Selasa, 21 Oktober 2014

Kabinet Bebas Masalah

Kabinet Bebas Masalah

Emerson Yuntho  ;   Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
JAWA POS,  20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


JIKA tidak ada hambatan, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) hari ini (20/10) resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia (RI) periode 2014–2019. Sehari setelah pelantikan atau 21 Oktober 2014, Jokowi-JK dijadwalkan mengumumkan daftar nama-nama menteri atau pejabat setingkat menteri yang akan masuk dalam kabinet pemerintahan baru.

Kabinet yang dibentuk Jokowi-JK terdiri atas 33 menteri dengan empat menteri koordinator. Khusus untuk menteri, komposisinya terdiri atas 18 orang yang berlatar belakang profesional dan 15 orang yang berlatar belakang profesional partai politik (parpol). Di luar nama-nama menteri, Jokowi-JK juga diberitakan segera mengumumkan nama jaksa agung yang akan menggantikan Basrief Arief.

Hingga saat ini banyak spekulasi dan bermunculan nama-nama calon menteri maupun menteri koordinator yang nanti bergabung dalam kabinet Jokowi-JK. Setiap kursi masih berisi tiga atau bahkan lima nama dan belum mengerucut ke satu nama untuk satu posisi. Mekanisme pemanggilan calon menteri untuk diwawancarai –seperti yang dilakukan pendahulunya (Susilo Bambang Yudhoyono/SBY)– juga tidak dilakukan (atau tidak terdengar) Jokowi-JK.  Beberapa pihak menilai Jokowi-JK menjalankan ”operasi senyap” dalam memilih calon-calon menteri.

Terlepas dari spekulasi munculnya sejumlah nama maupun cara yang digunakan dalam memilih para pembantu presiden dan wakil presiden dalam menjalankan roda pemerintahan itu, sebaiknya Jokowi-JK bertindak hati-hati dalam memilih calon-calon menteri. Karena itu, ada empat hal yang harus dilakukan Jokowi-JK.

Pertama, penyusunan kabinet dan pimpinan lembaga pemerintah tidak didasarkan pada politik dagang sapi. Penunjukan pimpinan kementerian/lembaga (K/L) didasari aspek integritas, rekam jejak, kapasitas, dan komitmen yang kuat dalam mendorong agenda antikorupsi, khususnya di K/L yang dipimpinnya.

Harus dipastikan, menteri yang nanti dipilih tidak bermasalah atau berpotensi menimbulkan masalah. Hal tersebut penting agar pemerintahan Jokowi-JK ke depan tidak terganggu atau tercoreng kredibilitasnya dan bahkan tersandera persoalan korupsi yang dilakukan menterinya ataupun yang terjadi di kementerian.

Jokowi-JK sebaiknya belajar dari ”kesalahan” SBY-Boediono dalam memilih figur-figur menteri di kabinetnya. Tercatat, tiga orang menteri aktif di periode kedua pemerintahan SBY telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Ketiganya adalah Andi Mallarangeng (menteri pemuda dan olahraga, terkait dugaan korupsi proyek Hambalang), Suryadharma Ali (menteri agama, dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji), dan Jero Wacik (menteri ESDM, dugaan korupsi di SKK Migas).

Di luar tiga nama tersebut, beberapa menteri di era SBY juga pernah diperiksa sebagai saksi atas perkara korupsi dan praktik korupsi yang muncul di hampir semua kementerian di Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II. Sejumlah proyek di kementerian juga disalahgunakan untuk kepentingan pribadi menteri maupun kepentingan penggalangan dana partai si menteri.

Karena jabatan menteri bukan jabatan coba-coba, maka selain soal kualitas atau kompetensi dan kepemimpinan (leadership), aspek integritas harus pula menjadi prioritas bagi Jokowi-JK dalam memilih menteri, menteri koordinator, jaksa agung, dan Kapolri. Setidaknya, mereka yang terpilih sebagai menteri atau pejabat setingkat menteri dalam kabinet pemerintahan baru harus mendapatkan ”surat berkelakuan baik” dari pihak kepolisian, kejaksaan, Ditjen Pajak, PPATK, dan KPK. Harus dipastikan, mereka bukan tersangka korupsi potensial atau pemilik transaksi keuangan yang dinilai tidak wajar atau mencurigakan maupun pengemplang pajak.

Jokowi-JK sebaiknya melibatkan lima instansi tersebut dalam memilih figur-figur yang tepat dan steril dari masalah hukum. KPK sendiri sudah menawarkan diri untuk membantu Jokowi-JK dalam menyaring nama-nama calon menteri. Kesempatan gratis itu sebaiknya tidak boleh dilewatkan.

Kedua, dalam mencegah adanya loyalitas ganda, harus dipastikan menteri yang berasal dari partai politik juga mesti mengundurkan diri dari keanggotaan partai atau menyatakan diri nonaktif dari keanggotaan maupun pengurus partai. 

Ketiga, guna menghindari kementerian disalahgunakan untuk kepentingan parpol (seperti pengalaman sebelumnya), sejumlah kementerian sebaiknya tidak ditempati figur yang berasal dari partai. Kementerian tersebut antara lain Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Pekerjaan Umum, serta Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. 

Keempat, para menteri yang nanti ditunjuk wajib menandatangani surat pernyataan (pakta antikorupsi) yang isinya antara lain mundur atau nonaktif dari partai politik, wajib mengumumkan kepada publik laporan harta kekayaan dan SPT pajak setiap tahunnya, tidak akan melakukan KKN dan menghindari adanya konflik kepentingan selama menjabat, serta bersedia mengundurkan diri jika ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara korupsi.

Karena itu, untuk memastikan yang dipilih tidak bermasalah, jika diperlukan, sebaiknya Jokowi-JK juga tidak ragu untuk menunda pengumuman kabinet yang sedianya dilakukan 21 Oktober 2014. Menunda selama satu minggu pengumuman kabinet akan lebih baik daripada tersandera masalah selama satu periode atau lima tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar