Jumat, 20 Juni 2014

Menimbang Visi Otonomi Daerah Capres

Menimbang Visi Otonomi Daerah Capres

Nur Diah Fitriani  ;   Ketua Dewan Pemberdayaan Perempuan di Aliansi Penulis Idealis (API) Walisongo Semarang, Peneliti Muda di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN)
HALUAN,  19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) 2014 mengenai topik pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih dan penegakan hukum oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa versus Joko Widodo-Jusuf Kalla beberapa waktu lalu, menyisakan pertanyaan bagi masyarakat, bagaimana nasib otonomi daerah selama lima tahun ke depan?

Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, tentu hal ini mustahil jika yang mengurusi hanya pemerintahan pusat. Praktik pemerintahan sentralistik selama ini menguatkan asumsi tersebut, terbukti hanya memakmurkan ibu kota dan sebagaian wilayah di pulau Jawa. Sementara wilayah-wilayah yang notabene kaya sumber daya alam hanya bisa menyaksikan kekayaan alamnya mengalir ke Jakarta dan Jawa. Seakan-akan wilayah yang di luar Jawa ini di “anak tirikan”. Ketidakmerataan pembangunan inilah yang menyebabkan separatisme di berbagai daerah.

Menilik kembali sejarah kelahiran otda (otonomi daerah) pada 1 Januari 2001, telah menjadi titik tumpu untuk mengurangi separatisme dan meratakan kemakmuran ma­syarakat. Oleh karena itu, visi otonomi daerah capres-cawapres akan menjadi pedoman bagi 539 pemerintahan daerah (34 provinsi, 412 kabupaten dan 93 kota di seluruh Indonesia).

Menimbang Visi Otonomi Daerah

Dengan gamblangnya dalam debat capres-cawapres yang berlangsung beberapa waktu lalu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyatakan strategi mereka tentang ke arah mana otonomi daerah akan dibawa, jika mereka memimpin.

Masing-masing capres-cawapres mempunyai perbedaan visi-misi. Jokowi-JK meletakkan isu desentralisasi  dan otonomi daerah secara khusus diantara sembilan agenda prioritas kerjanya. Pada prioritas ketiga, ia mengatakan akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasangan yang dimotori Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut juga menjelaskan konsep yang diusungnya mereka sebut desentralisasi asimetri. Artinya, diberlakukan sama untuk masing-masing daerah.

Dengan pengalaman memimpin daerah, Jokowi tam­paknya memahami kemam­puan dan perbedaan modalitas setiap daerah. Jokowi-JK berkomitmen menjadikan otonomi daerah sebagai kebija­kan pokok dan arah bagi kebijakan publik lain. Selain itu, mereka menjanjikan reformasi pengelolaan keuangan daerah, dengan cara mengurangi biaya rutin pemerintah daerah dan mem­perbanyak belanja pelayanan publik.

Berbeda dengan Jokowi-JK, Prabowo-Hatta secara khusus meletakkan otonomi daerah sebagai salah satu prioritas. Namun, pasangan yang dikomandoi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini menyelipkan beberapa isu dengan nuansa otonomi daerah dalam prioritas kerjanya yang mereka sebut “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia”. Mereka juga membuat program satu miliar untuk satu desa, sebagai strategi untuk menjalankan ekonomi kerakyatan yang lebih baik.

Prabowo-Hatta dalam isu strategis keuangan daerah, ia akan meningkatkan transfer anggaran pusat ke daerah dengan tujuan mempercepat pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur masyarakat di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.

Mengenai pemekaran daerah, pasangan dari Partai Gerindra akan melakukan peninjauan rencana dan penajaman ulang dalam pemekaran daerah, demi terwujudnya efisiensi pemerintahan. Sedangkan pasangan dari PDIP akan menata kembali pembentukan daerah otonom baru (DOB). Dalam isu strategis ini, secara substansi hampir sama, mereka setuju untuk kembali menata kebi­jakan pemekaran daerah. Secara tidak langsung masing-masing capres-cawapres melihat daerah DOB selama ini hanya tertuju pada politik-ekonomi daripada kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menawarkan konsep lebih terperinci dengan pola pembentukan DOB secara bertahap. Selain itu, mereka juga memberi tawaran peranti yang hukumnya sudah ada sejak terbitnya PP No 78/2007 yakni, membuka kemung­kinan penerapan kebijakan penggabungan bahkan penghapusan daerah otonom yang dinilai gagal. Namun, saat ini yang diperlukan bukan hanya terbitnya hukum semata, melainkan ada ketegasan dan keberanian politik dalam menegakkan peraturan tersebut.

Dari perbedaan visi otonomi daerah capres-cawapres 2014 tersebut, masyarakat Indonesia dapat menimbang mana calon presiden dan wakil presiden yang pantas dipilih dan pantas memimpin Indonesia lima tahun ke depan serta yang pro terhadap otonomi daerah. Memilih capres-cawapres yang dikira siap melakukan pemerataan pembangunan di setiap daerah, dengan tujuan pem­bangunan tidak hanya tersentralisasi pada ibu kota saja. Selain itu,  yang mempunyai kapasitas memadai dalam menyeimbangkan konstelasi politik nasional menggunakan arah desentralisasi. Dalam konteks ini, dengan cara mempromosikan putra-putri terbaik dari berbagai daerah, untuk menduduki jabatan bupati maupun wali kota dalam menjalankan otonomi daerah. Sebab, salah satu faktor maju tidaknya daerah terletak pada kepemimpinan kepala daerah tersebut. Wa’ Allahu a’lamu bi Al-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar