HKP,
Manajemen Pangan, dan Capres
Rahmat
Pramulya ; Dosen dan Peneliti di Fakultas Pertanian Universitas Teuku Umar,
Meulaboh, Aceh Barat; Peneliti Pembangunan Ekonomi dan Perdamaian ICAIOS
|
SINAR
HARAPAN, 21 Juni 2014
Peringatan
Hari Krida Pertanian (HKP) 21 Juni di tengah hiruk-pikuk perhelatan pemilihan
presiden sangat tepat dijadikan momentum untuk menyadarkan seluruh elemen
bangsa, termasuk para calon presiden (capres) akan peran penting pertanian
dalam penyediaan pangan. Mengingat selama ini urusan pangan masih saja
menjadi persoalan pelik di negeri ini.
Di era
Orde Lama, Presiden RI pertama, Ir Soekarno, dengan tegas mengatakan negara
mengemban tugas penting dalam persoalan pangan. Bahkan ia mengatakan, bicara
pangan adalah bicara soal hidup dan matinya bangsa.
Di era
Orde Baru, pembelajaran manajemen pangan nasional dapat tergali begitu
banyaknya. Program Bimas (Bimbingan Massal), sebuah program yang didesain
untuk meningkatkan produksi padi, tercatat telah membuahkan keberhasilan
swasembada beras pada 1984, sekaligus menyisakan setumpuk problem pertanian
pangan lantaran kuatnya Bimas mengadopsi
Revolusi
Hijau. Di era Presiden BJ Habibie, pembangunan pertanian (pangan)
berkebudayaan industri menjadi kebijakan pangan yang demikian menonjol.
Sayangnya, kebijakan ini pun hanya menumpang lewat karena tidak diikuti
operasionalisasi yang serius di lapangan.
Hal yang
tak kalah fenomenalnya adalah saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Mulai
dari kampanye hingga deklarasi ketahanan pangan terus disuarakan. Hingga
kini, di era kepemimpinan SBY, soal ketahanan pangan ini masih menjadi isu
strategis di pemerintahan.
Berbagai
perangkat perundangan pun telah dilahirkan demi mewujudkan ketahanan pangan,
mulai dari UU No 7/1996 tentang Pangan, PP No 68/2002 tentang Ketahanan
Pangan, hingga Perpres No 22/2009 dan Permentan No 43/2009 tentang Gerakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya
Lokal. Namun, jika dicermati, mengapa soal ketahanan pangan kita seperti
jalan di tempat?
Tiga Komponen
Ada tiga
komponen penting dalam sistem pangan nasional, yaitu ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi. Sistem
pangan kita akan tangguh jika kita dapat menjamin ketiga komponen penting
tersebut.
Persoalannya
sekarang, pemerintah belum berhitung dengan serius seberapa besar stok pangan
yang aman. Produksi padi di posisi menjelang akhir tahun ini dirasa tak cukup
memenuhi kebutuhan penduduk di seluruh wilayah.
Jika
saja pangan lokal dijadikan kebijakan serius, sesungguhnya kekurangan beras
bisa ditutup dengan stok pangan nonberas yang potensinya cukup melimpah. Tinggal bagaimana disiapkan teknologi yang
tepat untuk menjadikannya sebagai sumber pangan pengganti beras.
Juga
perlu disiapkan teknologi penyimpanan maupun teknologi pengolahan yang mampu
menjadikan sumber pangan nonberas itu tepat dijadikan cadangan pangan.
Selain
itu, perlu dicermati dari sisi akses masyarakat terhadap pangan. Tak mudah
menjamin distribusi pangan yang adil.
Di sini sangat dibutuhkan sentuhan kebijakan harga.
Agar
setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan pangan, politik pangan negara
mestinya mengarah bagaimana pangan itu bisa murah. Ide pengembangan pangan
lokal sebenarnya bisa menjawab permasalahan ini.
Namun,
lagi-lagi disayangkan kebijakan pengembangan pangan lokal pun tampak masih
setengah hati. Pemerintah belum all
out dalam mewujudkan kebijakan pengembangan pangan lokal ini. Sekadar contoh,
pengembangan diversifikasi berbasis pangan lokal masih muncul di lomba-lomba
yang kental seremoni.
Usai
lomba, usai pula nasib pangan lokal. Masyarakat pun dibiarkan kembali
bertarung untuk bisa mengakses pangan-pangan yang mahal dan tidak diserukan
untuk mengonsumsi pangan lokal yang relatif mudah dijangkau harganya.
Dari
sisi konsumsi, menjadi penting untuk diperhatikan bagaimana pola konsumsi
masyarakat kita yang masih didominasi kelompok padi-padian.
Pola
konsumsi pangan harus beragam, bergizi, dan berimbang (3B) tampaknya belum
dipahami masyarakat luas.
Belajar
dari keberhasilan kampanye "Empat Sehat Lima Sempurna", mestinya
kampanye 3B ini perlu terus digencarkan.
Barangkali tak banyak dari kita yang tahu seperti apa konsep 3B ini.
Apalagi pemerintah menargetkan terjadi kenaikan skor Pola Pangan Harapan
(PPH) dari 75,7 pada 2009 menjadi 93,3 pada 2014.
Skor PPH
adalah sebuah ukuran yang menunjukkan keragaman pola konsumsi pangan
masyarakat, baik yang berasal dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, hasil
ternak atauikan, sayur-sayuran, serta buah-buahan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan
dari sisi konsumsi inilah diversifikasi pangan perlu digenjot.
Diversifikasi
pangan menjadi penting mengingat kita memiliki keanekaragaman sumber daya
hayati yang luar biasa besar yang hingga kini belum termanfaatkan dengan
baik.
Sayangnya,
yang terjadi justru kita telah masuk dalam perangkap pangan (food trap) negara maju. Beberapa komoditas
pangan, yakni gandum, kedelai, jagung, daging ayam ras, daging sapi, dan
susu, Indonesia masih tergantung dari impor. Bahkan untuk komoditas gandum,
kedelai, dan daging sudah dikategorikan kritis.
Merancang Sistem
Kepemimpinan
yang tidak efektif merupakan salah satu sebab mengapa Indonesia tak jua
memiliki sistem manajemen pangan yang andal. Para pemimpin negeri ini
seharusnya bisa merancang sistem yang andal demi menopang stabilitas pangan
nasional.
Masalah
pangan seharusnya tidak diletakkan pada pasar global, tetapi pada kemampuan
rakyat suatu negara. Di Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa unsur yang
mampu menjamin keberlangsungan pangan adalah kearifan lokal dan
keanekaragaman hayati.
Dengan
demikian, urusan pangan menekankan pada keputusan pemerintah nasional
(lokal), bukan pada badan perdagangan internasional seperti WTO yang selama
ini lebih banyak menciptakan “jeratan” ketimbang solusi dalam persoalan
pangan.
Sebagai
salah satu jawaban atas jeratan pangan global, pemahaman serius terhadap pola
pikir kedaulatan pangan memang menjadi sangat strategis dan urgen.
Terlebih
bila terekam adanya sebuah suasana sekarang ini pangan diperjualbelikan demi
menumpuk keuntungan sebesar-besarnya. Pangan sudah tidak dipandang sebagai
bagian dari kebutuhan untuk mengganjal perut. Pangan sudah tidak
dipersepsikan sebagai komoditas kemanusiaan.
Untuk
itu, mestinya ada upaya guna mewujudkan tak hanya ketahanan pangan, tetapi
juga kedaulatan pangan di mana kita harus memiliki kebijakan dan strategi
sendiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan berkelanjutan sehingga
mampu menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk.
Memperingati
Hari Krida Pertanian 21 Juni ini, para capres ditantang komitmennya untuk
menyelamatkan pangan masyarakat. Kita perlu blueprint kebijakan pangan yang
jelas. Revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan mestinya mampu mendorong
komitmen pemerintah untuk mewujudkannya agar kita bisa berdaulat atas pangan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar