Harapan
Itu Bernama Jokowi
Refly Harun ; Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
20 Oktober 2014
Hari yang dinantikan itu pun tiba. Hari ini Joko Widodo (Jokowi)
dilantik sebagai Presiden RI ke-7. Pelantikan ini terasa sangat luar biasa
justru karena yang dilantik adalah orang biasa. Jokowi adalah kita. Tagline
ini tidaklah salah. Ya, Jokowi adalah kebanyakan dari kita: orang biasa yang
bukan berasal dari darah biru.
Jokowi melesat sebagai pemimpin dari lokus yang kita tidak kenal
sebelumnya. Pengalaman politiklnya ‘hanya’ menjadi walikota Solo satu periode
lebih sedikit, dan menjabar Gubernur DKI selama dua tahun. Selebihnya tidak
ada catatan darah biru Jokowi, baik dari sisi keturunan maupun ‘keningratan’
politik semacam ketua umum atau ketua dewan pembina partai.
Bandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya. Soekarno, presiden
pertama, adalah pejuang kemerdekaan yang juga proklamator. Soeharto seorang
jenderal angkatan darat, sama seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Habibie
adalah orang yang sudah sangat lama berada di lingkaran kekuasaan Soeharto,
pernah menjadi menteri dalam jangka waktu yang lama, sebelum akhirnya
ditunjuk mendampingi Soeharto sebagai wakil presiden.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden terpilih pertama di era
Reformasi, adalah darah biru Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di
Tanah Air. Gus Dur adalah cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, dan putra
mantan Menteri Agama Wahid Hasyim. Terakhir, Megawati adalah putri Bung Karno
yang juga Ketua Umum PDIP, partai yang menang di Pemilu 1999 dan 2014. Baru
Jokowi orang biasa yang jadi Presiden. ‘Orang biasa’ tersebut hari ini
dilantik dan menandai sejarah baru bagi negeri ini.
Kendati ‘orang biasa’, harapan terhadap Jokowi ternyata sangat luar
biasa, bahkan lebih luar biasa dibandingkan dengan presiden-presiden
terdahulu. Paling tidak, ini terlihat dari antusiasme publik menyambut
pelantikan Jokowi sebagai Presiden ke-7. Bandingkan dengan pelantikan SBY
untuk periode kedua (2009), yang terasa biasa-biasa saja, tanpa antusiasme
yang luar bisa. Majalah Time edisi terbaru memajang wajah Jokowi sebagai
sampul dengan judul “A new hope”
(sebuah harapan baru).
Menjaga
Harapan
Persoalannya, sejauh mana Jokowi mampu menjaga harapan publik yang
membuncah, dan yang lebih penting lagi mewujudkan harapan tersebut dalam
karya nyata? Ekspektasi terhadap pemimpin yang dipilih rakyat selalu lebih
besar dari kemampuan sang pemimpin tersebut mewujudkannya. Hal ini terjadi di
mana pun di dunia. Bila tidak pandai-pandai mengkanalisasi ekspektasi
tersebut dengan komunikasi dan kerja yang maksimal, bukan tidak mungkin
kepercayaan akan surut, bukan tidak mungkin pula akan hilang. Sang pemimpin
akan ditinggalkan rakyat yang kecewa. Inilah tantangan terbesar Jokowi.
Yang harus dipahami, Jokowi tidak bekerja sendiri, juga tidak bekerja
di ruang hampa. Pemimpin di mana pun tidak hanya dikelilingi orang tulus,
tapi juga berakal bulus. Tidak hanya didekati orang yang ikhlas, tapi juga
yang culas.
Ada yang membantu Jokowi dengan kualitas hati malaikat, tetapi ada juga
berkualitas khianat. Di sinilah kepiawaian Jokowi diperlukan. Ia harus mampu
mengubah yang culas menjadi ikhlas, yang akal bulus menjadi tulus, yang
laknat jadi malaikat. Tidak mudah memang, tetapi pemimpin di mana pun
menghadapi tantangan tersebut.
Jokowi tidak boleh mentolerir para pemburu rente di sekitar madu
kekuasaannya. Haram hukumnya membiarkan munculnya lingkaran korupsi baru di
sekitar istana. SBY dan Partai Demokrat pernah gagal menghadapi ujian ini
ketika para bintang iklan “katakan tidak pada korupsi” justru satu demi satu
menginap di hotel prodeo karena ditebas pedang KPK.
Gus Dur dan Mega juga setengah gagal ketika isu-isu korupsi justru
mendera hari-hari kekuasaan mereka, mulai dari isu Buloggate, Bruneigate,
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), suap dalam pemilihan Deputi Senior
Gubernur Bank Indonesia, penjualan aset berharga seperti Indosat, dan
sebagainya.
Tentu fenomena-fenomena tersebut bukan mutlak kesalahan sang pemimpin,
tetapi hal tersebut dapat menjadi ukuran berhasil atau tidaknya pemimpin
mengatasi isu yang sudah berkarat di republik ini: korupsi. Apa boleh buat,
dari track record presiden-presiden sebelumnya, jawabannya: belum bisa.
Langkah
Awal: Memilih Pembantu
Kini, Jokowi, yang orang biasa, harus bisa menjawab soal berkarat
tersebut. Jokowi harus mampu menunjukkan bahwa ia penjaga asa yang terus bisa
diharapkan. Ujian pertama Jokowi sudah di depan mata, yaitu bagaimana ia
menunjuk para menteri yang akan menjadi pembantu-pembantunya.
Indonesian
Corruption Watch (ICW) sudah memperingatkan agar hendaknya Jokowi
tidak memilih menteri-menteri yang bermasalah, terutama terkait isu korupsi.
Jabatan-jabatan tertentu di sektor hukum seperti Kapolri, Menteri Hukum dan
HAM, Jaksa Agung, dan Menteri Sekretaris Negara, menurut ICW, harus bersih
dari sosok-sosok yang selama ini tidak pro pada pemberantasan korupsi. Bila
dia pengacara atau bekas pengacara, bukan pengacara yang selalu membela para
koruptor (detik.com, 19/10/2014).
Dalam berbagai kesempatan selama prosesi kampanye Pilpres 2014, Jokowi
selalu mengatakan koalisi yang ia bangun adalah koalisi tanpa syarat. Jokowi
ingin mengatakan bahwa koalisi yang mereka bangun bukan koalisi bagi-bagi
jabatan. Kini Jokowi harus mampu membuktikan itu dengan menunjuk
menteri-menteri yang tidak bermasalah.
Jokowi harus berani menolak atau tidak menunjuk nama-nama yang
disodorkan parpol pendukung bila dalam ruang imajinasi publik merupakan sosok
bermasalah. Jokowi tidak boleh berlindung dalam formalisme hukum “belum ada
putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah” untuk menolak orang-orang
yang dianggap bermasalah dalam ruang imajinasi publik. Sebab, soal ini adalah
soal persepsi, bukan soal salah benar ketukan palu hakim.
Tantangan Jokowi di hari-hari ke depan tidak akan mengecil. Tentu tidak
semua harapan publik itu dapat terpenuhi, tetapi publik harus tetap diyakinkan
Presiden Jokowi sedang dan terus bekerja keras untuk mewujudkan mimpi kita
bersama. Rakyat harus diyakinkan bahwa Presiden Jokowi tidak sedang membangun
lingkaran korupsi baru bagi keluarga, kroni, sahabat atau rekan separtai,
atau bahkan relawan yang telah menyumbang tenaga bagi terpilihnya sosok
sederhana tersebut.
Ketika terpilih sebagai Presdien AS pertama kali pada tahun 2008,
Barrack Obama menyatakan, “The road
ahead will be long. Our climb will be steep. We may not get there in one year
or even one term, but America - I have never been more hopeful than I am
tonight that we will get there. I promise you - we as a people will get
there."
Kalau diterjemahkan kurang lebih, “Jalan
di depan akan panjang. Pendakian kita akan setapak demi setapak. Kita mungkin
tidak mencapai (tujuan) dalam satu tahun atau bahkan dalam satu periode
(kepresidenan saya). Tapi Amerika—saya tidak pernah memiliki lebih banyak
harapan daripada yang saya rasakan malam ini, bahwa kita akan mencapai
(tujuan kita). Saya berjanji kepadamu—kita bersama-sama akan mencapainya.”
Pak Jokowi, jalan kita memang panjang, tantangan akan bertambah besar,
jalan pun pasti mendaki. Asal Bapak lurus dan berani terus meluruskan
orang-orang yang tidak lurus, rakyat bakal berbaris lurus di belakang Bapak.
Selamat bekerja bagi Indonesia yang sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar