P3K
Samuel
Mulia ; Penulis Mode dan Gaya
Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
22 Juni 2014
Pertolongan
Pertama Pada Kehidupan. Itulah kepanjangan dari judul di atas. Judul itu
langsung menyergap kepala untuk sebuah tulisan yang idenya datang dari sebuah
pertanyaan di pagi hari. Siapakah yang akan menolongmu ketika kesusahan
datang dan mengetok di pintu hidupmu?
Pengekangan
Saya
jawab secepat kilat. Saya sendiri. Siapa lagi? Orangtua sudah game over.
Kakak adik? Terlalu jauh diharapkan untuk menolong. Teman? Ahh..., teman.
Saudara dari pihak orang tua? Keponakan? Sepupu? Itu apalagi.
Bukanlah
salah mereka, itu salah saya juga. Selama ini saya tak terlalu dekat dengan
mereka. La wong sejujurnya saya
sendiri tak tahu dengan benar silsilah keluarga. Sudah diberi tahu
berkali-kali, yaa..., berkali-kali tak mengendap di dalam ingatan.
Pacar?
Saya belum dikaruniai berkah memiliki pacar. Setelah setengah abad sendirian,
saya berpendapat, memiliki pacar itu tampaknya bukan semata-mata hanya usaha
duniawi, melainkan juga urusan surgawi.
Suatu
hari saya bersama seorang teman datang ke seorang cenayang. Singkat cerita,
ibu cenayang mengatakan kepada teman saya bahwa tahun ini ia akan mendapat
pasangan hidup seorang duda. Dan ketika giliran kartu saya dibacakan, ia
hanya bicara singkat. ”Kamu tanya Tuhan
saja.”
Mau
kesal, mau merasa begitu kesepian, saya toh tak bisa menelepon Tuhan dan
menanyakan mengapa sampai setengah abad ini, satu kali pun pengalaman asmara
tak pernah datang dalam hidup saya.
Apalagi
saya diingatkan seorang teman yang dengan rajin setiap pagi mengirimkan pesan
surgawi bahwa Tuhan itu tak pernah berutang penjelasan kepada saya. Ahh..., saya kecewanya setengah mati
membaca pesan itu. Tapi apa boleh buat. Tuhan memang bisa dan berhak
melakukan apa pun. Saya hanya dituntut untuk manut. Meski sejujurnya, saya
ini susah sekali manut, apalagi untuk hal-hal yang saya merasa bahwa itu
tidak adil.
Tidak
adil itu maksud saya begini. Kalau orang lain boleh punya pacar, kok saya
enggak. La wong orang lain sakit
saja, saya jauh lebih sakit. Orang lain dihina, saya jauh lebih dihina,
berpuluh tahun bahkan. Orang lain bodoh, saya jauh lebih bodoh.
Pembebasan
Orang
lain kesepian, saya sudah lama sekali kesepian. Orang lain pernah meregang
nyawa, saya juga sudah pernah. Regang banget bahkan. Orang lain jadi yatim
piatu, saya juga. Nah orang lain bisa tampan, pandai, kaya, kenapa saya
tidak? Hati nurani saya tumben-tumbennya membela saya. Pembelaannya berbunyi
seperti ini. ”Mbok gantian.”
Anda
mungkin merasa saya tidak bersyukur, itu hak Anda sepenuhnya. Kan, manusia
memang bisa jadi malaikat sekaligus hakim agung, bukan? Itu sangat normal,
makanya disebut manusia. Saya juga gitu, kok.
Sampai
di awal tahun ini saya menerapi kelelahan dengan bergantung dengan
teman-teman saya. Saya berharap mereka menolong saya. Ada yang bisa, ada yang
tak bisa. Ada yang mau, ada yang tidak mau.
Maka
dengan baru beberapa bulan ini, saya mulai melakukan praktik langsung
menolong diri sendiri. Beratnya setengah mati. Saya belum dapat menjelaskan
bahwa saya sudah mampu menolong diri sendiri, tetapi meski baru beberapa
bulan terjadi, saya cukup menikmati perubahan itu.
Bisa makan
sendiri ketika sejujurnya keinginan saya untuk ditemani seseorang. Pertama
kali berkomentar enak atau tidak hanya dengan diri sendiri, alias bicara
dalam hati. Saya menikmati menyaksikan pertunjukan apa pun tanpa harus
berkompromi dengan orang lain, baik soal waktu, baik soal apa yang mau
disaksikan.
Saya
bisa memutuskan pergi berlibur dengan teman yang ini dan bukan teman yang
itu, tanpa lagi memedulikan apakah ada yang tersinggung. Dengan menolong diri
sendiri, saya mengerti apa arti teman, sahabat, dan musuh dalam selimut.
Saya
cukup bisa menguasai diri sendiri ketika berhadapan dengan klien yang datang
ke sebuah rapat dengan muka tak bersahabat, penuh penilaian, dan kecurangan.
Menolong diri sendiri itu adalah kemampuan saya tidak dipengaruhi dengan
perilaku yang demikian itu dan fokus pada tujuan rapat.
Menolong
diri sendiri itu hanya punya satu obyektif. Membahagiakan bukan untuk malah
menyengsarakan. Dan dalam beberapa bulan setelah saya mencoba, menolong diri
sendiri hanya membutuhkan satu modal, keberanian. Terutama melawan ketakutan
diri sendiri.
Dan
kesenangan tertinggi dari menolong diri sendiri adalah merasakan untuk
pertama kalinya, saya mampu memberi kebebasan dan penghormatan kepada orang
lain untuk memilih tersinggung atau tidak, tanpa saya harus memberi
penjelasan apa pun.
Menolong
diri sendiri itu ternyata memberi kesempatan orang lain untuk membebaskan
saya dari keterkungkungan sebuah persaudaraan, pertemanan, atau apa pun itu.
Seharusnya saya juga menghormati, bukan malah berisik di belakangnya, ketika
orang berani dan sedang menikmati kenaikan kelas dari yang bergantung menjadi
tidak bergantung.
Dari
yang terkekang menjadi tidak terkekang. Dari yang gamang berdiri di kaki
sendiri, sekarang berdiri di kakinya meski masih gemeteran dan akan menjadi
kuat setelahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar