Selasa, 24 Juni 2014

P3K

P3K

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 22 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pertolongan Pertama Pada Kehidupan. Itulah kepanjangan dari judul di atas. Judul itu langsung menyergap kepala untuk sebuah tulisan yang idenya datang dari sebuah pertanyaan di pagi hari. Siapakah yang akan menolongmu ketika kesusahan datang dan mengetok di pintu hidupmu?

Pengekangan

Saya jawab secepat kilat. Saya sendiri. Siapa lagi? Orangtua sudah game over. Kakak adik? Terlalu jauh diharapkan untuk menolong. Teman? Ahh..., teman. Saudara dari pihak orang tua? Keponakan? Sepupu? Itu apalagi.

Bukanlah salah mereka, itu salah saya juga. Selama ini saya tak terlalu dekat dengan mereka. La wong sejujurnya saya sendiri tak tahu dengan benar silsilah keluarga. Sudah diberi tahu berkali-kali, yaa..., berkali-kali tak mengendap di dalam ingatan.

Pacar? Saya belum dikaruniai berkah memiliki pacar. Setelah setengah abad sendirian, saya berpendapat, memiliki pacar itu tampaknya bukan semata-mata hanya usaha duniawi, melainkan juga urusan surgawi.

Suatu hari saya bersama seorang teman datang ke seorang cenayang. Singkat cerita, ibu cenayang mengatakan kepada teman saya bahwa tahun ini ia akan mendapat pasangan hidup seorang duda. Dan ketika giliran kartu saya dibacakan, ia hanya bicara singkat. ”Kamu tanya Tuhan saja.”

Mau kesal, mau merasa begitu kesepian, saya toh tak bisa menelepon Tuhan dan menanyakan mengapa sampai setengah abad ini, satu kali pun pengalaman asmara tak pernah datang dalam hidup saya.

Apalagi saya diingatkan seorang teman yang dengan rajin setiap pagi mengirimkan pesan surgawi bahwa Tuhan itu tak pernah berutang penjelasan kepada saya. Ahh..., saya kecewanya setengah mati membaca pesan itu. Tapi apa boleh buat. Tuhan memang bisa dan berhak melakukan apa pun. Saya hanya dituntut untuk manut. Meski sejujurnya, saya ini susah sekali manut, apalagi untuk hal-hal yang saya merasa bahwa itu tidak adil.

Tidak adil itu maksud saya begini. Kalau orang lain boleh punya pacar, kok saya enggak. La wong orang lain sakit saja, saya jauh lebih sakit. Orang lain dihina, saya jauh lebih dihina, berpuluh tahun bahkan. Orang lain bodoh, saya jauh lebih bodoh.

Pembebasan

Orang lain kesepian, saya sudah lama sekali kesepian. Orang lain pernah meregang nyawa, saya juga sudah pernah. Regang banget bahkan. Orang lain jadi yatim piatu, saya juga. Nah orang lain bisa tampan, pandai, kaya, kenapa saya tidak? Hati nurani saya tumben-tumbennya membela saya. Pembelaannya berbunyi seperti ini. ”Mbok gantian.”

Anda mungkin merasa saya tidak bersyukur, itu hak Anda sepenuhnya. Kan, manusia memang bisa jadi malaikat sekaligus hakim agung, bukan? Itu sangat normal, makanya disebut manusia. Saya juga gitu, kok.

Sampai di awal tahun ini saya menerapi kelelahan dengan bergantung dengan teman-teman saya. Saya berharap mereka menolong saya. Ada yang bisa, ada yang tak bisa. Ada yang mau, ada yang tidak mau.

Maka dengan baru beberapa bulan ini, saya mulai melakukan praktik langsung menolong diri sendiri. Beratnya setengah mati. Saya belum dapat menjelaskan bahwa saya sudah mampu menolong diri sendiri, tetapi meski baru beberapa bulan terjadi, saya cukup menikmati perubahan itu.

Bisa makan sendiri ketika sejujurnya keinginan saya untuk ditemani seseorang. Pertama kali berkomentar enak atau tidak hanya dengan diri sendiri, alias bicara dalam hati. Saya menikmati menyaksikan pertunjukan apa pun tanpa harus berkompromi dengan orang lain, baik soal waktu, baik soal apa yang mau disaksikan.

Saya bisa memutuskan pergi berlibur dengan teman yang ini dan bukan teman yang itu, tanpa lagi memedulikan apakah ada yang tersinggung. Dengan menolong diri sendiri, saya mengerti apa arti teman, sahabat, dan musuh dalam selimut.

Saya cukup bisa menguasai diri sendiri ketika berhadapan dengan klien yang datang ke sebuah rapat dengan muka tak bersahabat, penuh penilaian, dan kecurangan. Menolong diri sendiri itu adalah kemampuan saya tidak dipengaruhi dengan perilaku yang demikian itu dan fokus pada tujuan rapat.

Menolong diri sendiri itu hanya punya satu obyektif. Membahagiakan bukan untuk malah menyengsarakan. Dan dalam beberapa bulan setelah saya mencoba, menolong diri sendiri hanya membutuhkan satu modal, keberanian. Terutama melawan ketakutan diri sendiri.

Dan kesenangan tertinggi dari menolong diri sendiri adalah merasakan untuk pertama kalinya, saya mampu memberi kebebasan dan penghormatan kepada orang lain untuk memilih tersinggung atau tidak, tanpa saya harus memberi penjelasan apa pun.

Menolong diri sendiri itu ternyata memberi kesempatan orang lain untuk membebaskan saya dari keterkungkungan sebuah persaudaraan, pertemanan, atau apa pun itu. Seharusnya saya juga menghormati, bukan malah berisik di belakangnya, ketika orang berani dan sedang menikmati kenaikan kelas dari yang bergantung menjadi tidak bergantung.

Dari yang terkekang menjadi tidak terkekang. Dari yang gamang berdiri di kaki sendiri, sekarang berdiri di kakinya meski masih gemeteran dan akan menjadi kuat setelahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar