Reforma
Agraria
Khudori ;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli
Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
KOMPAS,
23 Juni 2014
Tanah
merupakan harta tak ternilai. Bagi petani, tanah adalah sumber kehidupan,
simbol martabat dan identitas. Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain
tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tetapi, bagi petani, modal tanah
amat menentukan akses terhadap modal lain. Karena itu, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir semua
negara di dunia. Negara yang struktur politik, ekonomi, sosialnya kukuh dan
baik, seperti AS, Tiongkok, Jepang,
dan Korea, memulai pembangunan ekonomi lewat land reform. Land reform jadi bagian
penting menata struktur politik- ekonomi-sosial yang feodalistik.
Indonesia
memulai land reform pada 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-cita pendiri
bangsa saat itu menata ulang struktur agraria nasional yang feodalistik dan
kolonialistik serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok jadi struktur
agraria yang berkeadilan sosial. Land reform dilakukan setelah UU Pokok
Agraria (UU No 5/1960) disahkan bersamaan lahirnya UU No 56 Prp/1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Sayang, land reform yang menurut Bung Karno ”bagian mutlak revolusi” ternoda
konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat.
Kelompok ”kiri” pendukung land reform bersitegang dengan kelompok ”kanan”
penolak land reform. Stabilitas
politik terguncang. Land reform era
Bung Karno terhenti seiring pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno,
Soeharto tak menjadikan land reform
sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan mengadopsi
Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun land reform dimusuhi, diberangus. Bahkan,
para penganjurnya dicap ”kiri”.
Tap MPR
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) amat
tepat menggambarkan kondisi agraria hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama,
kepemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua,
konflik penguasaan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam makin masif.
Ketiga, peraturan yang terkait agraria/SDA bersifat eksploratif, sektoral,
sentralistis, lebih berpihak kepada pemodal besar dan pemegang kuasa, serta
tidak ada pengaturan memadai guna melindungi HAM dan hak-hak masyarakat
adat/lokal. Keempat, peraturan yang terkait konservasi SDA tidak memberikan
jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan
pengembangan ekonomi jangka panjang.
Dampaknya,
tumpang tindih peraturan membuat tak jelasnya otoritas atas SDA dan salah
urus pengelolaan SDA. Terjadilah pengurasan dan pengerukan SDA tanpa batas.
Hutan produktif, hutan lindung, dan lahan-lahan produktif dialihfungsikan.
Akibatnya, lahan terdegradasi, ekosistem rusak dan keanekaragaman hayati
merosot, pencemaran dan dampak lingkungan meningkat, pelanggaran HAM dan
perampasan hak-hak masyarakat adat/lokal kian masif. Hasilnya, kemiskinan
mayoritas rakyat.
Kepemilikan timpang
Pada
2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji membagikan 8,15 juta hektar
lahan untuk rakyat. Secara ekonomi, land
reform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit,
penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen dan
infrastruktur—dikenal sebagai reforma agraria—akan membuat rakyat lebih
berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford, 2004).
Reforma agraria bisa jadi solusi soal-soal struktural, seperti pengangguran,
kemiskinan, konsentrasi aset agraria di segelintir orang, tingginya
sengketa/konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan energi, menurunnya
kualitas lingkungan hidup, dan lemahnya akses sebagian besar masyarakat
terhadap hak-hak dasar warga seperti Indonesia saat ini.
Delapan
tahun berlalu, janji tinggal janji. Struktur sosial-ekonomi yang timpang tak
dikoreksi, bahkan kian akut. Ini tampak dari kepemilikan lahan. Hanya 0,2
persen penduduk yang menguasai 56 persen aset nasional dengan konsentrasi
aset 87 persen dalam bentuk tanah. Artinya, aset nasional hanya dikuasai
440.000 orang. Bahkan, rasio gini lahan sebagai alat ukur ketimpangan dalam
penguasaan lahan mencapai 0,536 (Winoto,
2010), melampaui batas psikologis ”titik ledak” gejolak sosial di
pedesaan.
Sebaliknya,
49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tuna-tanah. Di
sisi lain, 7,3 juta hektar tanah atau 133 kali luas negara Singapura yang
dikuasai swasta dan BUMN ditelantarkan. Sekitar 1,935 juta hektar tanah yang
telantar merupakan tanah hak guna usaha (Winoto,
2010).
Menurut
kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk ketimbang
kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997). Konsentrasi kekayaan Indonesia
kini lebih parah dibanding negara tetangga; 3 kali lebih tinggi dari
Thailand, 4 kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dari Singapura (Winters, 2011).
Tampak
salah satu soal mendasar negeri ini ialah ketimpangan kepemilikan sumber daya
lahan. Ketimpangan itu membuat kesenjangan kaya-miskin kian lebar, seperti
terlihat dari meroketnya rasio gini, dari 0,32 (2004) jadi 0,41 (2013). Ini
pertama kalinya rasio gini masuk pada ketimpangan menengah. Tanpa menyentuh
masalah struktural ini, akan sulit untuk melepaskan warga dari jerat
kemiskinan dan pengangguran, termasuk bisa berdaulat di bidang pangan.
Menjelang
Pilpres 2014, dua capres-cawapres mengusung visi-misi yang sama, membawa
Indonesia berdaulat pangan. Agar bisa berdaulat pangan, pertama-tama petani
sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani akan berdaulat jika ia memiliki
tanah, bukan buruh atau penggarap. Karena itu, untuk menjamin tegaknya
kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani (kecil) terhadap sumber daya
produksi penting (tanah, air, benih, teknologi, dan finansial) harus dijamin
lewat reforma agraria. Tanpa itu, produksi kedaulatan omong kosong.
Selain
itu, kedaulatan pangan akan tegak bila petani terlindungi dari sistem
perdagangan yang tidak adil. Dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara
perlu menjamin struktur pasar yang jadi fondasi pertanian—baik pasar domestik
maupun dunia—merupakan struktur pasar yang adil. Petani juga perlu
perlindungan atas berbagai kemungkinan rugi akibat bencana alam. Negara perlu
memberi jaminan hukum bila hal itu terjadi.
Pendek
kata, semua yang menambah biaya eksternal petani, menurunkan harga riil
produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian perlu
landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai
kewajiban negara (Pakpahan, 2012). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar