Selasa, 24 Juni 2014

Reforma Agraria

Reforma Agraria

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KOMPAS, 23 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tanah merupakan harta tak ternilai. Bagi petani, tanah adalah sumber kehidupan, simbol martabat dan identitas. Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tetapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lain. Karena itu, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Negara yang struktur politik, ekonomi, sosialnya kukuh dan baik, seperti AS, Tiongkok,  Jepang, dan Korea, memulai pembangunan ekonomi lewat land reform. Land reform jadi bagian penting menata struktur politik- ekonomi-sosial yang feodalistik.

Indonesia memulai land reform pada 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-cita pendiri bangsa saat itu menata ulang struktur agraria nasional yang feodalistik dan kolonialistik serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok jadi struktur agraria yang berkeadilan sosial. Land reform dilakukan setelah UU Pokok Agraria (UU No 5/1960) disahkan bersamaan lahirnya UU No 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Sayang, land reform yang menurut Bung Karno ”bagian mutlak revolusi” ternoda konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat. Kelompok ”kiri” pendukung land reform bersitegang dengan kelompok ”kanan” penolak land reform. Stabilitas politik terguncang. Land reform era Bung Karno terhenti seiring pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto tak menjadikan land reform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun land reform dimusuhi, diberangus. Bahkan, para penganjurnya dicap ”kiri”.

Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) amat tepat menggambarkan kondisi agraria hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama, kepemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua, konflik penguasaan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam makin masif. Ketiga, peraturan yang terkait agraria/SDA bersifat eksploratif, sektoral, sentralistis, lebih berpihak kepada pemodal besar dan pemegang kuasa, serta tidak ada pengaturan memadai guna melindungi HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal. Keempat, peraturan yang terkait konservasi SDA tidak memberikan jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka panjang.

Dampaknya, tumpang tindih peraturan membuat tak jelasnya otoritas atas SDA dan salah urus pengelolaan SDA. Terjadilah pengurasan dan pengerukan SDA tanpa batas. Hutan produktif, hutan lindung, dan lahan-lahan produktif dialihfungsikan. Akibatnya, lahan terdegradasi, ekosistem rusak dan keanekaragaman hayati merosot, pencemaran dan dampak lingkungan meningkat, pelanggaran HAM dan perampasan hak-hak masyarakat adat/lokal kian masif. Hasilnya, kemiskinan mayoritas rakyat.

Kepemilikan timpang

Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji membagikan 8,15 juta hektar lahan untuk rakyat. Secara ekonomi, land reform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen dan infrastruktur—dikenal sebagai reforma agraria—akan membuat rakyat lebih berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford, 2004). Reforma agraria bisa jadi solusi soal-soal struktural, seperti pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria di segelintir orang, tingginya sengketa/konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan energi, menurunnya kualitas lingkungan hidup, dan lemahnya akses sebagian besar masyarakat terhadap hak-hak dasar warga seperti Indonesia saat ini.

Delapan tahun berlalu, janji tinggal janji. Struktur sosial-ekonomi yang timpang tak dikoreksi, bahkan kian akut. Ini tampak dari kepemilikan lahan. Hanya 0,2 persen penduduk yang menguasai 56 persen aset nasional dengan konsentrasi aset 87 persen dalam bentuk tanah. Artinya, aset nasional hanya dikuasai 440.000 orang. Bahkan, rasio gini lahan sebagai alat ukur ketimpangan dalam penguasaan lahan mencapai 0,536 (Winoto, 2010), melampaui batas psikologis ”titik ledak” gejolak sosial di pedesaan.

Sebaliknya, 49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tuna-tanah. Di sisi lain, 7,3 juta hektar tanah atau 133 kali luas negara Singapura yang dikuasai swasta dan BUMN ditelantarkan. Sekitar 1,935 juta hektar tanah yang telantar merupakan tanah hak guna usaha (Winoto, 2010).

Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk ketimbang kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997). Konsentrasi kekayaan Indonesia kini lebih parah dibanding negara tetangga; 3 kali lebih tinggi dari Thailand, 4 kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dari Singapura (Winters, 2011).

Tampak salah satu soal mendasar negeri ini ialah ketimpangan kepemilikan sumber daya lahan. Ketimpangan itu membuat kesenjangan kaya-miskin kian lebar, seperti terlihat dari meroketnya rasio gini, dari 0,32 (2004) jadi 0,41 (2013). Ini pertama kalinya rasio gini masuk pada ketimpangan menengah. Tanpa menyentuh masalah struktural ini, akan sulit untuk melepaskan warga dari jerat kemiskinan dan pengangguran, termasuk bisa berdaulat di bidang pangan.

Menjelang Pilpres 2014, dua capres-cawapres mengusung visi-misi yang sama, membawa Indonesia berdaulat pangan. Agar bisa berdaulat pangan, pertama-tama petani sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani akan berdaulat jika ia memiliki tanah, bukan buruh atau penggarap. Karena itu, untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani (kecil) terhadap sumber daya produksi penting (tanah, air, benih, teknologi, dan finansial) harus dijamin lewat reforma agraria. Tanpa itu, produksi kedaulatan omong kosong.

Selain itu, kedaulatan pangan akan tegak bila petani terlindungi dari sistem perdagangan yang tidak adil. Dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar yang jadi fondasi pertanian—baik pasar domestik maupun dunia—merupakan struktur pasar yang adil. Petani juga perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan rugi akibat bencana alam. Negara perlu memberi jaminan hukum bila hal itu terjadi.

Pendek kata, semua yang menambah biaya eksternal petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai kewajiban negara (Pakpahan, 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar