Kabinet
Jokowi, Berkaca pada Kennedy
Airlangga Pribadi Kusman ; Sarjana Ilmu Politik Unair
dan Master Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Kandidat PhD dari Asia Research Center Murdoch University,
Australia
|
DETIKNEWS,
20 Oktober 2014
Dalam sebuah kesempatan dalam forum pengajian di Masjid Al-Munawwarah,
Ciganjur, Jakarta Selatan, negarawan dan ulama besar kita mendiang presiden
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan tausiyah di hadapan para santrinya.
Beliau mengulas prinsip dasar dalam fiqh siyasah (fikih bernegara) yang
digariskan oleh kalangan ulama.
Bunyinya “tasharuf al-imam alaa al-raiyyah manutun bi al-maslahah”.
Artinya, kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus terkait
langsung dengan kesejahteraan mereka (KH Abdurrahman Wahid, Misteri
Kata-Kata, 2010). Gus Dur menguraikan, seorang pemimpin yang ingin
merealisasi prinsip itu dalam perannya harus bersiap hidup dalam keadaan yang
membahayakan (vivere pericoloso),
baik bagi dirinya sebagai pemimpin maupun rakyat yang dipimpinnya.
Tausiyah politik tersebut sepertinya tepat untuk membaca apa yang akan
dihadapi presiden terpilih Ir Joko Widodo saat menentukan kabinet maupun
menyiapkan diri untuk memerintah Indonesia selama lima tahun ke depan. Secara
umum, pemerintahan Jokowi ke depan dihadapkan pada dua tantangan berat.
Pertama, setelah bertahun-tahun dilanda apatisme politik tak
berkesudahan terkait kepemimpinan yang lamban, kemunculan Jokowi menimbulkan
harapan perubahan yang meluap di antara khalayak pendukungnya. Antusiasme
yang meluap-luap ini merupakan modal sosial yang kuat, tapi juga dapat dibaca
sebagai sebuah peringatan. Apabila ekspektasi rakyat tidak tertunaikan,
rakyat Indonesia akan masuk jurang kekecewaan politik.
Kedua, kemenangan politik, meskipun didukung antusiasme kekuatan
populer publik, memunculkan polarisasi politik yang cukup kuat disertai
konfigurasi kekuatan politik yang timpang di parlemen, di mana kekuatan
oposisi (Koalisi Merah Putih) dalam konstelasi politik terakhir memiliki kursi
yang lebih besar daripada koalisi politik penguasa (Koalisi Indonesia Hebat).
Dalam menjawab tantangan di atas, Presiden Jokowi harus meletakkan
keseimbangan politik. Keseimbangan politik yang seharusnya dibangun oleh
Jokowi ini diawali dengan, pertama, pembentukan kabinet melalui keseimbangan
profesionalisme jabatan dengan kemampuan membangun akomodasi politik yang
elegan. Terkait dengan prinsip keseimbangan, ada baiknya kita membaca karya
Robert Dalek (2003), John F. Kennedy: Unfinished Life.
Pada awal Kennedy terpilih menjadi presiden dan menyiapkan kabinetnya,
yang pertama kali ia ucapkan: “Kita
akan menyisir seluruh universitas dan profesor, aktivis civil rights,
pemimpin serikat buruh, aktor-aktor bisnis, asosiasi profesional, para
politikus di mana pun untuk menemukan orang-orang yang paling cemerlang duduk
di pemerintahan saya.”
Dari pencarian bakat orang-orang terbaik yang dilakukan Kennedy, salah
satu yang menarik adalah tampilnya Robert McNamara. Dia pengusaha muda,
Presiden Direktur Ford Motor Company sekaligus loyalis Partai Republik.
McNamara memimpin Departemen Pertahanan. Pilihan ini menarik mengingat
Kennedy hanya menang tipis atas rivalnya Richard Nixon dari Partai Republik
dalam pemilihan presiden 1960.
Ada kebutuhan untuk mengakomodasi kekuatan oposisi dalam kabinet. Meski
demikian, ketika akomodasi politik itu dilakukan, jangan sampai kompromi
politik mengorbankan kepentingan lebih besar untuk membangun pemerintahan
yang prestisius dan solid.
Kisah Kennedy hendaknya menjadi pelajaran bagi Jokowi ketika menyusun
kabinet. Akomodasi politik tidak harus bertentangan dengan kepentingan
membangun kabinet profesional. Negosiasi politik yang dibangun ketika muncul
kebutuhan untuk merangkul kekuatan oposisi hendaknya ditujukan bukan sekadar
bagi-bagi jabatan, lebih dari itu adalah melampaui pembelahan politik dan
tetap konsisten untuk membangun kabinet profesional.
Realisme
Politik
Tantangan selanjutnya yang dihadapi Jokowi adalah membangun
keseimbangan antara idealisme visi dan realisme langkah untuk mencapainya.
Idealisme pemerintahan Jokowi telah ditambatkan pada program Nawa Cita. Untuk
menjalankannya, kabinet Jokowi bukan hanya harus diisi oleh orang-orang
dengan reputasi terbaik di bidangnya, tapi Jokowi dan kabinetnya juga harus
mampu mengelola ekspektasi warga yang sudah telanjur mengalami histeria
optimisme yang meluap-luap.
Kegagalan yang kerap kali dialami presiden yang memiliki dukungan
populer yang kuat adalah ia kerap kali mengobarkan harapan publik tentang
perubahan politik yang lebih baik tapi lupa mengingatkan bahwa perubahan tak
tercipta dalam waktu semalam. Pesan politik yang harus segera disampaikan
Jokowi kepada publik setelah dilantik adalah pentingnya
solidaritas/gotong-royong dan kesabaran. Namun, ketika pengorbanan diserukan
kepada rakyat, tentunya disertai solidaritas bahwa bukan hanya rakyat miskin,
tapi juga elite politik dan orang-orang kaya yang juga menjalankan laku
pengorbanan tadi.
Sebagai contoh pada saat unifikasi Jerman berlangsung, untuk menyesuaikan
kehidupan sosial-ekonomi antara Jerman Barat dan Jerman Timur, bukan hanya
tukang sapu dan pegawai rendahan yang harus berkorban. Tapi gaji presiden,
kabinet, beserta seluruh elite politik juga harus rela dipotong atas nama
tujuan politik yang lebih besar.
Demikian pula ketika Jokowi mau tidak mau harus mengambil langkah
nonpopulis, seperti alokasi anggaran terkait subsidi BBM untuk program
ekonomi kerakyatan. Jangan hanya rakyat kelas bawah yang harus berkorban,
tapi upayakan elite dan orang-orang yang lebih berpunya terlebih dulu
berkorban demi pemenuhan kehendak hidup bersama. Sebuah jalan menuju kemajuan
tidak akan pernah dilewati dengan jalan yang mulus. Semua membutuhkan
pengorbanan dan kesabaran untuk mencapainya. Jalan yang membutuhkan solidaritas
hidup bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar