Buang
Emosi dan Kekerasan
Agoes Ali Masyhuri ; Pengasuh Pesantren Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo, Jatim
|
JAWA
POS, 21 Oktober 2014
SEPANJANG sejarah peradaban manusia, kekerasan tidak pernah
menyelesaikan masalah. Bahkan membuat kondisi semakin tidak menentu dalam
segala sektor kehidupan, baik sosial, politik, maupun ekonomi serta membuka
peluang konflik sosial di tengah-tengah masyarakat. Perlu disadari, bangsa
ini tidak cukup dibangun dengan fanatisme kepada seseorang. Kita tidak boleh
menafikan orang lain dengan segala kekurangannya.
Tampilnya Joko Widodo sebagai presiden ketujuh dan Jusuf Kalla sebagai
wakil presiden harus kita sambut dengan positive thinking guna mewujudkan
Indonesia baru dan harapan baru yang lebih baik. Tidak bisa dimungkiri, dalam
realitas hidup manusia, politik sering menjadi sumber dan komoditas konflik
atas nama agama. Simbol-simbol agama dijadikan alat dan kedok untuk tujuan
politik tertentu tanpa mempertimbangkan etika dan moral yang sebenarnya harus
dikedepankan, walaupun politik itu sendiri sarat kepentingan.
Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah manusia yang penuh dengan
keterbatasan dan kekurangan. Tentunya harus tampil memimpin dengan hati dan
pikiran serta sabar dalam mengelola sebuah negara besar Indonesia yang
berpenduduk 253 juta jiwa lebih dan luas wilayahnya sekitar 5.193.250 km
persegi. Sarana kepemimpinan adalah dada yang lapang, lemah lembut, serta
harus didukung cerdas secara intelektual dan cerdas secara emosional. Sebab,
sikap kasar hanya melahirkan antipati. Sikap emosional hanya mengundang
kebencian. Sebaliknya, sikap kasih sayang mampu membuat lunak hati yang
keras, menarik simpati orang lain, dan membuat nyaman mereka yang berada di
dekat kita.
Joko Widodo dan Jusuf Kalla perlu mengetahui dan menyadari bahwa
kelemahlembutan membawa segudang kebaikan. Artinya, siapa saja yang jauh dari
kelemahlembutan akan dijauhi kebaikan, walaupun presiden dan wakil presiden
yang dipilih langsung oleh rakyat. Sebagaimana pesan suci Alquran dalam surat
Ali Imran ayat 159, ”Maka, disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Ayat itu mengabadikan keberhasilan dakwah Rasulullah dalam membangun
tatanan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, tenteram, aman, demokratis,
dan terbuka. Sebab, Rasulullah menjadikan kelembutan dan kasih sayang sebagai
panglima dalam membangun tatanan masyarakat. Hati mereka yang membatu cepat
luluh, mencair. Orang yang antipati tidak lama menjadi pendukung setia dalam
misi kebajikan. Hal itu telah terbukti dan diabadikan oleh sejarah.
Sebaliknya, mari kita perhatikan para penguasa diktator yang menjadikan
kekerasan dan kecongkakan sebagai panglima. Maka, ujung dari kehidupannya
adalah kehinaan dan kehancuran.
Minimnya tokoh yang patut diteladani, hilangnya rasa malu sebagian
masyarakat, serta terempasnya norma hukum melahirkan anarkisme sosial yang
lebih menyedihkan. Hampir tak ada nilai-nilai penghalang orang-orang
melakukan kekerasan. Semua itu terjadi karena minimnya tokoh panutan sehingga
masyarakat dilanda krisis keteladanan, berkembang menjadi kehilangan berpikir
secara sehat, gampang emosi. Padahal, yang dibutuhkan adalah nurani, bukan
emosi. Iman melemah, moral tak jalan. Kerisauan menghadapi hidup, kerancuan
berpikir, dan hilangnya daya objektivitas dalam memandang suatu masalah harus
diantisipasi melalui pengamalan agama secara berkesinambungan. Agama jangan
sekadar dipahami atau diteorisasikan, melainkan dijadikan pedoman hidup dan
kehidupan.
Jika kelembutan dan kasih sayang kita jadikan panglima dalam mengelola
sebuah negara, apa yang namanya dukungan rakyat akan hadir, keadilan dan
kesejahteraan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Ketika
seorang pemimpin tampil sebagai tokoh panutan, mampu menyelaraskan ucapan dan
tindakan, partisipasi serta dukungan rakyat akan menguat. Secara otomatis,
program-program pemerintah akan berjalan dengan baik di tengah-tengah
masyarakat. Masyarakat akan tenang dan program-program pembangunan akan
berjalan dengan baik. Kedamaian menjadi bingkai hubungan antarinsan. Hidup
benar-benar tertata rapi, tidak ada cekcok maupun pertengkaran.
Jabir ra mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa yang jauh dari sikap lemah lembut, dia jauh dari
kebaikan (HR Muslim).” Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, ”Jika
kelembutan ada dalam sesuatu, niscaya ia akan menjadi penghias. Jika
tercabut, maka akan membuat sesuatu itu tercabik-cabik (HR Muslim).”
Kasih sayang adalah sifat yang indah nan lembut. Ia dapat meluluhkan
kebekuan hati yang sering dirasuki dengki dan kesesatan. Siapa yang memiliki
sifat itu pasti menjadi orang besar. Jiwanya agung, rohnya luhur, dan
perilakunya penuh karisma. Joko Widodo dan Jusuf Kalla serta kita semua mari
berguru kepada sejarah. Bahwa Rasulullah SAW pernah dihadapkan pada siksaan
dan tindakan represif dari kaum musyrikin di awal-awal dakwahnya. Akan
tetapi, kasih sayang beliau mendahului kemarahan beliau terhadap mereka.
Apalagi saat ditawari untuk membalas dendam masa lalu, beliau lebih memilih
menebar kedamaian. Pernah suatu kali Abu Hurairah memohon kepada Rasulullah
untuk mendoakan keburukan kepada kaum musyrikin. Beliau menanggapinya dengan
kata-kata yang begitu menyentuh, ”Aku
tidak diutus menjadi tukang laknat. Aku diutus sebagai penyebar rahmat (HR
Muslim).”
Sungguh suatu sikap yang agung. Bukan hanya itu, saat berada di puncak
kejayaan dan mampu membalas setiap kezaliman yang dideritanya, Rasulullah
malah tidak melakukannya. Itu terjadi setelah penaklukan Makkah. Saat itu
beliau mengampuni semua pihak yang telah menyakiti dan membunuh para
sahabatnya. Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak
ada balas dendam (atas kesalahan) kalian saat ini. Allah mengampuni kalian.
Dan Allah Maha Penyayang dari siapa saja yang memiliki sifat kasih sayang (HR
Baihaqi dan An-Nasa’i).”
Demikianlah, bila kita berusaha mencari cinta dan simpati dari orang
lain, kita harus memahami satu kaidah: Orang yang tidak memiliki sesuatu
tidak akan bisa memberikan sesuatu tersebut. Karena itu, jangan pernah
bermimpi dicintai dan mendapat simpati masyarakat jika pribadi kita masih
kolot, keras, kaku, serta jauh dari lemah lembut dan kasih sayang. Hanya
pemilik kelemahlembutan dan kasih sayanglah yang dapat menjadi panutan,
simpul, tokoh, dan pemimpin di masyarakat. Jangan pernah bermimpi menggunakan
tongkat komando bila kita masih melakukan kekerasan atau aksi-aksi anarkistis
saat berinteraksi dengan masyarakat. Jika hal itu yang terjadi, kita segera
dijauhi dan menjadi bulan-bulanan dari sumpah serapah masyarakat di sekitar
kita.
Selamat bekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar