Jumat, 20 Juni 2014

Agama dan Asketisme Demokratis

Agama dan Asketisme Demokratis

Charles Beraf  ;   Mahasiswa Program Master Rural Sociology,
University of The Philippines
KORAN JAKARTA,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di Indonesia agama telah sering dijadikan isu politik empuk. Tidak mengherankan jika, demi menggaet pemilih, politisi atau partai politik (parpol) tertentu secara vulgar mengembuskan isu tersebut.

Ini bisa kerap kali diwujudkan berupa black campaign untuk calon atau partai tertentu. Sebaliknya, hal itu juga merupakan sebentuk pencitraan di hadapan publik. Fakta demikian tentu tidak bisa secara sederhana dianggap sebagai persoalan politik, tetapi terutama berkenaan atau bersentuhan dengan soal agama. Black campaign dengan menjadikan agama sebagai isu politik menunjukkan betapa toleransi antaragama di Indonesia masih bermasalah.

Beberapa survei, misalnya dari Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, telah menunjukkan bahwa toleransi agama berdampak serius pada politik. Berdasarkan data LIPI, dari sampel 1.700, sebanyak 13,8 persen responden berkeberatan tinggal bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Sedang dalam kaitan politik, 35,6 persen responden berkeberatan memilih calon legislatif lain agama.

Toleransi memang bukan barang baru dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak deklarasi Dokumen Universal Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), toleransi telah menjadi isu dan agenda sosial sangat kuat. Di berbagai bangsa, toleransi gencar dikampanyekan sebagai kekuatan yang berdaya meruangkan pluralisme dan merekatkan perbedaan.

Di Indonesia, dalam empat dasawarsa terakhir, toleransi terutama dibangun dan diperjuangkan melalui dialog antaragama. Konflik dan kekerasan antaragama yang kerap terjadi di negeri ini menjadi alasan kuat agamaagama untuk berdialog. Ada harapan, melalui dialog antaragama, hubungan antar penganut agama menjadi energi konstruktif dan tidak tampak hanya sebagai moral force, tetapi juga sebagai social force negara. Namun, tidak bisa disangkal bahwa harapan seperti itu sungguh masih jauh panggang dari api. Gerakan-gerakan fundamentalis radikal malah kian menjamur di negeri ini.

Pada ranah sosial politis, radikalisme tampak menguat antara lain dalam kampanye politik atas nama agama. Akibatnya, agama gagal menjadi kekuatan perekat di negara ini. Fusi Setiap agama, dalam arti tertentu, merupakan teks. Di hadapan teks itu, para penganut menjadi pembaca dan penafsir. Dari teks, para penganut menimba atau memperoleh pengetahuan melalui pembacaan dan penafsiran. Sebaliknya, tanpa upaya menimba dari teks itu, tidak hanya terpupuk ketidaktahuan (kebutaan) para penganut, tetapi teks itu kehilangan relevansi dan signifikansinya bagi pemeluk dan konteks tempat teks berada.

Di tengah konteks pluralitas seperti Indonesia, pengetahuan agama adalah conditio sine qua non. Dari sudut pandang pascamodernisme, filsuf Hans-Georg Gadamer menyatakan setiap pengetahuan, termasuk tentang agama tertentu, adalah penafsiran yang bergantung pada horizon tiap individu. Dalam konteks yang plural, sangat mungkin muncul banyak horizon. Namun, dalam berbagai horizon yang berbeda itu – antara teks dan penafsir, agama yang satu dan lainnya bisa difusikan dalam peleburan horizon seperti dikatakan Gadamer, fussion of horizons.

Dalam fussion of horizons, makna dunia “aku” terlebur ke dalam makna teks atau agama lain yang sangat berbeda. Dengan peleburan, makna keduanya (“aku” dan teks atau agama) menjadi luas. Fusi terjadi melalui proses saat makna mewujudkan diri atau muncul dari teks (atau yang lain). Sedangkan “aku” sebagai penafsir atau pembaca, tak lagi berjarak dengan teks, tapi dekat dan tahu tentang teks. Dengan fusi, selain dimungkinkan terhindarnya catachonic error (kesalahan katakonik) atau logical fallacy terhadap penganut atau agama tertentu, terminimalisasikan religious truth claim (superioritas keagamaan).

Dengan fusi, seorang pemeluk tidak mudah mengadili agama tertentu dengan kategori asing seperti menerapkan aturan permainan bulu tangkis untuk sepak bola. Juga, dengan fusi itu, tak satu pun penganut agama merasa berhak mengklaim diri sebagai paling benar. Orang lain salah. Konflik antaragama atau semakin memudarnya toleransi di Indonesia terjadi karena belum berfusinya agama-agama.

Dengan kata lain, belum berprosesnya agamaagama untuk menjadi kekuatan bersama negara ini. Kondisi demikian malah diperparah dengan kecenderungan banyak kaum elite (pemimpin) agama yang karena ketokohan dan pengaruhnya, di satu pihak menjadikan atribut agama sebagai komoditas kepentingannya, di lain pihak, memengaruhi para penganut yang notabene amat minim pengetahuan agama dan ekonomi.

Dengan itu, massa pemeluknya dengan sangat mudah dibakar, disulut untuk terlibat dalam konflik antaragama. Negara bertanggung jawab atas kondisi agama-agama yang belum berfusi selain petinggi religius. Negara perlu proaktif dan bertanggung jawab untuk terus membuka serta mengawal kanal-kanal komunikasi yang memungkinkan agama-agama berfusi.

Ajang demokrasi, seperti pemilu , menjadi kesempatan bagi negara menanamkan secara terus-menerus kepada rakyat tentang asketisme demokratis seperti dikatakan Paul Ricoeur. Ini merupakan suatu sikap tenggang rasa dengan mengabaikan kesewenangan dan kekuasaan (puissance). Ada dua prinsip yang bisa dipegang dari asketisme demokratis Ricoeur.

Pertama, “Saya tenggang rasa walaupun bertentangan dengan keinginan saya. Namun untuknya, saya tidak memiliki kekuasaan untuk mencegahnya.” Kedua, “Saya tidak menyetujui, namun juga tidak menolak alasan-alasan yang membuat engkau hidup secara berbeda dari saya” (Ricoeur, 1996: 190). Dengan cara ini, dari waktu ke waktu, proses agama-agama dimungkinkan berfusi. Harapannya akan berdampak pada terciptanya politik yang demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar