Selasa, 24 Juni 2014

Dolly, Siapa Peduli?

Dolly, Siapa Peduli?

Moammar Emka  ;   Penulis buku ’’Jakarta Undercover’’ dan pengamat gaya hidup
JAWA POS, 22 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SIAPA yang peduli Dolly ditutup? Siapa yang tak peduli? Siapa yang setuju dan siapa yang tidak? Lalu, apa yang terjadi jika Dolly ditutup dan bagaimana kelanjutan cerita lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu?

Sederet pertanyaan tersebut langsung ditujukan kepada saya ketika menjadi narasumber di beberapa televisi menjelang detik-detik deklarasi penutupan Dolly.

’’Anda setuju atau tidak, Dolly ditutup?’’

’’Mungkin nggak Dolly ditutup?’’

Tentu saja, jawabannya bukan hanya soal setuju atau tidak. Saya lebih suka menjawab: tidak mungkin menutup Dolly. Alasannya sederhana, lokalisasi seperti Dolly dan Jarak hanya salah satu bentuk dan praktik prostitusi. Kenyataan di lapangan menunjukkan, masih banyak bentuk dan praktik prostitusi yang jumlahnya sangat banyak dan beragam dengan menggunakan cara serta modus yang lebih inovatif.

Secara fisik, boleh jadi Dolly akan berhasil ditutup. Tetapi, praktik prostitusi itu sendiri tidak akan berhenti. Ke depan bakal terjadi migrasi sejumlah PSK (pekerja seks komersial) dan mucikari Dolly ke beberapa daerah di tanah air, munculnya efek epidemi HIV/AIDS, serta setumpuk permasalahan sosial yang lain. Penutupan Kramat Tunggak empat belas tahun lalu yang dianggap sebagai salah satu wujud keberhasilan atau lokalisasi Saritem di Bandung, misalnya, ternyata sampai hari ini tidak serta-merta membuat sejumlah PSK berhenti berpraktik. Tidak sama sekali! Setiap malam puluhan PSK masih menjajakan diri di sana. Dolly? Mungkin, tidak akan jauh berbeda.

Lokalisasi, suka atau tidak, setuju atau tidak, peduli atau tidak, ibarat sebuah rumah besar dengan banyak toilet. Begitu toiletnya ditiadakan dan di-nonfungsi-kan, para penghuninya akan buang air besar di mana-mana. Kalau tidak begitu, para penghuni rumah akan ramai-ramai pindah mencari rumah besar yang baru dengan toilet baru.

Secara teori dan praktik, prostitusi akan susah dihapus karena merupakan bisnis yang selalu menguntungkan. Mengapa selalu menguntungkan? Sebab, jumlah pembeli seks lebih banyak daripada jumlah PSK-nya. Bayangkan saja, jumlah PSK di Indonesia yang terdata hanyalah 230 ribu orang, sedangkan jumlah pria pembeli seks mencapai 6,7 juta orang.

Data 230 ribu orang itu berasal dari sejumlah lokalisasi yang tersebar di tanah air. Ketika kita sibuk meributkan Dolly dan berlomba-lomba menutup sejumlah lokalisasi yang lain, yang terjadi kemudian, betapa susah dan sulitnya mencari serta menghimpun data. Dolly atau Jarak bisa mudah dideteksi sebagai ajang prostitusi karena transaksi seksnya berlangsung secara terbuka dan terang-terangan. Tempat jelas berada di mana serta berapa jumlah PSK, tarif, usia, dan kondisi kesehatan mereka.

Ketika kita sibuk menutup Dolly, saya justru lebih mengkhawatirkan bentuk dan modus prostitusi di sejumlah kota besar di tanah air yang dalam operasinya banyak menggunakan kedok terselubung. Misalnya, melalui panti pijat, motel, hotel, sauna, salon, kelab, dan diskotek. Label yang dipakai memang tempat hiburan, tempat perawatan, atau tempat kebugaran, tetapi diam-diam menjadi ajang transaksi seks.

Dari data yang saya temukan di lapangan selama ini, ternyata jumlah prostitusi terselubung malah lebih dahsyat jika dibandingkan dengan tempat prostitusi yang terang-terangan seperti Dolly.

Panti pijat di Jakarta dan Surabaya, misalnya, jumlahnya bisa sampai ratusan. Tapi, yang berpraktik sebagai panti pijat betulan hanya 10–20 persen. Sisanya adalah panti pijat yang menawarkan jasa kencan seks, lainnya tidak. Belum lagi praktik-praktik bisnis prostitusi yang ditawarkan tempat karaoke, kelab, sauna, spa, diskotek, salon, motel, sampai hotel yang menawarkan beragam menu yang menggiurkan pria pembeli seks.

Dan, dari hari ke hari, bisnis prostitusi terselubung itu bukannya makin menyempit, tetapi menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis. Setelah deklarasi penutupan 19 Juni lalu, Dolly memang resmi ditutup. Tetapi, di sisi lain, praktik seks terselubung lewat tempat hiburan seperti karaoke, rumah cinta, spa, atau panti pijat makin tumbuh subur. Bukan tidak mungkin sejumlah PSK di Dolly akan pindah ke beberapa tempat prostitusi terselubung itu.

Karena tumbuh subur, mungkin pantas bila prostitusi menjadi bisnis basah, bahkan lebih basah daripada bursa saham atau properti. Walaupun secara hukum dilarang, lagi-lagi dalam praktiknya prostitusi tumbuh sangat pesat. Berkali-kali ditertibkan, selalu saja muncul tempat-tempat baru. Maklum, bisnis basah tersebut tidak hanya menjadi sumber mata pencaharian pelakunya, melainkan mata rantainya panjang. Menjadi ladang uang bagi ’’pebisnis lendir’’ serta menjadi sumber pemasukan bagi para germo dan tentunya ’’kantong-kantong’’ pribadi yang lebih suka cuci tangan dan bersembunyi di balik nama serta jabatan.

Jika harus menjawab apakah setuju Dolly ditutup atau tidak, jawaban saya: setuju dengan beberapa catatan panjang. Saya setuju Dolly ditutup, tetapi tidak ’’begitu caranya’’. Menutup Dolly sama sekali tidak bisa hanya sepihak atau dua pihak dan menggunakan jurus tangan besi. Menutup Dolly adalah pekerjaan rumah yang harus dilakukan banyak pihak melalui pendekatan dialogis dan kemanusiaan yang butuh proses panjang. Bisa lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan lebih. Kalau tidak? Secara fisik, Dolly boleh jadi tutup. Tetapi, secara praktik, efek Dolly akan menyebar ke mana-mana. Siapa di antara kita yang peduli?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar