Radikalisme
Mengancam Umat Manusia
Pascal
s bin saju ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Juni 2014
Radikalisme
kini jadi ancaman serius umat manusia. Aksinya terbuka, kejam, dan sel-selnya
berkembang cepat. Kekejian kelompok ini cenderung di luar batas kemanusiaan,
seperti di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Negara kuat pun bisa rapuh
jika lengah mendeteksi benih radikalisme yang menjalar liar.
Sekitar
12 hari lalu kita dikejutkan oleh sepak terjang koalisi milisi garis keras
merebut sebagian besar wilayah di Irak utara. Mulai dengan merebut Mosul, ibu
kota Provinsi Nineveh. Lalu, Kamis (19/6), mereka memperebutkan kontrol atas
kilang minyak terbesar di Baiji. Jumat (20/6), mereka bertekad merebut
Diyala.
Hingga
sejauh ini, itulah puncak pencapaian sel-sel radikal, yang telah mengerucut
dalam wujud kelompok yang jauh lebih besar lagi, yang disebut milisi Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Para pejuang mereka sangat militan dan
terlatih.
Harian The Guardian mencatat, NIIS mempunyai
aset 2 miliar dollar Amerika Serikat. Dibandingkan dengan kelompok radikal
lainnya, NIIS paling kaya. Sekitar 75 persen dari kekayaan itu didapat
setelah mereka menguasai Mosul, 10 Juni.
International Business Times
menyebutkan, sebagian dana NIIS itu dijarah dari Bank Sentral Mosul sebesar
429 juta dollar. Analis regional Brown Moses, seperti dirilis Washington
Post, menulis, dari uang itu NIIS bisa merekrut dan mengupah 60.000 petempur
atau militannya dengan upah 600 dollar per bulan untuk satu tahun.
Irak,
negara besar dan berdaulat, yang dari kerajaan menjadi republik pada 14 Juli
1958, kini sedang dirongrong oleh aliansi militan pimpinan NIIS yang baru
seusia jagung.
Persatuan
nasional Irak terancam tidak saja oleh perebutan teritorial oleh NIIS, tetapi
menguatnya isu sektarian yang memecah belah Syiah dan Sunni, seperti tergelar
dalam perang saudara terburuk pada 2006 dan 2007. Fox News melaporkan, dalam melancarkan operasinya NIIS memakai
senjata, kendaraan, dan seragam tentara buatan AS.
Pemberontak garis keras
Pemerintahan
Perdana Menteri Nouri al-Maliki pun kewalahan. Dia telah meminta bantuan
serangan udara AS meski belum ditanggapi serius. Pemimpin spiritual Syiah
Irak, Ayatollah Besar Ali al-Sistani, Jumat, menyerukan persatuan nasional.
Ia meminta masyarakat Syiah dan Sunni untuk bersatu mendukung pemerintah
melawan koalisi militan NIIS.
Kelompok
ini terdiri dari dan didukung sel-sel pemberontak garis keras. Mereka
termasuk organisasi pendahulu NIIS, yakni Dewan Syura Mujahidin, Al Qaeda di
Irak (AQI), dan kelompok-kelompok kecil lainnya yang berpopulasi Sunni.
Menurut
harian The Independent, tujuan NIIS
adalah untuk mendirikan kekhalifahan di daerah mayoritas Sunni Irak dan menerapkan
penuh hukum syariah. Mereka hendak memperluasnya dengan memasukkan Suriah,
sebagai efek perang saudara di Suriah. Pada Februari 2014, Al Qaeda memutus
semua hubungan dengan NIIS karena dinilai ”terlalu ekstrem” setelah lama
sebagai sayap Al Qaeda.
NIIS
terkenal sadis ketika bertempur di Suriah. Mereka membunuh atau membantai
dengan cara-cara keji melampaui rasa kemanusiaan. Tindakan yang sama kini
mereka lakukan terhadap pasukan Irak, warga, ulama, atau tokoh masyarakat
tertentu. Tujuh hari lalu, mereka mengeksekusi 12 ulama di Mosul. Selain itu,
mereka juga mengeksekusi 170 tentara Irak.
Invasi
militer AS ke Irak selama hampir satu dekade sejak 19 Maret 2003, dengan
sandi Operasi Pembebasan Irak, ternyata tidak banyak berpengaruh bagi
penguatan negara itu. Setelah AS menarik pasukannya pada Desember 2011, Irak
kembali membara dan tentaranya belum benar-benar mampu.
Jika
kita mengikuti krisis Irak, lalu Suriah, NIIS mulai muncul dengan sebuah
pasukan petempur tangguh sejak dua tahun lalu. Didahului oleh keterlibatan
AQI atau Negara Islam Irak untuk mendukung oposisi Suriah, termasuk Al Nusra,
memerangi pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Bersama
Al Nusra, NIIS bertindak amat brutal ketika mengeksekusi ratusan warga sipil
di Aleppo, Homs, dan Damaskus di Suriah. Belakangan, militan Irak dan Suriah
bersatu dan memproklamirkan wilayah NIIS pada Januari 2014.
Menurut Washington Post, selain melancarkan
teror, NIIS juga mengklaim wilayah dari selatan Turki melewati Suriah ke
Mesir, termasuk Lebanon, Israel, Palestina, dan Jordania. Tujuan mereka
adalah mendirikan negara Islam di seluruh daerah itu.
Mesin pembunuh
Tindakan
sadis terhadap musuh juga dianut kelompok radikal lainnya, seperti Boko Haram
di Nigeria, Al-Shabab di Somalia, Al Qaeda di Afrika Utara (AQIM), Al Qaeda
di Semenanjung Arab (AQAP), bahkan Ansar Dine di Mali, serta Taliban di Asia
Selatan. Namun, di antara mereka, Boko Haram dikenal lebih brutal lagi.
Semuanya berpayung pada Al Qaeda.
Sejak
dipimpin Abubakar Shekau pada 2009, Boko Haram berubah jadi mesin pembunuh.
Lebih dari 5.000 orang tewas di tangan mereka. Tak hanya menarget kelompok
tertentu, Muslim yang berseberangan dengan sepak terjang Boko Haram juga
dijadikan musuh dan dibantai.
Radikalisme
mengancam stabilitas, melemahkan, dan menyebabkan disintegrasi negara.
Pemerintahan yang lemah, yang tak didukung aparatur keamanan dan intelijen
yang kuat, cenderung jadi lahan subur bagi kelompok ini.
Al-Shabab
membuat Somalia menjadi negara gagal. Pemerintah Nigeria yang lemah dan
sektarianis menjadi lahan subur Boko Haram. Padahal, Nigeria pernah menjadi
model ekonomi dan demokrasi bagi Afrika dan khususnya di kawasan Afrika
Barat. Taliban juga telah merongrong Afganistan dan Pakistan di Asia Selatan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar