Senin, 23 Juni 2014

Ayo Kembali ke Barak

Ayo Kembali ke Barak

Ardi Winangun  ;   Pernah Bekerja di Civil-Militery Relations Studies
HALUAN, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kembali ke barak merupakan tuntutan yang ditujukan kepada ABRI (TNI/Polri) pada masa reformasi tahun 1998. Tuntutan seperti itu saat ini perlu digaungkan kembali sebab di tengah suasana menjelang Pemilu Presiden 2014, suasana emosional serta godaan kekuasaan tidak hanya menggoda tokoh masyarakat, ulama, profesor, pengamat politik, tetapi juga para jenderal TNI dan Polisi untuk dukung mendukung pada salah satu pasangan calon Presiden.

Mengembalikan TNI ke barak dan memulangkan polisi ke tangsi, buah dari reformasi, sebenarnya sudah tertuang dalam UU. No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI dan UU. No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Dengan undang-undang itu maka kebiasaan-kebiasaan lama mereka, yakni melakukan dwi fungsi ABRI, ABRI sebagai kekuatan pertahanan, keamanan, serta kekuatan politik dihapuskan.

Dengan adanya undang-undang itu, diharapkan tentara dan polisi lebih profesional dalam bertugas. Tak hanya itu, masyarakat mendesak mereka kembali ke barak dan tangsi sebab ketika mereka menjadi bagian dari kekuasaan, ternyata pemerintahan yang berjalan adalah pemerintahan yang otoriter, diktator, dan membelenggu kebebasan. Meski sudah amanat UU. No. 34 Tahun 2004 dan UU. No. 2 Tahun 2002 namun calon Presiden tetap saja berusaha merayu para jenderal TNI dan polisi. Bila Susilo Bambang Yudhyono sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi TNI tidak mengingatkan bahaya itu, bisa saja rayuan itu membuat para jenderal TNI dan polisi terlena.

Mengapa para calon Presiden menginginkan TNI dan polisi menjadi bagian tim sukses pemenangan? Ala­sannya. Pertama, TNI dan polisi mempunyai jaringan hingga tingkat paling bawah. Di desa ada babinsa dan babinkamtibmas. Jaringan itu bila digunakan akan sangat efektif. Tempat-tempat yang tidak terjangkau akan bisa dikelola bila menggunakan jaringan TNI dan polisi. Tugas mereka tentu melaksanakan operasi intelijen untuk menyuplai data kekuatan serta mempengaruhi massa untuk memilih salah satu calon Presiden.

Kedua, kekuasaan di negara-negara Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin, tidak hanya membutuhkan dukungan suara dalam pemilu namun juga dukungan senjata. Kepala pemerintah membutuhkan dukungan tentara sebab merekalah yang akan mengamankan kekuasaan dengan kekuatan fisik dan peluru dari massifnya kaum oposisi dan demonstran. Tak hanya itu, untuk mengan­tisipasi agar tentara tidak mengkudeta maka mereka oleh kepala pemerintahan diajak menjadi bagian dari kekuasaan.   Lalu mengapa tentara bisa tergoda dengan rayuan para politisi meski sudah ada rambu-rambu larangan untuk berpolitik? Ada beberapa penyebab yang membuat para jenderal TNI dan polisi tergoda.      

(a). Mereka manusia biasa juga juga memiliki rasa emosi, empati, dan simpati. Perasaan inilah yang saat ini meledak-ledak di seluruh jiwa rakyat Indonesia tak terkecuali para tentara dan polisi. Perasaan itu bisa muncul dengan sendirinya, bisa pula dikilik-kilik oleh seniornya. Para senior mereka yang jumlahnya banyak dan tersebar pada kedua kubu tentu akan terjun kepada juniornya, entah langsung ke markas atau di tempat lain, entah secara terbuka atau diam-diam, membisiki janji sesuatu yang menyenangkan, harta dan tahta.

(b). TNI dan polisi bisa tergoda dengan rayuan para calon Presiden bisa jadi nasib mereka tidak ada yang mem­perhatikan sehingga agar nasib mereka menjadi lebih baik maka mereka harus menjadi bagian kekuasaan. Selama ini, khususnya TNI dihadapkan dengan belum memadainya alutsista, sementara mereka dituntut untuk lebih profesional dalam menjaga pertahanan khususnya di wilayah-wilayah perbatasan.

Banyak jenderal menilai anggota DPR dan pemerintah tidak paham dengan kebutuhan TNI sehingga anggota DPR dan pemerintah minim dalam mengucurkan anggaran kepada TNI. Anggaran yang demikian tentu membuat TNI tidak merasa nyaman ketika harus melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk itu para jenderal beranggapan mereka harus masuk dalam kekuasaan agar keberadaan TNI lebih diperhatikan dan anggaran yang dibutuhkan oleh TNI bisa lebih maksimal diguyurkan oleh pemerintah.

(c). TNI tergoda dalam kekuasaan sebab sekarang ada trend di beberapa negara di mana tentara merebut kekuasaan, entah lewat pemilu atau kudeta. Di Mesir, Jenderal Abdel Fattah Al Sisi, menjadi Presiden setelah mengkudeta Presi­den Mursyi. Kekuasaan Al Sisi dikukuhkan lewat pemilu. Demikian pula, Jenderal Prayut Chan Ocha mengendalikan pemerintahan di Thailand setelah mendepak Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.

Menyikapi adanya para jenderal TNI dan polisi yang masih aktif menjadi bagian tim sukses salah satu calon Presiden tentu mengingkari semangat reformasi dan adanya pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur tugas dan fungsi TNI dan polisi. Untuk itu semua harus menegaskan bahwa TNI harus kembali ke barak dan polisi bertugas sesuai dengan fungsinya. Bila mereka hendak berpolitik, ya harus mengundurkan diri dari dinasnya.

Meski demikian kita harus menyadari bahwa TNI dan polisi adalah bagian dari instrumen pemerintahan. Kita menyadari TNI dan polisi tidak mempunyai hak suara dan berpolitik namun nasib dan kebutuhan mereka harus diperhatikan. Sudah sejahterakah mereka, sudah terpenuhikah alutsista yang diinginkan? Itu yang juga harus menjadi bagian perhatian dari Presiden terpilih. Bila tidak diperhatikan, mereka akan tergoda kepada hal-hal yang sifatnya melanggar aturan.   Dan yang lebih penting lagi TNI jangan mempunyai bayangan selepas pilpres, Indonesia akan seperti Thailand dan Mesir sehingga TNI harus melakukan tindakan-tindakan yang tak semestinya. Kita harus percaya kepada rakyat Indonesia dan para calon Presiden bahwa mereka tidak akan terpecah belah hanya gara-gara kalah dalam pilpres. Jadi TNI harus benar-benar kembali ke barak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar