Calon
Presiden dan Literasi
Agus
M Irkham ; Pegiat Literasi
|
TEMPO.CO,
21 Juni 2014
Dua kali
debat calon presiden digelar. Pertama tentang tata kelola pemerintahan,
sedangkan yang kedua menyoalkan kebijakan perekonomian. Kedua hal tersebut
tentu saja penting untuk dibedah. Sejauh mana calon presiden dan calon wakil
presiden yang ada mampu menawarkan konsep yang tidak melulu me too alias copy paste saja, tapi juga memiliki terobosan baru serta harus
memenuhi dimensi pembangunan dan perbaikan sistem.
Di luar
persoalan tata kelola birokrasi dan kebijakan pembangunan ekonomi, ada satu
tema lagi yang tidak boleh luput, yakni tentang pengembangan budaya membaca
(literasi) dalam konteks desain kebijakan pendidikan di Indonesia. Bahwa
aktivitas membaca itu penting, dan perpustakaan menjadi jantung bagi
pendidikan, saya kira sudah kita ketahui bersama. Tapi, dalam kenyataannya,
masih jauh panggang dari api.
Belum
semua sekolah kita, terutama SD, memiliki perpustakaan. Kita belum memiliki
undang-undang perbukuan. Padahal draf atas UU tersebut sudah ada sejak 2006.
Melalui UU tersebut diharapkan dunia penerbitan buku di Tanah Air bisa
bertumbuh subur. Bukan apa-apa, tidak perlu jauh-jauh membandingkan-nya
dengan Jepang. Sebab, di tingkat Asia Tenggara saja, misalnya dibanding
Malaysia dan Vietnam, jumlah per kapita buku kita masih di bawah mereka. Akibatnya,
dibanding Malaysia, publikasi karya ilmiah di jurnal internasional serta
peringkat perguruan tinggi juga kalah jauh.
Dalam
kurikulum pendidikan, baik di SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi, juga
tidak ada kegiatan pembelajaran yang bersifat built-in dengan upaya mengembangkan budaya baca ini. Misalnya,
mewajibkan minimal jumlah buku yang harus sudah tamat dibaca sebagai salah
satu syarat kelulusan. Atau pada pagi hari, sebelum pelajaran dimulai, ada
waktu sekian menit yang harus digunakan para siswa dan guru untuk membaca
buku.
Maka,
jangan heran jika ternyata kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun di bidang
matematika, sains, dan membaca ketimbang anak-anak lain di dunia masih
rendah. Hasil Programme for
International Student Assessment 2012, Indonesia berada di peringkat
ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes. Indonesia hanya sedikit
lebih baik dari Peru yang berada di peringkat terbawah.
Dalam
kegaduhan tema diskusi perdebatan dan obrolan capres-cawapres, baik di
televisi maupun di media sosial, sejauh pengamatan saya persoalan literasi
ini masih dilupakan. Kurang seksi, barangkali. Padahal, ihwal literasi ini
menjadi kunci bagi upaya membangun bangsa dan negara ini. Salah satu
perangkat lunak terpenting bagi perwujudan cita-cita itu adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dan itu sangat erat kaitannya dengan sistem
pendidikan, di mana literasi menjadi salah satu titik sentralnya.
Saya
berharap persoalan pendidikan ini, terutama masalah literasi, akan menjadi
salah satu tema debat capres-cawapres. Dengan begitu, publik luas akan
semakin tahu dan dapat memperkirakan akan seperti apa kelak kondisi budaya
baca bangsa ini jika dipimpin oleh kedua kandidat capres-cawapres tersebut.
Dengan begitu, akan menjadi satu tambahan pertimbangan lagi saat memilih
salah satunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar