Selasa, 24 Juni 2014

Radikalisme Mengancam Umat Manusia

Radikalisme Mengancam Umat Manusia

Pascal s bin saju  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 22 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Radikalisme kini jadi ancaman serius umat manusia. Aksinya terbuka, kejam, dan sel-selnya berkembang cepat. Kekejian kelompok ini cenderung di luar batas kemanusiaan, seperti di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Negara kuat pun bisa rapuh jika lengah mendeteksi benih radikalisme yang menjalar liar.
Sekitar 12 hari lalu kita dikejutkan oleh sepak terjang koalisi milisi garis keras merebut sebagian besar wilayah di Irak utara. Mulai dengan merebut Mosul, ibu kota Provinsi Nineveh. Lalu, Kamis (19/6), mereka memperebutkan kontrol atas kilang minyak terbesar di Baiji. Jumat (20/6), mereka bertekad merebut Diyala.

Hingga sejauh ini, itulah puncak pencapaian sel-sel radikal, yang telah mengerucut dalam wujud kelompok yang jauh lebih besar lagi, yang disebut milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Para pejuang mereka sangat militan dan terlatih.

Harian The Guardian mencatat, NIIS mempunyai aset 2 miliar dollar Amerika Serikat. Dibandingkan dengan kelompok radikal lainnya, NIIS paling kaya. Sekitar 75 persen dari kekayaan itu didapat setelah mereka menguasai Mosul, 10 Juni.

International Business Times menyebutkan, sebagian dana NIIS itu dijarah dari Bank Sentral Mosul sebesar 429 juta dollar. Analis regional Brown Moses, seperti dirilis Washington Post, menulis, dari uang itu NIIS bisa merekrut dan mengupah 60.000 petempur atau militannya dengan upah 600 dollar per bulan untuk satu tahun.

Irak, negara besar dan berdaulat, yang dari kerajaan menjadi republik pada 14 Juli 1958, kini sedang dirongrong oleh aliansi militan pimpinan NIIS yang baru seusia jagung.

Persatuan nasional Irak terancam tidak saja oleh perebutan teritorial oleh NIIS, tetapi menguatnya isu sektarian yang memecah belah Syiah dan Sunni, seperti tergelar dalam perang saudara terburuk pada 2006 dan 2007. Fox News melaporkan, dalam melancarkan operasinya NIIS memakai senjata, kendaraan, dan seragam tentara buatan AS.

Pemberontak garis keras

Pemerintahan Perdana Menteri Nouri al-Maliki pun kewalahan. Dia telah meminta bantuan serangan udara AS meski belum ditanggapi serius. Pemimpin spiritual Syiah Irak, Ayatollah Besar Ali al-Sistani, Jumat, menyerukan persatuan nasional. Ia meminta masyarakat Syiah dan Sunni untuk bersatu mendukung pemerintah melawan koalisi militan NIIS.

Kelompok ini terdiri dari dan didukung sel-sel pemberontak garis keras. Mereka termasuk organisasi pendahulu NIIS, yakni Dewan Syura Mujahidin, Al Qaeda di Irak (AQI), dan kelompok-kelompok kecil lainnya yang berpopulasi Sunni.

Menurut harian The Independent, tujuan NIIS adalah untuk mendirikan kekhalifahan di daerah mayoritas Sunni Irak dan menerapkan penuh hukum syariah. Mereka hendak memperluasnya dengan memasukkan Suriah, sebagai efek perang saudara di Suriah. Pada Februari 2014, Al Qaeda memutus semua hubungan dengan NIIS karena dinilai ”terlalu ekstrem” setelah lama sebagai sayap Al Qaeda.

NIIS terkenal sadis ketika bertempur di Suriah. Mereka membunuh atau membantai dengan cara-cara keji melampaui rasa kemanusiaan. Tindakan yang sama kini mereka lakukan terhadap pasukan Irak, warga, ulama, atau tokoh masyarakat tertentu. Tujuh hari lalu, mereka mengeksekusi 12 ulama di Mosul. Selain itu, mereka juga mengeksekusi 170 tentara Irak.

Invasi militer AS ke Irak selama hampir satu dekade sejak 19 Maret 2003, dengan sandi Operasi Pembebasan Irak, ternyata tidak banyak berpengaruh bagi penguatan negara itu. Setelah AS menarik pasukannya pada Desember 2011, Irak kembali membara dan tentaranya belum benar-benar mampu.

Jika kita mengikuti krisis Irak, lalu Suriah, NIIS mulai muncul dengan sebuah pasukan petempur tangguh sejak dua tahun lalu. Didahului oleh keterlibatan AQI atau Negara Islam Irak untuk mendukung oposisi Suriah, termasuk Al Nusra, memerangi pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Bersama Al Nusra, NIIS bertindak amat brutal ketika mengeksekusi ratusan warga sipil di Aleppo, Homs, dan Damaskus di Suriah. Belakangan, militan Irak dan Suriah bersatu dan memproklamirkan wilayah NIIS pada Januari 2014.

Menurut Washington Post, selain melancarkan teror, NIIS juga mengklaim wilayah dari selatan Turki melewati Suriah ke Mesir, termasuk Lebanon, Israel, Palestina, dan Jordania. Tujuan mereka adalah mendirikan negara Islam di seluruh daerah itu.

Mesin pembunuh

Tindakan sadis terhadap musuh juga dianut kelompok radikal lainnya, seperti Boko Haram di Nigeria, Al-Shabab di Somalia, Al Qaeda di Afrika Utara (AQIM), Al Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP), bahkan Ansar Dine di Mali, serta Taliban di Asia Selatan. Namun, di antara mereka, Boko Haram dikenal lebih brutal lagi. Semuanya berpayung pada Al Qaeda.

Sejak dipimpin Abubakar Shekau pada 2009, Boko Haram berubah jadi mesin pembunuh. Lebih dari 5.000 orang tewas di tangan mereka. Tak hanya menarget kelompok tertentu, Muslim yang berseberangan dengan sepak terjang Boko Haram juga dijadikan musuh dan dibantai.

Radikalisme mengancam stabilitas, melemahkan, dan menyebabkan disintegrasi negara. Pemerintahan yang lemah, yang tak didukung aparatur keamanan dan intelijen yang kuat, cenderung jadi lahan subur bagi kelompok ini.

Al-Shabab membuat Somalia menjadi negara gagal. Pemerintah Nigeria yang lemah dan sektarianis menjadi lahan subur Boko Haram. Padahal, Nigeria pernah menjadi model ekonomi dan demokrasi bagi Afrika dan khususnya di kawasan Afrika Barat. Taliban juga telah merongrong Afganistan dan Pakistan di Asia Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar