Mencegah
Matahari Kembar
Hamid Awaluddin ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
|
KOMPAS,
20 Oktober 2014
KEDUANYA sesungguhnya tunggal sampai karakter yang berbeda memisahkan
mereka di benak khalayak. Muncullah istilah matahari kembar. Itulah yang
terjadi pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
pada pemerintahan 2004-2009. SBY dikenal sebagai ahli strategi dan pemikir di
kalangan militer yang lebih acap mengutamakan prinsip coba olah secara
komprehensif atas berbagai ihwal yang dihadapinya. Sementara JK seorang
saudagar pengandal intuisi gerakan lapangan dengan badan lincah meliuk.
SBY-JK ibarat rem dan gas di pucuk pemerintahan. Di mata publik, SBY banyak
rapat, JK kegesitan.
Lima tahun kemudian, JK kembali ke Istana mendampingi presiden terpilih
Joko Widodo. Ingatan publik kembali ke periode JK mendampingi SBY. Akankan
lagi terbit matahari kembar di Indonesia?
Latar
sama
Jokowi dan JK berasal dari latar yang sama: pengusaha. Ciri-ciri umum
pengusaha bertindak cepat, logis, praktis, efisien, dan mengutamakan hasil.
Keduanya berkarakter utama sama: badan mudah bergerak kian ke mari, kaki
lincah melangkah, penuh selidik dan mahir menggeledah hal-hal detail.
Jokowi-JK tak terbiasa menikmati pesona keprotokoleran dan hierarki
birokrasi. Lebih penting lagi, keduanya tak memiliki keterampilan pesona
panggung untuk mengesankan orang lain dan kurang mahir mendandani diri dengan
pelbagai aksesori gerak tubuh.
Baik Jokowi maupun JK sangat defisit dalam kemampuan teatrikal podium
atau panggung. Namun, mereka sangat surplus dalam gerak di lapangan. Mereka
tak bertalenta memilih diksi yang diatur dan ditata sedemikian rupa agar
terkesan baik. Jokowi-JK bertalenta dengan diksi umum yang dipakai semua
lapisan rakyat. Talenta keduanya berbahasa orisinal. Tiada kedok, tiada saru.
Kesamaan ini menempatkan mereka berdua sebagai sebuah sekutu, bukan sekadar
pasangan politik. Mereka bersama karena ada kesamaan. Mereka bersama karena
memang bisa dipersamakan. Singkatnya, mereka tak beda dalam tampilan dan
pendekatan atas misi dan pekerjaan yang diembankan ke pundak mereka. Di sini
tak ada cara pandang dan metode bersilangan.
Latar ini membangun fondasi pangkalan tempat memulai secara bersama.
Dalam level aplikasi, misalnya, kedua pemimpin ini setuju agar segera
membangun infrastruktur besar-besaran: bangun pembangkit listrik, jalan,
jembatan, irigasi, dan sebagainya. Mereka dipersamakan dengan visi konkret
dan langkah jelas tentang apa yang jadi prioritas primer dan sekunder.
Nihil
rivalitas
Faktor berikut yang membuat tak terbitnya matahari kembar kelak adalah
kedua saudagar ini bukan pemimpin partai politik yang saat pemilu
berkompetisi. Rivalitas di antara mereka nihil. Absennya rivalitas ini
meniadakan satu sama lain mengatakan, ”He
stole my show.” Tak perlu lagu kenangan masa silam: ”Jangan ada dusta di antara kita”.
Apabila segalanya berjalan mulus ke depan, pada saat JK mengakhiri masa
baktinya pada 2019, ia berusia 77. Sebuah usia yang disadari betul, bahkan
telah dideklarasikannya, tak mungkin lagi berkeinginan menduduki jabatan
publik setelah itu. Posisi ini merupakan polis asuransi bagi Jokowi tak perlu
gelisah diikuti bayang-bayang JK kelak, membuat keduanya kelak bergandeng
tangan dan bahu-membahu mengendalikan kemudi bangsa.
Pengalaman menjalankan roda pemerintahan dari level daerah yang
dimiliki Jokowi digandengkan dengan pengalaman pemerintahan di level pusat
yang dipunyai JK adalah sebuah kombinasi saling memerlukan dan bergantung.
Bukan pengalaman yang berbeda, lalu bersilangan dan konfrontatif. Dalam
sejarahnya, JK adalah tokoh yang memelopori otonomi daerah lewat Tap MPR
ketika beliau duduk sebagai anggota MPR Utusan Daerah, sementara Jokowi
adalah pelaku pelaksanaan otonomi daerah di Kota Solo. Maka, dalam
menjalankan roda pemerintahan pada era otonomi daerah sekarang ini, Jokowi-JK
merupakan duet tangguh. Mereka saling butuh, bukan saling tohok.
Faktor lain yang membuat pasangan ini tidak berpotensi melahirkan
konflik: keduanya setidaknya hingga saat ini media darling. Status ini
membuat tidak ada di antara mereka yang menyimpan rasa sesak napas karena
yang satu banyak diberitakan, sementara yang satu lagi sepi dari peliputan.
Keduanya obyek kamera, sumber tulisan, dan medan magnet bagi peliputan. Fakta
yang bertaburan selama ini, keretakan duet persekutuan banyak dipicu karena
keterpihakan media kepada salah satunya.
Sebagai pasangan usungan PDI-P, Jokowi-JK direkatkan sebuah semen yang
diambil dari prinsip Bapak Bangsa Bung Karno: ”Sungguh Tuhan hanya memberi hidup satu kepadaku, tidak ada manusia
mempunyai hidup dua atau hidup tiga. Tetapi hidup satunya akan kuberikan,
insya Allah, seratus persen kepada pembangunan Tanah Air dan bangsa. Dan
jikalau aku misalnya diberikan dua hidup oleh Tuhan, dua hidup ini pun akan
aku persembahkan kepada Tanah Air dan bangsa.” Selamat berduet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar