Sabtu, 04 Oktober 2014

Kemarahan Politik dan Perampasan Hak Rakyat

Kemarahan Politik dan Perampasan Hak Rakyat

Laode Ida  ;   Sosiolog; Wakil Ketua DPD Periode 2004-2009; 2009-2014
KOMPAS,  03 Oktober 2014




JUMAT (26/9) dini hari boleh dikatakan sebagai ”momentum pembunuhan demokrasi” yang dilakukan oleh segelintir warga bangsa di DPR. Karena saat itulah, setelah melalui proses panjang pembahasan RUU Pilkada di parlemen (DPR, DPD, dan pemerintah), ternyata berujung pada putusan yang merampas hak politik rakyat. Kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) yang sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat segera akan berubah dipilih oleh para anggota DPRD sesuai tingkatan masing-masing.

Dengan demikian, hak politik rakyat untuk memilih pemimpin dan atau dipilih untuk jadi pemimpin daerah, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, akan hilang. Segelintir elite politiklah yang berjasa besar atas lahirnya putusan itu. Mereka seolah-olah tak peduli dengan aspirasi dari berbagai elemen masyarakat yang tidak setuju dengan penghilangan hak rakyat.

Inilah ironisnya. Padahal, para wakil rakyat itu juga hadir sebagai produk dari pemilihan langsung oleh rakyat, di mana sama sekali tak ada mandat untuk mencabut hak politik para tuan dan puan pemilih mereka. Berbagai survei pun menunjukkan 80 persen rakyat bangsa ini menghendaki agar kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui DPRD. Bahkan, pihak KPK telah memberikan penjelasan sekaligus indikasi bahwa tak ada kaitannya antara perilaku korup kepala daerah dan pilkada langsung.

Menghimpun kekuatan

Lalu mengapa putusan itu begitu berani diambil? Jika jujur diakui, di mana publik pun sangat paham, alasan utama di balik putusan sangat kontroversial itu terkait proses-proses politik pilpres dan hasilnya, termasuk faktor psiko-politik antarelite parpol yang eksis di parlemen. Sangat jelas kelompok yang menghendaki dikembalikannya pilkada ke DPRD adalah parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP): Gerindra, Golkar, PAN, PPP, PKS, PD, dan PBB. Gerbong besar di parlemen ini kalah dalam pertarungan pada Pilpres 2014, 9 Juli lalu.

Sebelumnya gerbong KMP ini berhasil mengubah UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengarah pada penguasaan di parlemen. Parpol yang jadi pemenang dalam pemilu legislatif, yakni PDI-P, dengan sendirinya tidak otomatis bisa memimpin DPR.  Tepatnya, gerbong KMP sangat percaya diri untuk menjadi ”kekuatan perlawanan yang efektif” terhadap pemerintahan baru nanti, sekaligus bisa menguasai seluruh pimpinan alat kelengkapan di DPR.

Jika skenario ini berjalan baik, dengan catatan ”tetap solid”, kemudian pilkada dilakukan melalui DPRD, bisa dipastikan kepemimpinan di umumnya daerah di Indonesia pun akan berada di tangan gerbong KMP. Soalnya persentase kursi koalisi itu di DPRD juga rata-rata cukup besar sehingga tinggal mengompromikan pembagian kekuasaan melalui koordinasi dengan pimpinan parpol koalisi di Jakarta.

Ini artinya, pertama, sebenarnya yang akan menentukan kepala daerah adalah segelintir politisi di barisan pimpinan parpol di tingkat nasional. Sesuatu yang sungguh jauh dari substansi demokrasi. Kedua, ketika basis politik di daerah (melalui kepala daerah) dikuasai gerbong KMP, maka akan sangat mudah melakukan ”perlawanan politik dari daerah”, sekaligus memberikan ruang besar pertarungan politik pada pemilu legislatif dan presiden-wapres yang akan dilangsungkan secara bersamaan pada 2019.

Kekecewaan elite politik

Penjelasan fenomena seperti ini menunjukkan penggusuran hak pilih rakyat untuk pimpinan di daerah sebenarnya merupakan efek langsung dari kekecewaan politisi yang kalah bertarung dalam Pilpres 2014. Marah kepada rakyat? Mungkin saja benar kendati tak ada satu pun yang akan mengakui. Ini juga bisa dianggap sebagai ketaklegawaan menerima kekalahan.

Dan, jika logika psiko-politik ini terus berkembang bebas nan liar, bukan mustahil basis kekuatan di parlemen akan dijadikan alat untuk mengarahkan perubahan cara pemilihan presiden dari secara langsung oleh rakyat menjadi dipilih melalui MPR (seperti dalam UUD 1945 sebelum diamandemen).

Sebenarnya politisi yang tergabung dalam KMP bukan tak paham istilah demokrasi, bukan tak sadar pula bahwa pilkada melalui DPRD merupakan pembunuhan hak politik rakyat. Namun, lebih karena faktor kondisi politik di mana kepentingan elitenya terganggu. Komunikasi politik elite antara pihak PDI-P dan koalisinya dengan pihak KMP tampaknya juga belum terbangun secara baik, termasuk secara khusus dengan pihak Presiden SBY. Karena itu, sinyal dari SBY yang beberapa hari sebelumnya menyatakan mendukung pilkada langsung oleh rakyat tampaknya juga menjadi semacam sandiwara saja.

Kini rakyat hanya berharap pada MK untuk mengembalikan hak politik konstitusional setiap individu itu. Kita tunggu saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar