Pekerjaan
Rumah Otda untuk Jokowi
Syarif Hidayat ; Peneliti Bidang Otonomi Daerah
pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
|
KOMPAS,
03 Oktober 2014
KEMENANGAN Joko Widodo pada Pemilu Presiden 2014 dapat
dimaknai sebagai salah satu hasil nyata dari reformasi desentralisasi dan
otonomi daerah (otda) di Tanah Air. Namun, pada saat yang sama kemenangan itu
juga menyodorkan sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satu
PR berat dan rumit itu adalah mengendalikan nafsu memekarkan daerah.
Ironis
memang, tatkala bangsa ini sedang dilanda gonjang-ganjing politik dan
kemampuan keuangan negara relatif memprihatinkan, pemekaran daerah tetap
dilakukan. Pikiran ruwet ini seharusnya segera dihentikan. Apabila alasan
utamanya meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat,
pertanyaannya: apakah pemekaran daerah merupakan solusi akhir yang paling
tepat? Masih banyak alternatif yang lebih cerdas. Salah satunya adalah
mengefisienkan dan meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan di
daerah otonom yang telah ada tanpa harus menambah daerah otonom baru.
Namun,
lagi-lagi, pikiran waras acap terkalahkan ketika harus berperang melawan
nafsu politik dan kepentingan ekonomi jangka pendek para elite. Kian buruklah
keadaan apabila kepentingan para elite itu mendapat pembenaran akademis dari
kaum cendekiawan.
Tanpa
maksud menafikan keberhasilan yang dicapai beberapa daerah otonom baru hasil
pemekaran, fakta hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 205 daerah
otonom bentukan periode 1999-2009 memperlihatkan 70 persen daerah belum
berhasil mencapai tujuan.
Di sisi
lain maraknya pemekaran juga menambah beban keuangan pemerintah pusat. Data
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menunjukkan
bahwa pada 1999 total dana alokasi umum (DAU) yang ditransfer ke daerah Rp
54,31 triliun. Sepuluh tahun kemudian, setelah terbentuk 205 daerah otonom
baru, anggaran DAU melonjak tiga kali lipat mencapai Rp 167 triliun. Adapun
anggaran DAU 2013: Rp 311 triliun. Anggaran itu belum termasuk dana transfer
daerah lainnya, seperti dana alokasi khusus dan otonomi khusus. Semua ini
tentu memprihatinkan bagi kepentingan bangsa ke depan.
Masukan untuk Jokowi
Di
antara sekian pilihan solusi, yang harus dilakukan adalah mengendalikan
kepentingan elite dalam pemekaran daerah. Meski demikian, upaya pengendalian
bias kepentingan elite itu memang bukan pekerjaan mudah karena virus
kepentingan elite telah merasuk ke berbagai elemen dari negara dan
masyarakat, serta aktor yang terlibat sangat kompleks dan multilevel
sifatnya. Masalah yang umumnya dihadapi antara lain sulitnya mendeteksi dan
memutus jaringan multilevel para elite. Karena itu, upaya yang harus
dilakukan dalam pengendalian bias kepentingan elite dalam pemekaran daerah
sudah kurang tepat lagi apabila didasarkan pada asumsi normal. Harus dengan
asumsi darurat.
Konkretnya,
asumsi darurat dalam penanganan pemekaran daerah yang penulis maksud adalah
sama seperti asumsi yang diterapkan ketika melahirkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk atas dasar pertimbangan, antara lain,
bahwa lembaga-lembaga negara penegak hukum yang seharusnya menangani
persoalan korupsi tidak dapat berperan secara maksimal lantaran banyak aparat
di dalamnya terlibat sebagai pemain. Jika asumsi yang sama diterapkan dalam
penanganan pemekaran daerah, salah satu solusinya adalah perlu dibentuk
lembaga extrastate, yaitu lembaga independen di luar struktur formal negara
yang bertugas menangani urusan pemekaran, penggabungan, dan penghapusan
daerah. Katakanlah lembaga ini diberi nama Komisi Pemekaran, Penggabungan,
dan Penghapusan Daerah, atau nama lain seperti Komisi Penataan Daerah.
Anggotanya terdiri atas para profesional yang memiliki integritas tinggi dan
diseleksi melalui proses ketat, sama seperti seleksi keanggotaan KPK.
Langkah penting
Langkah
penting berikutnya yang harus dilakukan dalam upaya pengendalian bias
kepentingan elite dalam pemekaran daerah adalah diwujudkannya kesepakatan
tertulis antara pemerintah (dalam hal ini presiden) dan DPR terkait dengan
moratorium pemekaran daerah. Dalam kontrak secara tertulis ini harus
dikemukakan secara eksplisit kurun waktu moratorium, agenda yang akan
dilakukan selama moratorium, serta target dan hasil yang akan dihasilkan.
Dengan adanya kesepakatan secara tertulis itu, diharapkan praktik
politik buka-tutup-pintu (pemerintah menutup, DPR membuka) dalam pemekaran
daerah tidak akan terulang lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar