Selasa, 21 Oktober 2014

Mencegah Matahari Kembar

Mencegah Matahari Kembar

Hamid Awaluddin  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
KOMPAS,  20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


KEDUANYA sesungguhnya tunggal sampai karakter yang berbeda memisahkan mereka di benak khalayak. Muncullah istilah matahari kembar. Itulah yang terjadi pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada pemerintahan 2004-2009. SBY dikenal sebagai ahli strategi dan pemikir di kalangan militer yang lebih acap mengutamakan prinsip coba olah secara komprehensif atas berbagai ihwal yang dihadapinya. Sementara JK seorang saudagar pengandal intuisi gerakan lapangan dengan badan lincah meliuk. SBY-JK ibarat rem dan gas di pucuk pemerintahan. Di mata publik, SBY banyak rapat, JK kegesitan.

Lima tahun kemudian, JK kembali ke Istana mendampingi presiden terpilih Joko Widodo. Ingatan publik kembali ke periode JK mendampingi SBY. Akankan lagi terbit matahari kembar di Indonesia?

Latar sama
                                     
Jokowi dan JK berasal dari latar yang sama: pengusaha. Ciri-ciri umum pengusaha bertindak cepat, logis, praktis, efisien, dan mengutamakan hasil. Keduanya berkarakter utama sama: badan mudah bergerak kian ke mari, kaki lincah melangkah, penuh selidik dan mahir menggeledah hal-hal detail. Jokowi-JK tak terbiasa menikmati pesona keprotokoleran dan hierarki birokrasi. Lebih penting lagi, keduanya tak memiliki keterampilan pesona panggung untuk mengesankan orang lain dan kurang mahir mendandani diri dengan pelbagai aksesori gerak tubuh.

Baik Jokowi maupun JK sangat defisit dalam kemampuan teatrikal podium atau panggung. Namun, mereka sangat surplus dalam gerak di lapangan. Mereka tak bertalenta memilih diksi yang diatur dan ditata sedemikian rupa agar terkesan baik. Jokowi-JK bertalenta dengan diksi umum yang dipakai semua lapisan rakyat. Talenta keduanya berbahasa orisinal. Tiada kedok, tiada saru. Kesamaan ini menempatkan mereka berdua sebagai sebuah sekutu, bukan sekadar pasangan politik. Mereka bersama karena ada kesamaan. Mereka bersama karena memang bisa dipersamakan. Singkatnya, mereka tak beda dalam tampilan dan pendekatan atas misi dan pekerjaan yang diembankan ke pundak mereka. Di sini tak ada cara pandang dan metode bersilangan.

Latar ini membangun fondasi pangkalan tempat memulai secara bersama. Dalam level aplikasi, misalnya, kedua pemimpin ini setuju agar segera membangun infrastruktur besar-besaran: bangun pembangkit listrik, jalan, jembatan, irigasi, dan sebagainya. Mereka dipersamakan dengan visi konkret dan langkah jelas tentang apa yang jadi prioritas primer dan sekunder.

Nihil rivalitas

Faktor berikut yang membuat tak terbitnya matahari kembar kelak adalah kedua saudagar ini bukan pemimpin partai politik yang saat pemilu berkompetisi. Rivalitas di antara mereka nihil. Absennya rivalitas ini meniadakan satu sama lain mengatakan, ”He stole my show.” Tak perlu lagu kenangan masa silam: ”Jangan ada dusta di antara kita”.

Apabila segalanya berjalan mulus ke depan, pada saat JK mengakhiri masa baktinya pada 2019, ia berusia 77. Sebuah usia yang disadari betul, bahkan telah dideklarasikannya, tak mungkin lagi berkeinginan menduduki jabatan publik setelah itu. Posisi ini merupakan polis asuransi bagi Jokowi tak perlu gelisah diikuti bayang-bayang JK kelak, membuat keduanya kelak bergandeng tangan dan bahu-membahu mengendalikan kemudi bangsa.

Pengalaman menjalankan roda pemerintahan dari level daerah yang dimiliki Jokowi digandengkan dengan pengalaman pemerintahan di level pusat yang dipunyai JK adalah sebuah kombinasi saling memerlukan dan bergantung. Bukan pengalaman yang berbeda, lalu bersilangan dan konfrontatif. Dalam sejarahnya, JK adalah tokoh yang memelopori otonomi daerah lewat Tap MPR ketika beliau duduk sebagai anggota MPR Utusan Daerah, sementara Jokowi adalah pelaku pelaksanaan otonomi daerah di Kota Solo. Maka, dalam menjalankan roda pemerintahan pada era otonomi daerah sekarang ini, Jokowi-JK merupakan duet tangguh. Mereka saling butuh, bukan saling tohok.

Faktor lain yang membuat pasangan ini tidak berpotensi melahirkan konflik: keduanya setidaknya hingga saat ini media darling. Status ini membuat tidak ada di antara mereka yang menyimpan rasa sesak napas karena yang satu banyak diberitakan, sementara yang satu lagi sepi dari peliputan. Keduanya obyek kamera, sumber tulisan, dan medan magnet bagi peliputan. Fakta yang bertaburan selama ini, keretakan duet persekutuan banyak dipicu karena keterpihakan media kepada salah satunya.

Sebagai pasangan usungan PDI-P, Jokowi-JK direkatkan sebuah semen yang diambil dari prinsip Bapak Bangsa Bung Karno: ”Sungguh Tuhan hanya memberi hidup satu kepadaku, tidak ada manusia mempunyai hidup dua atau hidup tiga. Tetapi hidup satunya akan kuberikan, insya Allah, seratus persen kepada pembangunan Tanah Air dan bangsa. Dan jikalau aku misalnya diberikan dua hidup oleh Tuhan, dua hidup ini pun akan aku persembahkan kepada Tanah Air dan bangsa.” Selamat berduet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar