Mengantisipasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN
Lana Soelistianingsih ; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;
Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen
|
KORAN
TEMPO, 20 Oktober 2014
Per 1 Januari 2015 mendatang, jika tidak ada perubahan, Indonesia
memasuki era perdagangan yang semakin bebas dalam kerangka Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA). Indonesia sudah menandatangani perjanjian bebas dalam ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA) pada 1 Januari 2010. Namun, dalam MEA ini, aliran bebas tidak hanya
untuk perdagangan barang, tapi juga aliran jasa, tenaga kerja, investasi,
modal, dan perbankan. Perbankan secara khusus mulai merasakannya pada 2020.
Layaknya kerja sama regional, MEA bermanfaat bagi konsumen melalui variasi
serta volume barang yang semakin besar dan persaingan harga.
Meski demikian, di sisi produsen, persaingan yang meningkat membuat
margin keuntungan perusahaan turun dan memicu bangkrutnya perusahaan. Peta
Indonesia dalam MEA sangat penting dari sisi luasnya pasar. Dengan jumlah
penduduk 245 juta orang, dengan angka kelas menengah yang terus meningkat,
ditambah penduduk usia produktif yang mencapai 70 persen dari total penduduk,
Indonesia menjadi potensi permintaan yang besar. Tapi, jika dilihat dari sisi
produksi, produsen Indonesia tidak mempunyai daya saing tinggi yang siap
berkompetisi dengan produk sejenis asal ASEAN. Indonesia menjadi negara
dengan inflasi tertinggi di ASEAN 5. Pada Agustus 2014, inflasi Indonesia
mencapai 3,99 persen year-on-year (yoy). Sedangkan inflasi Thailand 2,09
persen, Malaysia 3,3 persen, Singapura 0,9 persen, dan Filipina 4,9 persen.
Tingginya inflasi mencerminkan tingginya biaya produksi. Infrastruktur yang
belum memadai membuat biaya distribusi barang dari dan menuju pabrik menjadi
mahal. Menurut Bank Dunia, biaya logistik di Indonesia termasuk yang
tertinggi di dunia, mencapai 17 persen dari biaya produksi.
Biaya peminjaman juga mahal. Rata-rata suku bunga pinjaman di Indonesia
11,7 persen. Bandingkan dengan suku bunga pinjaman di Thailand yang sebesar 7
persen, Malaysia 4,6 persen, Singapura 5,4 persen, dan Filipina 5,8 persen.
Ekonomi biaya tinggi masih menjadi kendala sektor produksi di Indonesia. World Economic Forum dalam survei Doing Business menyebutkan lima
kendala yang mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Kelima kendala itu
adalah tingginya korupsi, inefisiensi birokrasi, infrastruktur yang tidak
memadai, tumpang-tindihnya kebijakan pusat dan daerah, serta mahalnya biaya
peminjaman. Kelima kendala tersebut juga terjadi dalam proses produksi.
Selain sektor barang, sektor jasa dan aliran bebas lainnya akan
terseok-seok saat menghadapi persaingan dalam MEA. Yang menjadi pertanyaan:
Apakah Indonesia perlu menetapkan keikutsertaan dalam MEA mulai 1 Januari
mendatang atau menundanya? Pengalaman ACFTA menunjukkan neto perdagangan
Indonesia-ASEAN yang semula mencatatkan surplus untuk Indonesia menjadi
defisit mulai 2011 hingga sekarang. Perdagangan bebas membuat tekanan impor
semakin besar, padahal impor masih menjadi problem struktural perekonomian
Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu inisiator pembentukan MEA yang
disepakati dalam Deklarasi ASEAN Concord II di Bali pada 7 Oktober 2003.
Mempersiapkan produsen untuk menyambut MEA sekarang sudah terlambat. Namun,
menyadari pentingnya persaingan yang setara dan masih lemahnya kesiapan
produsen, diperlukan strategi "menunda untuk maju". Kemungkinan
mundur dari keikutsertaan MEA merupakan hal yang lumrah. Ikatan dalam MEA bersifat
kesukarelaan. Kemungkinan menunda keikutsertaan tampaknya sudah menjadi
pertimbangan pemerintah Jokowi-JK. Baru sekitar 31 persen dari sektor
industri manufaktur yang bisa dikatakan berdaya saing. Keputusan menunda
merupakan hak setiap anggota ASEAN. Saat ini baru dua negara yang menyatakan
siap, yaitu Malaysia dan Singapura. Penundaan semestinya diikuti dengan
rencana matang mempersiapkan produsen maju bersaing.
Rencana program kerja Jokowi-JK untuk merealokasi subsidi BBM dan
menjadi sumber pembiayaan investasi, khususnya infrastruktur, bisa menjadi
langkah awal strategis untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perbaikan
standardisasi produk-produk yang masuk ke Indonesia juga bisa diperluas
dengan penggunaan bahasa Indonesia pada label produk. Sementara itu, aliran
jasa dan ketenagakerjaan dapat disinergikan dengan perbaikan kurikulum yang
berstandar internasional, atau setidaknya standar ASEAN. Masih banyak
perbaikan teknis yang bisa dilakukan dalam lima tahun ke depan untuk
mempersiapkan Indonesia sebagai produsen yang berdaya saing, sehingga MEA
akan menjadi potensi pengembangan ekonomi, bukan sebagai ancaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar