Dolly,
Siapa Peduli?
Moammar
Emka ; Penulis
buku ’’Jakarta Undercover’’ dan pengamat gaya hidup
|
JAWA
POS, 22 Juni 2014
SIAPA
yang peduli Dolly ditutup? Siapa yang tak peduli? Siapa yang setuju dan siapa
yang tidak? Lalu, apa yang terjadi jika Dolly ditutup dan bagaimana
kelanjutan cerita lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu?
Sederet
pertanyaan tersebut langsung ditujukan kepada saya ketika menjadi narasumber
di beberapa televisi menjelang detik-detik deklarasi penutupan Dolly.
’’Anda
setuju atau tidak, Dolly ditutup?’’
’’Mungkin
nggak Dolly ditutup?’’
Tentu
saja, jawabannya bukan hanya soal setuju atau tidak. Saya lebih suka
menjawab: tidak mungkin menutup Dolly. Alasannya sederhana, lokalisasi
seperti Dolly dan Jarak hanya salah satu bentuk dan praktik prostitusi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, masih banyak bentuk dan praktik prostitusi
yang jumlahnya sangat banyak dan beragam dengan menggunakan cara serta modus
yang lebih inovatif.
Secara
fisik, boleh jadi Dolly akan berhasil ditutup. Tetapi, praktik prostitusi itu
sendiri tidak akan berhenti. Ke depan bakal terjadi migrasi sejumlah PSK
(pekerja seks komersial) dan mucikari Dolly ke beberapa daerah di tanah air,
munculnya efek epidemi HIV/AIDS, serta setumpuk permasalahan sosial yang
lain. Penutupan Kramat Tunggak empat belas tahun lalu yang dianggap sebagai
salah satu wujud keberhasilan atau lokalisasi Saritem di Bandung, misalnya,
ternyata sampai hari ini tidak serta-merta membuat sejumlah PSK berhenti
berpraktik. Tidak sama sekali! Setiap malam puluhan PSK masih menjajakan diri
di sana. Dolly? Mungkin, tidak akan jauh berbeda.
Lokalisasi,
suka atau tidak, setuju atau tidak, peduli atau tidak, ibarat sebuah rumah besar
dengan banyak toilet. Begitu toiletnya ditiadakan dan di-nonfungsi-kan, para
penghuninya akan buang air besar di mana-mana. Kalau tidak begitu, para
penghuni rumah akan ramai-ramai pindah mencari rumah besar yang baru dengan
toilet baru.
Secara
teori dan praktik, prostitusi akan susah dihapus karena merupakan bisnis yang
selalu menguntungkan. Mengapa selalu menguntungkan? Sebab, jumlah pembeli
seks lebih banyak daripada jumlah PSK-nya. Bayangkan saja, jumlah PSK di
Indonesia yang terdata hanyalah 230 ribu orang, sedangkan jumlah pria pembeli
seks mencapai 6,7 juta orang.
Data 230
ribu orang itu berasal dari sejumlah lokalisasi yang tersebar di tanah air.
Ketika kita sibuk meributkan Dolly dan berlomba-lomba menutup sejumlah
lokalisasi yang lain, yang terjadi kemudian, betapa susah dan sulitnya
mencari serta menghimpun data. Dolly atau Jarak bisa mudah dideteksi sebagai
ajang prostitusi karena transaksi seksnya berlangsung secara terbuka dan
terang-terangan. Tempat jelas berada di mana serta berapa jumlah PSK, tarif,
usia, dan kondisi kesehatan mereka.
Ketika
kita sibuk menutup Dolly, saya justru lebih mengkhawatirkan bentuk dan modus
prostitusi di sejumlah kota besar di tanah air yang dalam operasinya banyak
menggunakan kedok terselubung. Misalnya, melalui panti pijat, motel, hotel,
sauna, salon, kelab, dan diskotek. Label yang dipakai memang tempat hiburan,
tempat perawatan, atau tempat kebugaran, tetapi diam-diam menjadi ajang
transaksi seks.
Dari
data yang saya temukan di lapangan selama ini, ternyata jumlah prostitusi
terselubung malah lebih dahsyat jika dibandingkan dengan tempat prostitusi
yang terang-terangan seperti Dolly.
Panti
pijat di Jakarta dan Surabaya, misalnya, jumlahnya bisa sampai ratusan. Tapi,
yang berpraktik sebagai panti pijat betulan hanya 10–20 persen. Sisanya
adalah panti pijat yang menawarkan jasa kencan seks, lainnya tidak. Belum
lagi praktik-praktik bisnis prostitusi yang ditawarkan tempat karaoke, kelab,
sauna, spa, diskotek, salon, motel, sampai hotel yang menawarkan beragam menu
yang menggiurkan pria pembeli seks.
Dan,
dari hari ke hari, bisnis prostitusi terselubung itu bukannya makin
menyempit, tetapi menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis. Setelah
deklarasi penutupan 19 Juni lalu, Dolly memang resmi ditutup. Tetapi, di sisi
lain, praktik seks terselubung lewat tempat hiburan seperti karaoke, rumah
cinta, spa, atau panti pijat makin tumbuh subur. Bukan tidak mungkin sejumlah
PSK di Dolly akan pindah ke beberapa tempat prostitusi terselubung itu.
Karena
tumbuh subur, mungkin pantas bila prostitusi menjadi bisnis basah, bahkan
lebih basah daripada bursa saham atau properti. Walaupun secara hukum
dilarang, lagi-lagi dalam praktiknya prostitusi tumbuh sangat pesat.
Berkali-kali ditertibkan, selalu saja muncul tempat-tempat baru. Maklum,
bisnis basah tersebut tidak hanya menjadi sumber mata pencaharian pelakunya,
melainkan mata rantainya panjang. Menjadi ladang uang bagi ’’pebisnis
lendir’’ serta menjadi sumber pemasukan bagi para germo dan tentunya
’’kantong-kantong’’ pribadi yang lebih suka cuci tangan dan bersembunyi di
balik nama serta jabatan.
Jika
harus menjawab apakah setuju Dolly ditutup atau tidak, jawaban saya: setuju
dengan beberapa catatan panjang. Saya setuju Dolly ditutup, tetapi tidak
’’begitu caranya’’. Menutup Dolly sama sekali tidak bisa hanya sepihak atau
dua pihak dan menggunakan jurus tangan besi. Menutup Dolly adalah pekerjaan
rumah yang harus dilakukan banyak pihak melalui pendekatan dialogis dan
kemanusiaan yang butuh proses panjang. Bisa lima tahun, sepuluh tahun, atau
bahkan lebih. Kalau tidak? Secara fisik, Dolly boleh jadi tutup. Tetapi,
secara praktik, efek Dolly akan menyebar ke mana-mana. Siapa di antara kita
yang peduli? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar