Ayo
Kembali ke Barak
Ardi
Winangun ; Pernah Bekerja di Civil-Militery Relations Studies
|
HALUAN,
21 Juni 2014
Kembali
ke barak merupakan tuntutan yang ditujukan kepada ABRI (TNI/Polri) pada masa
reformasi tahun 1998. Tuntutan seperti itu saat ini perlu digaungkan kembali
sebab di tengah suasana menjelang Pemilu Presiden 2014, suasana emosional
serta godaan kekuasaan tidak hanya menggoda tokoh masyarakat, ulama,
profesor, pengamat politik, tetapi juga para jenderal TNI dan Polisi untuk
dukung mendukung pada salah satu pasangan calon Presiden.
Mengembalikan
TNI ke barak dan memulangkan polisi ke tangsi, buah dari reformasi,
sebenarnya sudah tertuang dalam UU. No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI dan UU. No.
2 Tahun 2002 Tentang Polri. Dengan undang-undang itu maka kebiasaan-kebiasaan
lama mereka, yakni melakukan dwi fungsi ABRI, ABRI sebagai kekuatan
pertahanan, keamanan, serta kekuatan politik dihapuskan.
Dengan
adanya undang-undang itu, diharapkan tentara dan polisi lebih profesional
dalam bertugas. Tak hanya itu, masyarakat mendesak mereka kembali ke barak
dan tangsi sebab ketika mereka menjadi bagian dari kekuasaan, ternyata
pemerintahan yang berjalan adalah pemerintahan yang otoriter, diktator, dan
membelenggu kebebasan. Meski sudah amanat UU. No. 34 Tahun 2004 dan UU. No. 2
Tahun 2002 namun calon Presiden tetap saja berusaha merayu para jenderal TNI
dan polisi. Bila Susilo Bambang Yudhyono sebagai Presiden dan Panglima
Tertinggi TNI tidak mengingatkan bahaya itu, bisa saja rayuan itu membuat
para jenderal TNI dan polisi terlena.
Mengapa
para calon Presiden menginginkan TNI dan polisi menjadi bagian tim sukses
pemenangan? Alasannya. Pertama, TNI dan polisi mempunyai jaringan hingga
tingkat paling bawah. Di desa ada babinsa dan babinkamtibmas. Jaringan itu
bila digunakan akan sangat efektif. Tempat-tempat yang tidak terjangkau akan
bisa dikelola bila menggunakan jaringan TNI dan polisi. Tugas mereka tentu
melaksanakan operasi intelijen untuk menyuplai data kekuatan serta
mempengaruhi massa untuk memilih salah satu calon Presiden.
Kedua,
kekuasaan di negara-negara Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin,
tidak hanya membutuhkan dukungan suara dalam pemilu namun juga dukungan senjata.
Kepala pemerintah membutuhkan dukungan tentara sebab merekalah yang akan
mengamankan kekuasaan dengan kekuatan fisik dan peluru dari massifnya kaum
oposisi dan demonstran. Tak hanya itu, untuk mengantisipasi agar tentara
tidak mengkudeta maka mereka oleh kepala pemerintahan diajak menjadi bagian
dari kekuasaan. Lalu mengapa tentara
bisa tergoda dengan rayuan para politisi meski sudah ada rambu-rambu larangan
untuk berpolitik? Ada beberapa penyebab yang membuat para jenderal TNI dan
polisi tergoda.
(a).
Mereka manusia biasa juga juga memiliki rasa emosi, empati, dan simpati.
Perasaan inilah yang saat ini meledak-ledak di seluruh jiwa rakyat Indonesia
tak terkecuali para tentara dan polisi. Perasaan itu bisa muncul dengan sendirinya,
bisa pula dikilik-kilik oleh seniornya. Para senior mereka yang jumlahnya banyak
dan tersebar pada kedua kubu tentu akan terjun kepada juniornya, entah
langsung ke markas atau di tempat lain, entah secara terbuka atau diam-diam,
membisiki janji sesuatu yang menyenangkan, harta dan tahta.
(b). TNI
dan polisi bisa tergoda dengan rayuan para calon Presiden bisa jadi nasib
mereka tidak ada yang memperhatikan sehingga agar nasib mereka menjadi lebih
baik maka mereka harus menjadi bagian kekuasaan. Selama ini, khususnya TNI
dihadapkan dengan belum memadainya alutsista, sementara mereka dituntut untuk
lebih profesional dalam menjaga pertahanan khususnya di wilayah-wilayah
perbatasan.
Banyak
jenderal menilai anggota DPR dan pemerintah tidak paham dengan kebutuhan TNI
sehingga anggota DPR dan pemerintah minim dalam mengucurkan anggaran kepada
TNI. Anggaran yang demikian tentu membuat TNI tidak merasa nyaman ketika
harus melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk itu para jenderal beranggapan mereka
harus masuk dalam kekuasaan agar keberadaan TNI lebih diperhatikan dan
anggaran yang dibutuhkan oleh TNI bisa lebih maksimal diguyurkan oleh
pemerintah.
(c). TNI
tergoda dalam kekuasaan sebab sekarang ada trend di beberapa negara di mana tentara merebut kekuasaan, entah
lewat pemilu atau kudeta. Di Mesir, Jenderal Abdel Fattah Al Sisi, menjadi
Presiden setelah mengkudeta Presiden Mursyi. Kekuasaan Al Sisi dikukuhkan
lewat pemilu. Demikian pula, Jenderal Prayut Chan Ocha mengendalikan
pemerintahan di Thailand setelah mendepak Perdana Menteri Yingluck
Shinawatra.
Menyikapi
adanya para jenderal TNI dan polisi yang masih aktif menjadi bagian tim
sukses salah satu calon Presiden tentu mengingkari semangat reformasi dan
adanya pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur tugas dan fungsi TNI
dan polisi. Untuk itu semua harus menegaskan bahwa TNI harus kembali ke barak
dan polisi bertugas sesuai dengan fungsinya. Bila mereka hendak berpolitik,
ya harus mengundurkan diri dari dinasnya.
Meski
demikian kita harus menyadari bahwa TNI dan polisi adalah bagian dari
instrumen pemerintahan. Kita menyadari TNI dan polisi tidak mempunyai hak
suara dan berpolitik namun nasib dan kebutuhan mereka harus diperhatikan.
Sudah sejahterakah mereka, sudah terpenuhikah alutsista yang diinginkan? Itu
yang juga harus menjadi bagian perhatian dari Presiden terpilih. Bila tidak
diperhatikan, mereka akan tergoda kepada hal-hal yang sifatnya melanggar
aturan. Dan yang lebih penting lagi
TNI jangan mempunyai bayangan selepas pilpres, Indonesia akan seperti Thailand
dan Mesir sehingga TNI harus melakukan tindakan-tindakan yang tak semestinya.
Kita harus percaya kepada rakyat Indonesia dan para calon Presiden bahwa
mereka tidak akan terpecah belah hanya gara-gara kalah dalam pilpres. Jadi
TNI harus benar-benar kembali ke barak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar