Atmosfer
Ramah Anak
Nizarudin
; Wakil Rektor IV Universitas PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 21 Juni 2014
KEMERIAHAN
kampanye pilpres saat ini sama sekali mengabaikan, bahkan tidak memperhatikan
hak-hak anak. Kampanye dilakukan secara kasar, baik menghadirkan olok-olok
ucapan maupun gambar. Pelbagai gambar yang sudah diolah sedemikian rupa, bila
dilihat oleh anak-anak melalui media sosial, bisa mempengaruhi perilaku anak.
Sesungguhnya, kita harus menciptakan lingkungan ramah anak.
Ketidakperpihakan
pada anak dimulai dari kehidupan keseharian, baik di rumah maupun di luar
rumah. Di rumah, dengan dinamika kehidupan sekarang ini, banyak orang tua
lebih disibukkan oleh kegiatan mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan lahir
anak. Tanpa disadari, aktivitas itu telah
menyita waktu untuk memenuhi kebutuhan batin anak, seperti perhatian,
kebersamaan, dan hubungan sosial keluarga.
Kondisi
seperti itulah yang mendorong sebagian besar anak memenuhi kebutuhan batin
mereka lewat tontonan televisi dan internet. Mampukah televisi dan internet
mengganti peran orang tua di rumah? Jawabannya jelas tidak. Padahal
perkembangan internet memungkinkan seseorang, termasuk anak, untuk mudah
mengakses informasi dari belahan dunia mana pun dengan muatan apa pun.
Dengan perangkat
yang terjangkau dan mudah dioperasikan, anak bisa melihat tayangan-tayangan
pornografi yang diproduksi oleh pihak mana pun. Kebiasaan menonton tayangan
semacam itu membuat anak kecanduan, dan pada akhirnya memunculkan imajinasi “kreatif” untuk menjadi aktor dari
skenario tayangan yang mereka lihat.
Masyarakat
telah melihat dampak dari semua itu. Sebagaimana diberitakan, telah terjadi
pelecehan seksual di sekolah internasional (JIS). Belum reda berita tersebut,
kita dikejutkan oleh kasus pelecehan seksual oleh Emon, yang merenggut ’’korban’’ mencapai hampir seratusan
anak. Kondisi itu terasa lebih memprihatinkan mengingat terjadi di Sukabumi,
yang telah menyatakan diri sebagai Kota Layak Anak.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan dalam satu tahun terakhir
terjadi 400 kekerasan seksual terhadap
anak,. Yang mengagetkan adalah korban terbanyak adalah anak laki-laki, dengan
pelaku juga laki-laki.
Tidak Mendidik
Berkait pilpres,
demi merebut hati rakyat dan menciptakan citra buruk pesaing, biasanya
disebarkan informasi yang bersifat rumor, yang kebenarannya perlu
dipertanyakan. Informasi ini dapat meracuni otak anak. Terlebih keberadaan
televisi sebagai ’’teman’’ anak di rumah
juga tidak membantu pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini mengingat banyak
tayangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak.
Tayangan
telivisi yang dikategorikan untuk anak-anak pun belum menjamin layak untuk
ditonton mereka, seperti Doraemon yang memberikan kemanjaan pada Nobita, atau
Spongebob yang mempertontonkan berbagai sifat para pemeran tanpa ada
penyeimbang hukuman bagi pelakunya, atau Sinchan yang selalu membuat kesal
orang tuanya. Tontonan semacam itu kemudian berlanjut pada tayangan untuk remaja
yang juga sering ditonton anak-anak seperti berbagai sinetron.
Banyak
tayangan sinetron yang tidak memperhatikan fakta di lapangan, ibaratnya jauh
dari kenyataan. Beberapa sinetron menampilkan para siswa yang bermusuhan
dalam satu sekolah dan tidak pernah didamaikan oleh guru. Belum lagi
penyelesaian masalah cinta lewat kekerasan dan ancaman. Ada guru yang lebay
sehingga menjadi bahan candaan murid.
Berlanjut
pada tayangan religi, yang diharapkan para orang tua dapat dicontoh anak mereka,
juga setali tiga uang. Tayangan sinetron kehidupan pesantren malah menggambarkan
sosok ustadz yang egois dan mau menang sendiri serta secara vulgar masih
menunjukkan rasa cinta pada putri kiai padahal keduanya sudah berkeluarga.
Terlebih lagi penggambaran kebebasan bertemu antara santri putra dan putri
adalah sesuatu yang jauh dengan dunia pesantren sebenarnya.
Tayangan-tayangan
yang tidak mendidik tersebut hampir menjadi santapan keseharian anak-anak di
rumah. Menonton secara terus-menerus akan membekas pada pikiran anak dan
berakibat pada aktivitas kesehariannya, yang dapat memunculkan agresivitas,
tidak mau mengalah, tidak sopan, berani melawan. Bahkan tidak jarang muncul
keinginan melakukan kejahatan seperti tontonan yang dilihat.
Acara
televisi yang tidak ramah pada anak berlanjut pada penayangan berita kekerasan
secara berlebihan, bahkan cenderung diulang-ulang yang akhirnya memantik
sebagian anak untuk meniru. Kasus murid SD yang menganiaya teman hingga meninggal,
menjadi contoh buruk. Tayangan penelusuran kejadian kriminal disajikan hingga
detail, semisal pelecehan seksual.
Anak
adalah aset bangsa. Perlindungan terhadap mereka harus kita upayakan bersama.
Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman adalah sebuah keharusan untuk tumbuh
kembangnya. Kita perlu memberi perhatian yang cukup, mendiskusikan tentang
tayangan atau memilihkan bacaan yang mendidik. Tontonan yang mendidik akan
memotivasi sekaligus membantu anak untuk maju. Sebaliknya, tontonan buruk
akan menyesatkan pengetahuan dan pandangan hidup mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar