Angka
Bicara Politik
Aris
Setiawan ; Dosen Etnomusikologi ISI Surakarta
|
TEMPO.CO,
21 Juni 2014
Hasil
pengundian nomor urut kedua calon presiden Indonesia dan wakilnya, beberapa
waktu lalu, tak berhenti sebagai angka semata. Hal itu menjelma menjadi
beraneka interpretasi dari sisi kultural, historis, religius, politik, dan
sosial.
Prabowo
dan Hatta Rajasa begitu bangga memamerkan nomor urut satu karena dianggap
sebagai terdepan, angka pemenang, tunggal, dan tak terkalahkan. Angka satu
identik dengan juara, posisi yang diburu, dan diperebutkan pada ajang lomba.
Sementara
itu, Jokowi dan Jusuf Kalla mendapat nomor urut dua, lebih dapat memaknai
sebagai unsur kosmis. Angka itu diidentikkan dengan dua unsur (pasangan, yin-yang) yang ada di dunia untuk
saling melengkapi, seperti siang-malam, panas-dingin, hitam-putih,
pria-wanita, tua-muda dan sebagainya.
Semua
calon presiden dan wakilnya bangga mendapat nomor urut. Bisa jadi, jauh hari
sebelumnya, banyak ramalan dan tafsir nomor telah mereka kaji. Hal ini
kemudian mengingatkan tentang jejak kultural bangsa Indonesia yang juga
dibangun dan diwarnai dari deretan angka atau nomor. Angka dirasa mampu
membawa kebahagiaan, namun juga tak jarang mengisahkan kematian.
Kisah
Di Jawa,
untuk melangsungkan pernikahan, calon pengantin wajib memilih hari baik
berdasarkan hitung-hitungan angka kelahiran (pasaran). Bisa jadi pula
pernikahan batal dilangsungkan karena pertemuan angka sepasang calon
pengantin dianggap jelek dan bisa membawa kesialan. Biasanya mitos angka 25
paling buruk, biang malapetaka.
Namun,
orang Jawa selalu punya siasat untuk mengatasinya dengan laku sakral dan
penyucian diri (ruwatan sukerta). Ruwatan dilakukan orang-orang yang
paham makna dan arti filosofis nomor. Dukun, bahkan dalang wayang kulit,
salah satunya. Bahkan, hari dan nasib buruk berdasarkan hitung-hitungan nomor
sengaja dibuat seorang dalang ruwat agar laris (payu).
Karena
hal ini pula dalang-dalang ruwat
dinggap sakti, memiliki ilmu kanuragan berlebih. Di Jawa, mitos angka telah
bertahan lama, mengakar, dan menjadi rahasia umum. Angka mencoba
dihubung-hubungkan dengan fenomena kehidupan dan alam. Di Yunani, lahir pula
ramalan-ramalan bintang berdasar tanggal dan tahun lahir (zodiak).
Di
ramalan itu disebutkan, setiap orang memiliki angka dan digit-digit nomor
yang membawa konsekuensi pertanggungjawaban moral, karakter diri, perilaku
tipikal, dan sikap khas. Tentu saja tidak semua masyarakat percaya, namun tak
sedikit pula yang menganggapnya benar.
Jika
dijabarkan, angka-angka tersebut menjadi hidup dan mampu berbicara lugas
tentang nasib dan kodrat manusia. Tafsir angka layaknya primbon tak sekadar
menjadi mitos, namun dipercaya dan diyakini kebenarannya. Muncullah para
dukun-peramal yang menjinakkan berbagai “hitung-hitungan”
angka yang mungkin juga dengan gaya otak-atik
gathuk.
Hidup
manusia kemudian seolah ditentukan deretan angaka-angka dan nomor-nomor.
Bahkan untuk mendapat tanggal lahir dan perhitungan hari baik, seorang ibu
hamil rela melahirkan lebih cepat (caesarean)
dari seharusnya. Semua demi mengejar imajinasi tentang angka. Hotel-hotel
berbintang menghilangkan beberapa angka atau nomor kamar karena takut merugi
dan apes.
Bahkan,
di Yogyakarta, konon ada nomor kamar khusus yang dipersembahkan pada Ratu
Pantai Selatan. Pelat nomor kendaraan dan telepon seluler juga dipesan secara
khusus agar deretan angka yang ditampilkan memiliki arti dan makna positif
serta dapat membawa peruntungan hidup. Nomor tertentu dalam kostum sepak bola
dianggap sakral. Tak jarang hanya diperuntukkan satu pemain yang melegenda.
Dalam
terminologi budaya Konghucu, nomor-nomor dianggap mampu membawa “hoki”,
sementara jika sering sial bisa jadi nomor dan angka sebabnya. Kisah lain
menyebutkan para pemburu togel rela menyepi di kuburan dan tempat wingit demi
mendapat nomor. Makhluk gaib yang transenden dianggap memiliki kekuatan untuk
memprediksi arus perjudian berdasarkan angka.
Demi
angka, logika telah terkalahkan oleh fenomena. Bahkan peristiwa alam dan
lingkungan sekitar menjadi simbol angka dan nomor tertentu. Saat banjir
menerjang atau seorang terjatuh dari sepeda motor, pemburu togel melabeli
dengan nomor untuk menjadi taruhan. Bisa jadi, nomor urut calon presiden dan
wakilnya telah mengalami nasib serupa. Maka, nomor dan angka tidak datang
secara kebetulan, namun dianggap telah tergariskan.
Peradaban
manusia masa kini berisi angka, mengharap angka, dan mengubah angka. Di otak,
hanya berisi timbunan angka-angka. Hitung-hitungan untung-rugi disimbolkan
dengan angka. Angka menerjemahkan yang abstrak. Uang menjadi bermakna ketika
dihiasi angka. Tak sekadar menunjukkan jumlah, namun juga makna dan arti.
Bisa
jadi, jumlahnya hanya satu, tapi maknanya bervariasi. Dengan hanya selembar
kertas orang dapat membeli mobil atau bahkan hanya mampu membeli permen
anak-anak. Jumlah angka di kertas sangat menentukan. Di dunia musik,
nada-nada disimbolkan dengan angka. Membaca angka kemudian bernada. Semakin
tinggi angkanya tambah naik nada suaranya. Angka diperlukan dalam berbagai
kehidupan manusia. Dengan angka, hidup menjadi lebih mudah atau sebaliknya.
Presiden
Prabowo
dan Jokowi kini dimaknai secara baru lewat nomor. Di jalan, iklan televisi,
berita koran betebaran nomor-nomor yang mempresentasikan sosok calon
presiden. Manusia setiap saat dihantui nomor. Teror nomor selama pemilihan
presiden sengaja dibuat untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar terpikat
dan teringat nomor dan orang penting di baliknya.
Satu
adalah Prabowo. Dua adalah Jokowi. Di jejaring sosial, komentar, dan tafsir
tentang nomor ramai diperbincangkan dan diulas. Tiap kubu memberi penafsiran
nomor urut dalam banyak konteks, bahkan tak jarang menjurus yang transenden
atau nirnalar. Tujuannya agar publik tak lagi ragu mencoblos nomor. Orang
lalu lupa melihat calon presiden berdasarkan kemampuan, pengalaman dan
pemikiran.
Pemilihan
hanya berdasar angka. Indonesia mutakhir penuh sesak dengan tafsir nomor dan
angka. Nomor mengisahkan ambisi politik. Masyarakat disuguhi perdebatan
nomor, antara sisi intelektualitas dan transenden berbaur menjadi satu, tak
jelas. Masyarakat kembali diajak menelusuri jejak-jejak angka secara
kultural, namun pekat beraroma politis.
Sekali
lagi, angka menghiasi pikiran mereka dengan digit-digit. Jika percaya, pilih saja presiden berdasarkan nomor
undian. Silakan ditafsirkan, direnungkan, dihitung, kemudian dijabarkan sisi
positif dan negatifnya. Jangan melihat kandidatnya. Lihat saja nomor
undiannya. Siapa tahu nasib Indonesia menjadi lebih baik karena efek nomor
dan angka. Sebaliknya, nomor dan angka tak lebih dari simbol yang tak
memiliki makna berlebih. Angka semata-mata hanya membantu orang untuk
berhitung, menata urutan tampil, mempermudah proses pemilu. Tak lebih dari itu.
Berapa
nomor yang hendak dipilih? Satu atau dua? Atau seperti lagunya Gamma Band, Satu atau dua pilih aku atau dia yang
engkau suka/Satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta/Dua atau satu
pilih dia atau kamu aku tak tahu/Karena diriku bingung harus pilih dia atau
dirimu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar