Rabu, 22 Oktober 2014

Mengantisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Mengantisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Lana Soelistianingsih ;  Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;
Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen
KORAN TEMPO, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Per 1 Januari 2015 mendatang, jika tidak ada perubahan, Indonesia memasuki era perdagangan yang semakin bebas dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Indonesia sudah menandatangani perjanjian bebas dalam ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada 1 Januari 2010. Namun, dalam MEA ini, aliran bebas tidak hanya untuk perdagangan barang, tapi juga aliran jasa, tenaga kerja, investasi, modal, dan perbankan. Perbankan secara khusus mulai merasakannya pada 2020. Layaknya kerja sama regional, MEA bermanfaat bagi konsumen melalui variasi serta volume barang yang semakin besar dan persaingan harga.

Meski demikian, di sisi produsen, persaingan yang meningkat membuat margin keuntungan perusahaan turun dan memicu bangkrutnya perusahaan. Peta Indonesia dalam MEA sangat penting dari sisi luasnya pasar. Dengan jumlah penduduk 245 juta orang, dengan angka kelas menengah yang terus meningkat, ditambah penduduk usia produktif yang mencapai 70 persen dari total penduduk, Indonesia menjadi potensi permintaan yang besar. Tapi, jika dilihat dari sisi produksi, produsen Indonesia tidak mempunyai daya saing tinggi yang siap berkompetisi dengan produk sejenis asal ASEAN. Indonesia menjadi negara dengan inflasi tertinggi di ASEAN 5. Pada Agustus 2014, inflasi Indonesia mencapai 3,99 persen year-on-year (yoy). Sedangkan inflasi Thailand 2,09 persen, Malaysia 3,3 persen, Singapura 0,9 persen, dan Filipina 4,9 persen. Tingginya inflasi mencerminkan tingginya biaya produksi. Infrastruktur yang belum memadai membuat biaya distribusi barang dari dan menuju pabrik menjadi mahal. Menurut Bank Dunia, biaya logistik di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, mencapai 17 persen dari biaya produksi.

Biaya peminjaman juga mahal. Rata-rata suku bunga pinjaman di Indonesia 11,7 persen. Bandingkan dengan suku bunga pinjaman di Thailand yang sebesar 7 persen, Malaysia 4,6 persen, Singapura 5,4 persen, dan Filipina 5,8 persen. Ekonomi biaya tinggi masih menjadi kendala sektor produksi di Indonesia. World Economic Forum dalam survei Doing Business menyebutkan lima kendala yang mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Kelima kendala itu adalah tingginya korupsi, inefisiensi birokrasi, infrastruktur yang tidak memadai, tumpang-tindihnya kebijakan pusat dan daerah, serta mahalnya biaya peminjaman. Kelima kendala tersebut juga terjadi dalam proses produksi.

Selain sektor barang, sektor jasa dan aliran bebas lainnya akan terseok-seok saat menghadapi persaingan dalam MEA. Yang menjadi pertanyaan: Apakah Indonesia perlu menetapkan keikutsertaan dalam MEA mulai 1 Januari mendatang atau menundanya? Pengalaman ACFTA menunjukkan neto perdagangan Indonesia-ASEAN yang semula mencatatkan surplus untuk Indonesia menjadi defisit mulai 2011 hingga sekarang. Perdagangan bebas membuat tekanan impor semakin besar, padahal impor masih menjadi problem struktural perekonomian Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu inisiator pembentukan MEA yang disepakati dalam Deklarasi ASEAN Concord II di Bali pada 7 Oktober 2003. Mempersiapkan produsen untuk menyambut MEA sekarang sudah terlambat. Namun, menyadari pentingnya persaingan yang setara dan masih lemahnya kesiapan produsen, diperlukan strategi "menunda untuk maju". Kemungkinan mundur dari keikutsertaan MEA merupakan hal yang lumrah. Ikatan dalam MEA bersifat kesukarelaan. Kemungkinan menunda keikutsertaan tampaknya sudah menjadi pertimbangan pemerintah Jokowi-JK. Baru sekitar 31 persen dari sektor industri manufaktur yang bisa dikatakan berdaya saing. Keputusan menunda merupakan hak setiap anggota ASEAN. Saat ini baru dua negara yang menyatakan siap, yaitu Malaysia dan Singapura. Penundaan semestinya diikuti dengan rencana matang mempersiapkan produsen maju bersaing.

Rencana program kerja Jokowi-JK untuk merealokasi subsidi BBM dan menjadi sumber pembiayaan investasi, khususnya infrastruktur, bisa menjadi langkah awal strategis untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perbaikan standardisasi produk-produk yang masuk ke Indonesia juga bisa diperluas dengan penggunaan bahasa Indonesia pada label produk. Sementara itu, aliran jasa dan ketenagakerjaan dapat disinergikan dengan perbaikan kurikulum yang berstandar internasional, atau setidaknya standar ASEAN. Masih banyak perbaikan teknis yang bisa dilakukan dalam lima tahun ke depan untuk mempersiapkan Indonesia sebagai produsen yang berdaya saing, sehingga MEA akan menjadi potensi pengembangan ekonomi, bukan sebagai ancaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar