Ciuman
Kematian
Sindhunata ;
Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta; Wartawan
|
KOMPAS,
23 Juni 2014
RIMBA
raya diciptakan untuk manusia, tapi bukan sepak bola. Ungkapan ini rasanya
tepat untuk melukiskan betapa berat perjuangan pemain sepak bola, lebih-lebih
dari Eropa, menghadapi panas dan lembabnya udara di Brasil yang masih kaya
dengan hutan dan rimba raya tropis. Sebelum pergi ke Brasil, para pengamat
sepak bola Italia mengingatkan, lawan terberat dan terbahaya bagi Andrea
Pirlo adalah udara panas dan lembab. Pirlo tak takut akan ancaman itu. Ia
akan menunjukkan bahwa fisiknya masih sanggup menghadapi ancaman rimba
Amazon. Ternyata, ketika Italia bertekuk lutut di hadapan Kosta Rika,
terlihat betapa kehebatan Pirlo toh dirongrong dan diruntuhkan oleh udara
panas dan lembab itu. Sempat terlihat ia mengguyur tubuhnya dengan air di
tengah permainan.
Pelatih
Italia Cesare Prandelli mengakui kehebatan Kosta Rika, dan kekalahan itu
disebabkan salah strategi, yang membuat Italia jadi terlalu lambat bermain.
Ia bilang, tim-tim Amerika Latin diuntungkan dalam Piala Dunia ini. Ia seakan
hendak mengisyaratkan, Kosta Rika bisa menang karena fisik mereka lebih
terbiasa dengan udara panas itu. Pemain tengah Italia sudah menua, Pirlo 35
tahun, Daniele de Rossi (30), dan Thiago Motta (31). Mungkinkah di bawah
tekanan udara panas dan lembab mereka masih bisa bermain cepat?
Italia
akan menghadapi Uruguay dalam pertandingan hidup mati. Seperti Kosta Rika,
Uruguay pun secara fisik lebih terbiasa dengan iklim rimba tropis itu. Maka,
untuk tidak mengulangi kesalahan, Prandelli, seperti dikutip Spiegel Online,
mengatakan, ”Jika menghadapi kesebelasan yang secara fisik lebih baik, kami
membutuhkan cara dan aturan bermain yang mampu menghadapi kelebihan fisik
itu.”
Melawan
Uruguay, Italia harus bisa bermain dengan cerdik. Paling tidak, secerdik
ketika mengalahkan Inggris, 2-1. Untuk itu, mau tidak mau, permainan Italia
di lapangan tengah di bawah regisur Pirlo harus hidup kembali. Artinya, Pirlo
tidak hanya mesti kembali fit, tetapi juga mampu memimpin rekan-rekannya
kembali kepada jati diri permainan.
Jika
Pirlo hidup, ”Squadra Azzurra” pun akan lebih hidup. Sebab, seperti pernah
dikatakan pelatih Spanyol Vicente del Bosque, ”Pirlo adalah buah dada di mana Italia menyusu.”
Pirlo
adalah virtuose bola, yang memberikan entakan bagi Italia. Ia bukan hanya
dirigen dan kompas, melainkan juga nyawa bagi timnya. Del Bosque yang penuh
pengalaman itu tahu, Pirlo adalah pengatur permainan yang tak bisa ditiru. Ia
bisa memadukan dengan baik intelek dan intuisi.
Pirlo
tidak banyak berlari. Ia lebih banyak ”membelai bola”. Ia seperti seorang
”melankoli bola”. Tapi, dalam sejenak, ia bisa memberikan entakan yang
membuat situasi tenang berubah menjadi keributan total di tim lawan. Ia dapat
mengambil keputusan yang tepat.
Anak-anak
Jerman pernah merasakan pahitnya keputusan Pirlo itu. Di semifinal Piala
Dunia 2006, secara tak terduga Pirlo memberikan bola dengan tepat ke kaki
Fabio Grosso. Italia unggul 1-0, disusul satu gol lagi oleh Alessandro Del
Piero. Jerman pun tersingkir di rumahnya sendiri.
”Saya
bukan penembak. Saya hanya menyiapkan supaya teman lain yang menembak,” kata
Pirlo. Untuk pernyataannya itu banyak contohnya, misalnya ketika melawan
Inggris di Manaus, tercatat ia melakukan 108 umpan dan dari umpan itu
lahirlah serangan yang amat berbahaya ke gawang Joe Hart.
”Pirlo
adalah pemimpin. Ia bicara dengan kakinya,” begitu pernah mantan pelatih
Italia, Marcello Lippi, berbicara tentang Pirlo. Pirlo adalah anak asuh
kesayangan Lippi. Dia juga disayangi teman-temannya. Bahkan Mario Balotelli
yang keras dan kerap arogan itu amat menghormatinya. Sebelum melawan Kosta
Rika, ”Super Mario” yakin, ia dan kawannya pasti bisa mengalahkan tim yang
tidak diperhitungkan itu.
Jika
mengalahkan Kosta Rika, mereka membuka peluang Inggris untuk tidak
cepat-cepat pulang ke rumah. Untuk ”jasanya” itu, Balotelli berkicau, sudah
selayaknya ia mendapat ciuman dari Ratu Inggris. Hampir saja Balotelli
mewujudkan ”jasanya”. Ia mendapatkan umpan yang begitu jitu dari Pirlo. Orang
mengira, umpan itu pasti berbuah menjadi gol. Sayang, tembakan Balotelli ini
melenceng di kanan gawang Kosta Rika yang dijaga Keylor Navas.
Dalam
pertandingan hidup mati, Italia akan berhadapan dengan Uruguay di kota Natal.
Sementara Italia masih merenungi nasibnya yang kalah dari Kosta Rika, Uruguay
sudah melupakan kekalahan mereka di kaki Kosta Rika, 1-3. Karena telah
melumat Inggris, 2-1, Uruguay bahkan makin percaya diri. ”Andaikan permainan ajaib ini adalah sebuah film, penonton, paling
tidak penonton Uruguay, tak dapat mengalami akhir yang lebih indah daripada
akhir yang kami suguhkan,” kata pelatih Uruguay Oscar Tabarez.
”Akhir
film” itu membuat senang orang Uruguay, tapi sebaliknya telah membuat orang
Inggris menangis. ”Luis, bagaimana kamu tega membuat itu?” begitu tanya
seorang reporter Inggris kepada Suarez. Dengan kakinya, Suarez mencari makan
di Inggris. Tahun ini ia memborong 39 gol di Liga Inggris, dan hampir saja
membawa Liverpool juara liga. Mengapa ia tega membuat orang Inggris menangis?
Tiap
kali membuat gol, Suarez selalu mencium cincin di jari manisnya. Baginya,
ciuman itu berarti bahwa gol itu dipersembahkannya kepada istri dan
anak-anaknya yang tercinta. Tapi, oleh koran Star Sport, ciuman Suarez itu disebut sebagai ”ciuman kematian”. Artinya, dengan dua
kali mencium cincinnya, Suarez telah mengusir Inggris pulang di babak pertama
Piala Dunia 2014. Setelah 56 tahun, baru pertama kali ini terjadi Inggris ”dicium dengan kematian” sedini itu.
Di kota Natal nanti, apakah ciuman kematian itu juga akan menimpa Pirlo dan
kawan-kawannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar