Surat
Terbuka untuk Pak Amien Rais
AS
Laksana ; Sastrawan,
Pengarang, Wartawan
|
JAWA
POS, 22 Juni 2014
PAK
Amien yang baik, ini kali kedua saya menggunakan kolom ini untuk menulis surat
terbuka. Sebelumnya, hampir lima tahun lalu, saya menulis surat terbuka untuk
Presiden SBY. Ketika itu Pak SBY baru memulai periode kedua pemerintahannya.
Saya pikir, memberikan saran adalah kewajiban warga negara yang baik. Sebab,
performa presiden kurang menggembirakan dan dia mulai menjadi bahan ledekan.
Hal yang
sama sedang terjadi kepada Anda saat ini: menjadi bahan ledekan. Mula-mula
saya mendengar ada satu orang di dalam kerumunan anak-anak muda yang
mengajukan tebakan kepada teman-temannya dan dia menjawab sendiri tebakan
itu, ”Apa beda Amien Rais dan tahun kabisat? Tahun kabisat muncul empat tahun
sekali, Amien Rais setahun lebih lambat, dia muncul lima tahun sekali.”
Di media
sosial maupun dalam perbincangan sehari-hari, saya sering membaca atau
mendengar orang-orang menyebut Anda sebagai Sengkuni. Itu seburuk-buruknya
watak yang saya kenali dalam dunia pewayangan: dia penghasut, dia licik, dia
menumbuhsuburkan watak angkara. Sebagian dari mereka yang meledek Anda adalah
para pemuda belia yang usianya mungkin belum genap 20 tahun. Saya sedih
sekali.
Saya
benci mendengar ledekan itu. Kalau menggunakan kata-kata Pak SBY, saya
prihatin. Anda adalah orang yang saya hormati –sebagai guru, sebagai orang
yang berdiri di baris terdepan reformasi, juga sebagai orang yang pernah
memimpin Muhammadiyah, sebuah organisasi yang dibentuk oleh pendirinya dengan
tujuan mulia dalam kacamata umat Islam. Di luar semua alasan itu, saya pernah
kuliah di Fisipol UGM dan Anda adalah dosen di sana. Meskipun Anda tidak
pernah mengajar saya secara langsung di kelas, saya tetap menghormati Anda
sebagai guru saya.
Ketika
Anda terjun aktif di dunia politik dan ikut mendesak Pak Harto turun, saya
bangga. Pak Harto sudah terlalu lama menjadi presiden dan dia sendiri tidak tahu
kapan harus turun. Ketika Anda menjadi kandidat presiden 2004, saya memilih
Anda dan berharap Anda menang. Saya benar-benar ingin melihat Indonesia yang
berbeda ketika negeri ini dipimpin oleh intelektual, seseorang yang
bertahun-tahun bergelut di kampus dan memilih dunia pendidikan sebagai jalan
hidup.
Dua
tahun sebelum pemilihan, saya bahkan menawarkan sebuah konsep kampanye untuk
Anda –saya yakin Anda tidak ingat, banyak sekali orang yang menemui Anda saat
itu. Kita bicara di rumah dinas Anda sebagai ketua MPR dan pada pertemuan
kedua Anda langsung setuju. Mudah sekali berbicara dengan Anda. Saya pulang
dari rumah Anda dengan perasaan sangat senang. Namun, konsep itu tidak pernah
bisa dieksekusi. Saya dan anggota tim sukses yang Anda tunjuk untuk menangani
program kampanye tersebut tidak pernah mencapai kata sepakat. Sebelum
pertemuan berakhir, saya sampaikan kepadanya, ”Pak Amien guru saya, konsep
ini saya tawarkan karena rasa hormat saya dan dukungan terhadap
pencalonannya. Tapi, Anda memperlakukan saya sebagai pedagang Malioboro.”
Seorang
teman menyarankan saya menawarkan konsep itu kepada kandidat lain. Saya
menolak sarannya.
Pak
Amien, hanya sekali itu saya merasa terdorong untuk ikut berkampanye. Pada
pemilu berikutnya, saya ingat sejumlah kawan menggalang kampanye aktif agar
pasangan Mega-Prabowo jangan sampai menang. Saya merasa biasa-biasa saja saat
itu dan yakin bahwa Mega-Prabowo tidak akan menang. Di hari pemilihan, saya
datang ke bilik suara agak sore dan memilih kandidat yang saya rasa lebih
sreg jika dibandingkan dengan dua kandidat presiden lain. Saya tidak pernah
tertarik pada pemilu legislatif. Sejak Gus Dur menyebut DPR sebagai kumpulan
anak TK, menurut saya mereka tidak pernah naik kelas hingga sekarang.
Tahun
ini kita akan menggelar pemilihan presiden lagi dan saya dicekam perasaan
cemas serta marah oleh gencarnya fitnah dan kampanye hitam yang dilancarkan
sebagai strategi meraih kemenangan. Mereka bahkan tega menggunakan mulut
anak-anak yang suatu sore berjalan beriringan di depan rumah saya untuk
menyanyikan lagu yang liriknya betul-betul menjijikkan.
Pak
Amien, Anda jauh lebih tahu daripada saya bahwa Islam mengutuk fitnah dan
Nabi Muhammad mengibaratkan fitnah sebagai malam yang gelap gulita. Itu
perumpamaan yang sangat bagus. Dalam kepungan fitnah, kita tak bisa melihat
cahaya dan sulit menemukan sesuatu yang bisa dipegang. Saya heran bahwa Anda
tidak terdorong untuk menghentikan semburan fitnah dan membantu menjadikan
situasi lebih terang. Anda justru menambahi kobaran fitnah itu dengan seruan
Perang Badar.
Saya
Islam sejak kecil karena kedua orang tua saya Islam. Ada sejumlah kasus di
dunia fana ini tentang orang-orang yang meninggalkan agama orang tua mereka
dan memilih agama baru saat tumbuh dewasa dengan alasan masing-masing. Namun,
saya yakin kebanyakan orang lain di negeri ini seperti saya, dalam pengertian
bahwa kita tidak bisa memilih siapa ibu yang melahirkan kita, apa suku
bangsanya, dan apa agamanya.
Fitnah-fitnah
hari ini –yang menggelembungkan isu agama, ras, dan apa saja yang bisa
digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan– saya rasakan tidak saja
terlalu keji serta mengerikan, tetapi juga meneror dan memecah belah. Entah
seperti apa kadar keislaman saya hari ini, saya tetap berharap orang-orang
dari latar belakang agama, etnis, atau kelompok apa pun bisa memercayai dan
ikut merasakan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta. Saya tidak sanggup
menyaksikan perangai yang menyebabkan orang berpikir bahwa orang Islam adalah
mereka yang menghalalkan cara apa pun untuk berkuasa.
Yang
sedang kita hadapi saat ini hanyalah pemilihan presiden, bukan pemilihan
panglima perang-perangan atau kapten pertandingan gobak sodor. Ini hanya
ikhtiar duniawi untuk mendapatkan orang yang lebih baik dalam memimpin sebuah
pemerintahan.
Untuk
itu, yang kita perlukan bukanlah mental perang-perangan atau petak umpet
sambil melempar sampah, melainkan ajakan untuk meneliti rekam jejak setiap
kandidat. Cukup sering saya menyampaikan kepada teman-teman, ”Pilihlah orang
yang catatan masa lalunya baik, lebih utama adalah orang yang di masa lalu
telah melakukan tindakan-tindakan yang berguna bagi kepentingan orang
banyak.” Kepada seseorang dengan rekam jejak yang baik, Anda tahu, kita bisa
berharap akan adanya pemerintahan yang mampu memberikan kebaikan bagi seluruh
warga negara.
Kita
semua tahu, jauh sebelumnya nama Jokowi terlalu kuat sebagai kandidat jika
dibandingkan dengan nama-nama lain dari partai apa pun. Harus diakui faktanya
seperti itu. Cukup sering saya membaca pernyataan-pernyataan negatif Anda
tentangnya. Namun, popularitas dan elektabilitas gubernur DKI Jakarta itu
tetap tak tertandingi. Maka, Anda pun akhirnya berupaya menjodoh-jodohkan
Jokowi dengan Hatta Rajasa. Para pentolan dari partai-partai lain –Golkar,
PPP, dan PKS– juga berbuat serupa. Mereka mendekati Jokowi pada awalnya. Saya
membaca berita tentang itu semua di media massa.
Kalau
akhirnya Anda dan kawan-kawan bergandeng tangan dengan Gerindra yang
mengusung Prabowo, kemudian Anda mengatakan Bung Bowo dan Bung Hatta serupa benar
dengan Bung Karno dan Bung Hatta, itu hanya langkah politik yang sangat
pragmatis. Orang tahu bahwa itu melulu urusan tawar-menawar –gagal dengan
satu pihak, lalu terakomodasi oleh pihak lain.
Maka,
saya tercengang dengan adanya fitnah-fitnah SARA dan pengondisian yang
menyesatkan, seolah-olah yang sedang berlangsung saat ini adalah perjuangan
suci untuk mengibarkan panji-panji agama. Lalu, orang-orang dari dua kubu
berseteru dalam kegelapan. Saya yakin tidak ada yang ideologis dalam urusan
ini. Politisi kita bukan kumpulan orang-orang yang ideologis. Mereka hanya
kawanan yang tergiur oleh kekuasaan atau setidaknya bisa ikut serta dalam
gerbong kekuasaan. Anda sendiri juga pernah mengatakan –demi membuka peluang
untuk mendekati kandidat yang semula paling dijagokan– bahwa Jokowi dan Hatta
Rajasa seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Sekarang
situasi kian panas dan gelap. Beberapa orang berpikir bahwa seusai pemilu
pasti terjadi kerusuhan. Saya menolak pikiran seperti itu. Kami punya nalar
dan saya yakin seusai pemilu semuanya baik-baik saja, kecuali ada provokasi,
kecuali ada yang sengaja mengudak-udak air kolam yang tenang. Rakyat bisa
terpancing, Anda tahu, tetapi mereka biasanya bukan pihak yang memulai. Jadi,
kalau sampai kerusuhan itu terjadi, para elite politik, termasuk Anda, adalah
orang-orang pertama yang patut dipersalahkan.
Saya
sudahi surat saya, Pak Amien. Kalaupun Anda tidak membaca surat ini atau
membaca namun tidak merasa perlu menganggap penting apa yang saya sampaikan,
saya akan baik-baik saja. Memang saya marah terhadap fitnah-fitnah yang
berseliweran, tetapi saya tetap menulis dan menyampaikan pemikiran saya
dengan perasaan gembira.
Semoga
Anda dan keluarga selalu sehat. Salam dari saya, A.S. Laksana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar