Kemarahan
Politik dan Perampasan Hak Rakyat
Laode Ida ; Sosiolog; Wakil Ketua DPD Periode 2004-2009;
2009-2014
|
KOMPAS,
03 Oktober 2014
JUMAT
(26/9) dini hari boleh dikatakan sebagai ”momentum pembunuhan demokrasi” yang
dilakukan oleh segelintir warga bangsa di DPR. Karena saat itulah, setelah
melalui proses panjang pembahasan RUU Pilkada di parlemen (DPR, DPD, dan
pemerintah), ternyata berujung pada putusan yang merampas hak politik rakyat.
Kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) yang sejak Juni 2005 dipilih
secara langsung oleh rakyat segera akan berubah dipilih oleh para anggota
DPRD sesuai tingkatan masing-masing.
Dengan
demikian, hak politik rakyat untuk memilih pemimpin dan atau dipilih untuk
jadi pemimpin daerah, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, akan hilang.
Segelintir elite politiklah yang berjasa besar atas lahirnya putusan itu.
Mereka seolah-olah tak peduli dengan aspirasi dari berbagai elemen masyarakat
yang tidak setuju dengan penghilangan hak rakyat.
Inilah
ironisnya. Padahal, para wakil rakyat itu juga hadir sebagai produk dari
pemilihan langsung oleh rakyat, di mana sama sekali tak ada mandat untuk
mencabut hak politik para tuan dan puan pemilih mereka. Berbagai survei pun
menunjukkan 80 persen rakyat bangsa ini menghendaki agar kepala daerah tetap
dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui DPRD. Bahkan, pihak KPK telah
memberikan penjelasan sekaligus indikasi bahwa tak ada kaitannya antara
perilaku korup kepala daerah dan pilkada langsung.
Menghimpun kekuatan
Lalu
mengapa putusan itu begitu berani diambil? Jika jujur diakui, di mana publik
pun sangat paham, alasan utama di balik putusan sangat kontroversial itu
terkait proses-proses politik pilpres dan hasilnya, termasuk faktor
psiko-politik antarelite parpol yang eksis di parlemen. Sangat jelas kelompok
yang menghendaki dikembalikannya pilkada ke DPRD adalah parpol-parpol yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP): Gerindra, Golkar, PAN, PPP, PKS, PD,
dan PBB. Gerbong besar di parlemen ini kalah dalam pertarungan pada Pilpres
2014, 9 Juli lalu.
Sebelumnya
gerbong KMP ini berhasil mengubah UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang
mengarah pada penguasaan di parlemen. Parpol yang jadi pemenang dalam pemilu
legislatif, yakni PDI-P, dengan sendirinya tidak otomatis bisa memimpin
DPR. Tepatnya, gerbong KMP sangat
percaya diri untuk menjadi ”kekuatan perlawanan yang efektif” terhadap
pemerintahan baru nanti, sekaligus bisa menguasai seluruh pimpinan alat kelengkapan
di DPR.
Jika
skenario ini berjalan baik, dengan catatan ”tetap solid”, kemudian pilkada
dilakukan melalui DPRD, bisa dipastikan kepemimpinan di umumnya daerah di
Indonesia pun akan berada di tangan gerbong KMP. Soalnya persentase kursi
koalisi itu di DPRD juga rata-rata cukup besar sehingga tinggal
mengompromikan pembagian kekuasaan melalui koordinasi dengan pimpinan parpol
koalisi di Jakarta.
Ini
artinya, pertama, sebenarnya yang akan menentukan kepala daerah adalah
segelintir politisi di barisan pimpinan parpol di tingkat nasional. Sesuatu
yang sungguh jauh dari substansi demokrasi. Kedua, ketika basis politik di
daerah (melalui kepala daerah) dikuasai gerbong KMP, maka akan sangat mudah
melakukan ”perlawanan politik dari daerah”, sekaligus memberikan ruang besar
pertarungan politik pada pemilu legislatif dan presiden-wapres yang akan
dilangsungkan secara bersamaan pada 2019.
Kekecewaan elite politik
Penjelasan
fenomena seperti ini menunjukkan penggusuran hak pilih rakyat untuk pimpinan
di daerah sebenarnya merupakan efek langsung dari kekecewaan politisi yang
kalah bertarung dalam Pilpres 2014. Marah kepada rakyat? Mungkin saja benar
kendati tak ada satu pun yang akan mengakui. Ini juga bisa dianggap sebagai
ketaklegawaan menerima kekalahan.
Dan,
jika logika psiko-politik ini terus berkembang bebas nan liar, bukan mustahil
basis kekuatan di parlemen akan dijadikan alat untuk mengarahkan perubahan
cara pemilihan presiden dari secara langsung oleh rakyat menjadi dipilih
melalui MPR (seperti dalam UUD 1945 sebelum diamandemen).
Sebenarnya
politisi yang tergabung dalam KMP bukan tak paham istilah demokrasi, bukan
tak sadar pula bahwa pilkada melalui DPRD merupakan pembunuhan hak politik
rakyat. Namun, lebih karena faktor kondisi politik di mana kepentingan
elitenya terganggu. Komunikasi politik elite antara pihak PDI-P dan
koalisinya dengan pihak KMP tampaknya juga belum terbangun secara baik,
termasuk secara khusus dengan pihak Presiden SBY. Karena itu, sinyal dari SBY
yang beberapa hari sebelumnya menyatakan mendukung pilkada langsung oleh
rakyat tampaknya juga menjadi semacam sandiwara saja.
Kini rakyat hanya berharap pada MK untuk mengembalikan hak politik
konstitusional setiap individu itu. Kita tunggu saja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar