Selasa, 21 Oktober 2014

Dicari, Menteri Bebas Korupsi

Dicari, Menteri Bebas Korupsi

Refly Harun  ;   Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara
KOMPAS,  21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


MENTERI adalah pembantu presiden. Siapa pun yang ditunjuk,  hal itu sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden. Konstitusi berujar, ”Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Namun, publik nyatanya selalu ingin tahu dan terlibat dalam penunjukan menteri. Itulah yang setidaknya tampak dari keingintahuan publik terhadap menteri-menteri yang bakal dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Bukan apa-apa, hingga detik-detik terakhir, siapa bakal menteri seperti menjadi gosip politik yang tak kunjung henti. Muncul banyak versi. Sebagian tokoh yang disebut namanya senyum semringah, tetapi akan lekas kecewa apabila dalam realitas tak ada namanya.

Jabatan menteri menjadi sangat penting karena ia akan menjadi ujung tombak Presiden Jokowi dalam mewujudkan visi dan misi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Oleh karena itu, syarat pertama dari para menteri adalah loyalitas mutlak kepada presiden. Dalam kaitan dengan ini akan muncul sebuah paradoks apabila menteri-menteri adalah pejabat teras parpol, apalagi jika menjabat ketua umum.

Pejabat teras parpol, apalagi ketua umum, telah dipercayakan untuk mewujudkan visi dan misi parpol. Salah satunya membesarkan parpol agar mampu atau bertahan menjadi pemenang dalam perhelatan pemilu berikutnya. Selama lima tahun ke depan, para pembesar parpol akan senantiasa sibuk melakukan konsolidasi. Bagaimana mungkin pembesar seperti ini akan all out dalam mewujudkan visi dan misi Jokowi-JK. Yang ada mereka bakal banyak walk out karena sebagian waktunya akan tercurah pada urusan parpol.

Pembesar parpol karena itu harus memilih untuk tetap menerima tawaran menjadi menteri atau tetap di parpol. Tidak boleh merangkap jabatan karena sudah pasti tidak akan terhindar dari korupsi. Setidaknya penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan parpol. Bukan rahasia umum lagi, menteri yang menjabat ketua umum parpol kerap menggunakan fasilitas negara untuk membiayai kegiatan mereka.

Presiden Jokowi juga harus tegas terhadap mereka. Sebagai primus interpares dalam sistem pemerintahan presidensial, Jokowi tidak boleh ragu untuk  menuntut loyalitas mutlak para menteri. Jokowi tidak perlu takut kehilangan dukungan dari parpol pendukung apabila menolak proposal loyalitas mutlak tersebut.

Bebas dari korupsi

Syarat kedua, para menteri Jokowi haruslah orang yang mau bekerja keras, bukan orang yang cuma membayangkan enaknya fasilitas. Bukan pula orang yang ketika ditunjuk menjadi menteri hanya sekadar sibuk dengan kegiatan-kegiatan seremonial, tetapi tak mau berkelahi membenahi persoalan-persoalan yang merupakan hambatan bagi revolusi mental. Katakanlah berkelahi dengan kemapanan birokrasi yang kerap resisten dengan menteri-menteri petarung.

Menteri-menteri yang disukai biasanya hanyalah mereka yang peduli dengan seremoni, lalu menyerahkan tetek bengek persoalan sehari-hari mutlak kepada birokrasi. Padahal, birokrasi itulah yang sering mentalnya harus direvolusi karena terbiasa hidup dalam lingkaran-lingkaran korupsi.

Menteri petarung sangat mungkin diganjal dan dibenci birokrasi, tetapi mereka pasti sangat berguna bagi perwujudan visi dan misi Jokowi. Jadi, Jokowi harus jelas: pilih yang petarung dan pekerja keras, bukan sekadar penikmat fasilitas.

Syarat ketiga, menteri Jokowi harus bersih dari isu korupsi serta penyakit-penyakit hukum dan sosial lainnya. Menteri-menteri Jokowi tak boleh punya beban masa lalu. Kendati hanya persepsi, Jokowi tak perlu berkelit dengan menyatakan ”belum ada putusan yang menyatakan ia bersalah”. Formalisme itu sudah basi dan sudah tidak laku lagi.

Langkah bagus sudah dibuat Jokowi ketika nama-nama calon menteri diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dilihat rekam jejak mereka, Jumat (17/10). Sayangnya, waktu bagi KPK sangat sempit untuk mampu menggali rekam jejak mereka. Apalagi jika mereka bukan pejabat publik, sudah pasti sulit ditelusuri catatan-catatan tentang mereka. Lagi pula KPK tentu hanya akan memberikan masukan dari sisi potensi-potensi terlibat korupsi, bukan potensi-potensi penyakit hukum dan sosial lainnya.

Sayangnya lagi, nama-nama itu tak pernah dilempar ke publik untuk menggali reaksi. Langkah ini bisa dipahami karena Jokowi tentu tak ingin mempermalukan mereka yang dinominasi, terlebih jika mereka tidak jadi dipilih.

Akan tetapi, mereka yang menjadi menteri atau pejabat publik penting lainnya di negeri ini memang harus siap dikuliti dalam rangka mewujudkan prinsip good governance dan clean government. Itulah risiko bagi mereka yang ingin menjadi pejabat publik. Apabila takut dikuliti, lebih baik mundur ketimbang menjadi beban Jokowi.

Syarat keempat, menteri Jokowi harus ahli di bidangnya. Sebelumnya, Jokowi telah membagi menteri menjadi profesional parpol dan profesional murni. Artinya, kendati berasal dari parpol, menteri tersebut haruslah orang yang menguasai urusan-urusan kementerian. Yang juga penting, mereka harus memiliki passion (gairah) terhadap urusan-urusan tersebut. Tanpa passion, seorang menteri hanya akan bekerja seperti robot, tanpa hati, tanpa kreasi. 

Penguasaan terhadap urusan kementerian juga akan menyebabkan seorang menteri menjadi berwibawa dan tidak mudah ”dikibuli” para birokrat yang sudah bercokol lama. Menteri yang tidak paham urusan kementerian yang dipimpinnya biasanya hanya akan menjadi bahan pergunjingan dan tidak memunculkan respek anak buah. Menteri yang berkualitas saja sering tidak mudah menundukkan perilaku birokrasi yang sering resisten terhadap agenda menteri baru, yang tidak lain perwujudan dari visi dan misi presiden terpilih, apalagi menteri yang tak punya kualitas diri.

Jokowi tidak boleh bergeser dari keharusan profesional tersebut, baik dari parpol maupun dari profesional murni. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terlalu banyak mengakomodasi menteri-menteri yang tak terlalu paham urusan kementerian. Mereka baru paham atau mulai paham setelah menjadi menteri. Tidak heran visi dan misi presiden tidak sukses di kementerian tersebut, bahkan ada pula menteri yang akhirnya terjerembap kasus korupsi.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif. Menteri-menteri Jokowi wajib memiliki itu semua. Menteri-menteri yang ditunjuk Jokowi harus paham bahwa menjadi menteri bukanlah sebuah kesenangan yang harus diterima dengan senyum dan sujud syukur, sambil teriak-teriak kegirangan satu keluarga seperti pengumuman menteri pada era Orde Baru. Bukan itu.

Menteri Jokowi harus berucap astagfirullah, innalillahi wa inna ilaihi raji’un, atau ucapan-ucapan sejenis lainnya ketika menerima amanah menjadi menteri.
Menjadi pejabat itu disumpah dan sumpah itu harus dipertanggungjawabkan di akhirat nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar