politik mengorbankan kepentingan lebih besar untuk membangun pemerintahan yang prestisius dan solid.

Kisah Kennedy hendaknya menjadi pelajaran bagi Jokowi ketika menyusun kabinet. Akomodasi politik tidak harus bertentangan dengan kepentingan membangun kabinet profesional. Negosiasi politik yang dibangun ketika muncul kebutuhan untuk merangkul kekuatan oposisi hendaknya ditujukan bukan sekadar bagi-bagi jabatan, lebih dari itu adalah melampaui pembelahan politik dan tetap konsisten untuk membangun kabinet profesional.

Realisme Politik

Tantangan selanjutnya yang dihadapi Jokowi adalah membangun keseimbangan antara idealisme visi dan realisme langkah untuk mencapainya. Idealisme pemerintahan Jokowi telah ditambatkan pada program Nawa Cita. Untuk menjalankannya, kabinet Jokowi bukan hanya harus diisi oleh orang-orang dengan reputasi terbaik di bidangnya, tapi Jokowi dan kabinetnya juga harus mampu mengelola ekspektasi warga yang sudah telanjur mengalami histeria optimisme yang meluap-luap.

Kegagalan yang kerap kali dialami presiden yang memiliki dukungan populer yang kuat adalah ia kerap kali mengobarkan harapan publik tentang perubahan politik yang lebih baik tapi lupa mengingatkan bahwa perubahan tak tercipta dalam waktu semalam. Pesan politik yang harus segera disampaikan Jokowi kepada publik setelah dilantik adalah pentingnya solidaritas/gotong-royong dan kesabaran. Namun, ketika pengorbanan diserukan kepada rakyat, tentunya disertai solidaritas bahwa bukan hanya rakyat miskin, tapi juga elite politik dan orang-orang kaya yang juga menjalankan laku pengorbanan tadi.

Sebagai contoh pada saat unifikasi Jerman berlangsung, untuk menyesuaikan kehidupan sosial-ekonomi antara Jerman Barat dan Jerman Timur, bukan hanya tukang sapu dan pegawai rendahan yang harus berkorban. Tapi gaji presiden, kabinet, beserta seluruh elite politik juga harus rela dipotong atas nama tujuan politik yang lebih besar.

Demikian pula ketika Jokowi mau tidak mau harus mengambil langkah nonpopulis, seperti alokasi anggaran terkait subsidi BBM untuk program ekonomi kerakyatan. Jangan hanya rakyat kelas bawah yang harus berkorban, tapi upayakan elite dan orang-orang yang lebih berpunya terlebih dulu berkorban demi pemenuhan kehendak hidup bersama. Sebuah jalan menuju kemajuan tidak akan pernah dilewati dengan jalan yang mulus. Semua membutuhkan pengorbanan dan kesabaran untuk mencapainya. Jalan yang membutuhkan solidaritas hidup bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar