Janji
Kesejahteraan untuk Rakyat
Frans
H Winarta ; Ketua Umum Peradin;
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapa
|
KOMPAS,
23 Juni 2014
PESTA demokrasi pemilihan
presiden akan segera berlangsung. Namun, sulit untuk dipercaya bahwa pilpres
yang akan datang dapat memunculkan suatu pemerintahan yang kuat, berdaulat,
demokratis, anti korupsi, pro rule of
law, dan pro rakyat jika melihat situasi dan kondisi saat ini.
Dalam masa jabatan lima tahun ke
depan, presiden-wakil presiden terpilih harus menawarkan program komprehensif
mengenai reformasi hukum nasional, antara lain mengenai program legislasi,
penegakan hukum, reformasi agraria, pendidikan gratis berkelanjutan, sekolah
menengah atas, dan program kependudukan.
Mayoritas rakyat Indonesia saat
ini masih terfokus kepada bidang agraria, sehingga para petani penggarap
tanah kurang dari 0,5 hektar pun harus dijamin kesejahteraannya. Yang paling
utama adalah reformasi hukum nasional, agar ke depan pemerintahan Indonesia
dapat mewujudkan cita-cita Republik Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dengan politik hukum yang
jelas dan terarah.
Hukum komprehensif
Belum adanya program dalam
bidang hukum yang komprehensif saat ini sangat mencemaskan karena
ingar-bingar koalisi lebih berkonsentrasi pada perebutan kekuasaan sehingga
transaksi politik di atas kepentingan bangsa dan negara. Prihatin rasanya
melihat para politisi sekarang yang akan memimpin bangsa karena perilakunya
tidak jujur dan haus kekuasaan.
Siapa bisa percaya pada elite
politik bila mereka yang kalah dalam pemilu legislatif dan memperoleh
persentase kurang dari 10 persen, dengan berbagai cara, merapat ke partai
pemenang pemilu legislatif untuk ”berbagi
kekuasaan”.
Muncullah para ”politisi kutu loncat”, bahkan di
antaranya ada yang secara terang-terangan mengaku bergabung karena platform
yang sama.
Ada suatu pepatah Romawi yang
sangat terkenal tentang betapa pentingnya hukum dalam kehidupan manusia,
yaitu Ubi societas ibi ius, yang
berarti ’ada masyarakat ada hukum’.
Dapatkah program-program
pembangunan nasional berjalan tanpa adanya program reformasi hukum nasional?
Sulit kiranya hal tersebut terwujud jika program reformasi hukum nasional
yang komprehensif absen dari visi, misi, dan program kerja presiden dan
kabinetnya.
Selain itu, adalah suatu fakta
yang tidak terbantahkan (notoire feiten)
bahwa negara- negara maju di dunia, baik di dunia Barat maupun Timur, menjadi
bangsa dan negara yang kuat dan berdaulat karena mereka mempunyai rencana
pembangunan nasional yang komprehensif dan mencakup berbagai bidang kehidupan
dengan didukung program legislasi, reformasi, dan penegakan hukum yang mantap
dan konsisten dilaksanakan.
Kenyataannya, isu pemberantasan
korupsi yang sudah merupakan isu sentral sejak era reformasi dideklarasikan
pada 1998, demikian pula isu pengentasan rakyat dari kemiskinan yang menghantui
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia, tidak tuntas ditangani. Upaya
mengurangi tingkat pengangguran ternyata belum berhasil secara signifikan.
Bagaimana keluar dari semua dilema ini?
Bangun pendidikan
Dalam membangun bangsa yang kuat
dan mandiri mutlak diperlukan sistem pendidikan yang modern, berstandar
tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman memasuki era globalisasi, biaya
pendidikan yang gratis sampai sekolah menengah, dan selanjutnya terjangkau
rakyat.
Apakah ke depan ekonomi nasional
akan ditata menurut Pasal 33 UUD 1945 yang bunyinya kurang lebih adalah ”Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Demikian pula dengan
perekonomian nasional yang harus diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Di balik janji ”ekonomi kerakyatan” dan ”revolusi mental”, apakah semua itu
akan didukung sistem hukum yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan
adagium hukum yang tertinggi adalah suara rakyat (salus populi suprema lex)? Semoga rakyat Indonesia cukup cerdas
dan bijak untuk memercayai dan memilih mana janji yang jujur dan benar dan
mana yang palsu atau tidak benar.
Sebagai seorang yuris, penulis
merasa galau dengan perilaku para ”politisi
kutu loncat” dan janji-janji yang sulit untuk diwujudkan. Ini masih
ditambah dengan absennya reformasi hukum nasional dan rencana pembangunan
nasional yang berkepribadian Indonesia seperti yang terjadi saat ini.
Saat ini, hingga Pilpres 9 Juli
2014, bangsa Indonesia terpecah dua sebagai konsekuensi negara yang
berdemokrasi.
Semoga, seusai Pilpres 9 Juli
2014, bangsa Indonesia akan bersatu kembali untuk membangun bangsa dan negara
bersama siapa pun pemenang pilpres. Sebagaimana bunyi syair lagu kebangsaan
kita: ”Bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya, untuk Indonesia Raya… Indonesia Raya.. Merdeka! Merdeka! Hiduplah
Indonesia Raya!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar