Kabinet
Bebas Masalah
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
JAWA
POS, 20 Oktober 2014
JIKA tidak ada hambatan, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) hari ini
(20/10) resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia
(RI) periode 2014–2019. Sehari setelah pelantikan atau 21 Oktober 2014,
Jokowi-JK dijadwalkan mengumumkan daftar nama-nama menteri atau pejabat
setingkat menteri yang akan masuk dalam kabinet pemerintahan baru.
Kabinet yang dibentuk Jokowi-JK terdiri atas 33 menteri dengan empat
menteri koordinator. Khusus untuk menteri, komposisinya terdiri atas 18 orang
yang berlatar belakang profesional dan 15 orang yang berlatar belakang
profesional partai politik (parpol). Di luar nama-nama menteri, Jokowi-JK
juga diberitakan segera mengumumkan nama jaksa agung yang akan menggantikan
Basrief Arief.
Hingga saat ini banyak spekulasi dan bermunculan nama-nama calon
menteri maupun menteri koordinator yang nanti bergabung dalam kabinet
Jokowi-JK. Setiap kursi masih berisi tiga atau bahkan lima nama dan belum
mengerucut ke satu nama untuk satu posisi. Mekanisme pemanggilan calon
menteri untuk diwawancarai –seperti yang dilakukan pendahulunya (Susilo
Bambang Yudhoyono/SBY)– juga tidak dilakukan (atau tidak terdengar)
Jokowi-JK. Beberapa pihak menilai
Jokowi-JK menjalankan ”operasi senyap” dalam memilih calon-calon menteri.
Terlepas dari spekulasi munculnya sejumlah nama maupun cara yang digunakan
dalam memilih para pembantu presiden dan wakil presiden dalam menjalankan
roda pemerintahan itu, sebaiknya Jokowi-JK bertindak hati-hati dalam memilih
calon-calon menteri. Karena itu, ada empat hal yang harus dilakukan
Jokowi-JK.
Pertama, penyusunan kabinet dan pimpinan lembaga pemerintah tidak
didasarkan pada politik dagang sapi. Penunjukan pimpinan kementerian/lembaga
(K/L) didasari aspek integritas, rekam jejak, kapasitas, dan komitmen yang
kuat dalam mendorong agenda antikorupsi, khususnya di K/L yang dipimpinnya.
Harus dipastikan, menteri yang nanti dipilih tidak bermasalah atau
berpotensi menimbulkan masalah. Hal tersebut penting agar pemerintahan
Jokowi-JK ke depan tidak terganggu atau tercoreng kredibilitasnya dan bahkan
tersandera persoalan korupsi yang dilakukan menterinya ataupun yang terjadi
di kementerian.
Jokowi-JK sebaiknya belajar dari ”kesalahan” SBY-Boediono dalam memilih
figur-figur menteri di kabinetnya. Tercatat, tiga orang menteri aktif di
periode kedua pemerintahan SBY telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi
oleh KPK. Ketiganya adalah Andi Mallarangeng (menteri pemuda dan olahraga,
terkait dugaan korupsi proyek Hambalang), Suryadharma Ali (menteri agama,
dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji), dan Jero Wacik (menteri ESDM,
dugaan korupsi di SKK Migas).
Di luar tiga nama tersebut, beberapa menteri di era SBY juga pernah
diperiksa sebagai saksi atas perkara korupsi dan praktik korupsi yang muncul
di hampir semua kementerian di Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II. Sejumlah
proyek di kementerian juga disalahgunakan untuk kepentingan pribadi menteri
maupun kepentingan penggalangan dana partai si menteri.
Karena jabatan menteri bukan jabatan coba-coba, maka selain soal
kualitas atau kompetensi dan kepemimpinan (leadership), aspek integritas harus pula menjadi prioritas bagi
Jokowi-JK dalam memilih menteri, menteri koordinator, jaksa agung, dan
Kapolri. Setidaknya, mereka yang terpilih sebagai menteri atau pejabat
setingkat menteri dalam kabinet pemerintahan baru harus mendapatkan ”surat
berkelakuan baik” dari pihak kepolisian, kejaksaan, Ditjen Pajak, PPATK, dan
KPK. Harus dipastikan, mereka bukan tersangka korupsi potensial atau pemilik
transaksi keuangan yang dinilai tidak wajar atau mencurigakan maupun
pengemplang pajak.
Jokowi-JK sebaiknya melibatkan lima instansi tersebut dalam memilih
figur-figur yang tepat dan steril dari masalah hukum. KPK sendiri sudah
menawarkan diri untuk membantu Jokowi-JK dalam menyaring nama-nama calon
menteri. Kesempatan gratis itu sebaiknya tidak boleh dilewatkan.
Kedua, dalam mencegah adanya loyalitas ganda, harus dipastikan menteri
yang berasal dari partai politik juga mesti mengundurkan diri dari
keanggotaan partai atau menyatakan diri nonaktif dari keanggotaan maupun
pengurus partai.
Ketiga, guna menghindari kementerian disalahgunakan untuk kepentingan
parpol (seperti pengalaman sebelumnya), sejumlah kementerian sebaiknya tidak
ditempati figur yang berasal dari partai. Kementerian tersebut antara lain
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan
Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN,
Kementerian Pekerjaan Umum, serta Kementerian Perindustrian dan
Perdagangan.
Keempat, para menteri yang nanti ditunjuk wajib menandatangani surat
pernyataan (pakta antikorupsi) yang isinya antara lain mundur atau nonaktif
dari partai politik, wajib mengumumkan kepada publik laporan harta kekayaan
dan SPT pajak setiap tahunnya, tidak akan melakukan KKN dan menghindari
adanya konflik kepentingan selama menjabat, serta bersedia mengundurkan diri
jika ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara korupsi.
Karena itu, untuk memastikan yang dipilih tidak bermasalah, jika diperlukan,
sebaiknya Jokowi-JK juga tidak ragu untuk menunda pengumuman kabinet yang
sedianya dilakukan 21 Oktober 2014. Menunda selama satu minggu pengumuman
kabinet akan lebih baik daripada tersandera masalah selama satu periode atau
lima tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar