Senin, 23 Juni 2014

Atmosfer Ramah Anak

Atmosfer Ramah Anak

Nizarudin  ;   Wakil Rektor IV Universitas PGRI Semarang
SUARA MERDEKA, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KEMERIAHAN kampanye pilpres saat ini sama sekali mengabaikan, bahkan tidak memperhatikan hak-hak anak. Kampanye dilakukan secara kasar, baik menghadirkan olok-olok ucapan maupun gambar. Pelbagai gambar yang sudah diolah sedemikian rupa, bila dilihat oleh anak-anak melalui media sosial, bisa mempengaruhi perilaku anak. Sesungguhnya, kita harus menciptakan lingkungan ramah anak.

Ketidakperpihakan pada anak dimulai dari kehidupan keseharian, baik di rumah maupun di luar rumah. Di rumah, dengan dinamika kehidupan sekarang ini, banyak orang tua lebih disibukkan oleh kegiatan mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan lahir anak. Tanpa disadari, aktivitas itu  telah menyita waktu untuk memenuhi kebutuhan batin anak, seperti perhatian, kebersamaan, dan hubungan sosial keluarga.

Kondisi seperti itulah yang mendorong sebagian besar anak memenuhi kebutuhan batin mereka lewat tontonan televisi dan internet. Mampukah televisi dan internet mengganti peran orang tua di rumah? Jawabannya jelas tidak. Padahal perkembangan internet memungkinkan seseorang, termasuk anak, untuk mudah mengakses informasi dari belahan dunia mana pun dengan muatan apa pun.

Dengan perangkat yang terjangkau dan mudah dioperasikan, anak bisa melihat tayangan-tayangan pornografi yang diproduksi oleh pihak mana pun. Kebiasaan menonton tayangan semacam itu membuat anak kecanduan, dan pada akhirnya memunculkan imajinasi “kreatif” untuk menjadi aktor dari skenario tayangan yang mereka lihat.

Masyarakat telah melihat dampak dari semua itu. Sebagaimana diberitakan, telah terjadi pelecehan seksual di sekolah internasional (JIS). Belum reda berita tersebut, kita dikejutkan oleh kasus pelecehan seksual oleh Emon, yang merenggut ’’korban’’ mencapai hampir seratusan anak. Kondisi itu terasa lebih memprihatinkan mengingat terjadi di Sukabumi, yang telah menyatakan diri sebagai Kota Layak Anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan dalam satu tahun terakhir terjadi  400 kekerasan seksual terhadap anak,. Yang mengagetkan adalah korban terbanyak adalah anak laki-laki, dengan pelaku juga laki-laki.

Tidak Mendidik

Berkait pilpres, demi merebut hati rakyat dan menciptakan citra buruk pesaing, biasanya disebarkan informasi yang bersifat rumor, yang kebenarannya perlu dipertanyakan. Informasi ini dapat meracuni otak anak. Terlebih keberadaan televisi sebagai ’’teman’’ anak di rumah juga tidak membantu pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini mengingat banyak tayangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak.

Tayangan telivisi yang dikategorikan untuk anak-anak pun belum menjamin layak untuk ditonton mereka, seperti Doraemon yang memberikan kemanjaan pada Nobita, atau Spongebob yang mempertontonkan berbagai sifat para pemeran tanpa ada penyeimbang hukuman bagi pelakunya, atau Sinchan yang selalu membuat kesal orang tuanya. Tontonan semacam itu kemudian berlanjut pada tayangan untuk remaja yang juga sering ditonton anak-anak seperti berbagai sinetron.

Banyak tayangan sinetron yang tidak memperhatikan fakta di lapangan, ibaratnya jauh dari kenyataan. Beberapa sinetron menampilkan para siswa yang bermusuhan dalam satu sekolah dan tidak pernah didamaikan oleh guru. Belum lagi penyelesaian masalah cinta lewat kekerasan dan ancaman. Ada guru yang lebay sehingga menjadi bahan candaan murid.

Berlanjut pada tayangan religi, yang diharapkan para orang tua dapat dicontoh anak mereka, juga setali tiga uang. Tayangan sinetron kehidupan pesantren malah menggambarkan sosok ustadz yang egois dan mau menang sendiri serta secara vulgar masih menunjukkan rasa cinta pada putri kiai padahal keduanya sudah berkeluarga. Terlebih lagi penggambaran kebebasan bertemu antara santri putra dan putri adalah sesuatu yang jauh dengan dunia pesantren sebenarnya.

Tayangan-tayangan yang tidak mendidik tersebut hampir menjadi santapan keseharian anak-anak di rumah. Menonton secara terus-menerus akan membekas pada pikiran anak dan berakibat pada aktivitas kesehariannya, yang dapat memunculkan agresivitas, tidak mau mengalah, tidak sopan, berani melawan. Bahkan tidak jarang muncul keinginan melakukan kejahatan seperti tontonan yang dilihat.

Acara televisi yang tidak ramah pada anak berlanjut pada penayangan berita kekerasan secara berlebihan, bahkan cenderung diulang-ulang yang akhirnya memantik sebagian anak untuk meniru. Kasus murid SD yang menganiaya teman hingga meninggal, menjadi contoh buruk. Tayangan penelusuran kejadian kriminal disajikan hingga detail, semisal pelecehan seksual.

Anak adalah aset bangsa. Perlindungan terhadap mereka harus kita upayakan bersama. Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman adalah sebuah keharusan untuk tumbuh kembangnya. Kita perlu memberi perhatian yang cukup, mendiskusikan tentang tayangan atau memilihkan bacaan yang mendidik. Tontonan yang mendidik akan memotivasi sekaligus membantu anak untuk maju. Sebaliknya, tontonan buruk akan menyesatkan pengetahuan dan pandangan hidup mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar