Kampanye
Hitam vs Kampanye Putih
Kristi
Poerwandari ; Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
22 Juni 2014
Inilah
takdir zaman yang sangat sulit menelusur lagi asal muasal fakta akibat
kehebatan teknologi, apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang ternyata
mudah diprovokasi. Ada opini, fakta, dan rekayasa, tercampur baur sulit
dipisahkan lagi. Gambar visual mengenai calon presiden dipertajam,
dipersamar, atau ditambahi efek-efek yang diinginkan lewat otak-atik
komputer, dilengkapi sedikit narasi memprovokasi, dikirim ke seluruh penjuru
Indonesia, bahkan dunia.
Diskusi
di media sosial memunculkan kemarahan, ada yang di-unfriend oleh temannya,
ada yang menelurkan kata-kata nasihat, ada yang membalas posting dengan
kata-kata kasar, ada yang tidak mau lagi membuka Facebook-nya. Sebagian
awalnya cukup simpati kepada salah satu calon presiden, tetapi jadi muak
terhadap perilaku para pendukung dan memilih menyeberang.
Saking
kacaunya situasi, sebagian kalangan yang merasa ”lebih sopan”, ”terdidik”,
atau ”ilmiah”, mengimbau rekan-rekannya untuk ”tidak usah menyuarakan apa
pun”; kalau mendukung salah satu capres, cukup ”dalam hati saja”. Ini
tampaknya juga jadi problematis karena jika yakin pada salah satu pilihan
(yang dinilai lebih baik atau lebih benar), bukankah kita wajib
menyampaikannya kepada publik? Bukankah kekacauan banyak terjadi justru
akibat ”orang baik hanya diam”?
Polarisasi
yang terjadi saat ini sungguh menjelaskan bahwa dunia ilmu itu tidak bebas
nilai, yang obyektif dan netral sebenarnya tidak ada. Yang disebut netral
atau ”bebas nilai” sesungguhnya mencerminkan nilai-nilai dan kepentingan
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Persepsi, cara berpikir, penghayatan,
dan perilaku manusia tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dari konteks
sosialnya: jenis kelamin, agama, suku, lingkungan pergaulannya, cara
pandangnya tentang hidup, pengalaman sebelumnya, antisipasinya akan masa
depan terkait diri sendiri maupun Indonesia.
Maka,
ada polarisasi, kelompok mana akan cenderung memilih siapa akibat kesamaan
cara berpikir mengenai apa yang dianggap akan menguntungkan dan memberi rasa
aman bagi kelompok. Meski begitu, dapat dimengerti tetap akan ada yang
bersuara berbeda dari kelompok kecil atau kelompok besarnya karena pengalaman
dan penalarannya sendiri yang sangat khusus.
Pembangunan opini
Kampanye
hitam atau putih, tujuan akhirnya sama, menggiring sebanyak mungkin pemilih
ke kubu yang diusung, memengaruhi yang masih bingung untuk segera ambil
pilihan, dan yang sebelumnya sudah yakin untuk menjadi ragu dan pindah
haluan.
Bagaimanapun,
kampanye hitam dan putih sangat berbeda karakteristiknya. Kampanye hitam
banyak yang diisi caci maki, tetapi mungkin saja tampilannya malah dibikin
halus. Cirinya yang utama adalah secara sistematis membangun persepsi dan
opini melalui rekayasa dan penghalalan kebohongan mengenai pihak lawan.
Kebohongan dan langkah-langkah mendiskreditkan kelompok lain itu sengaja
disebarkan agar dipercaya oleh sebanyak mungkin orang.
Dari
sisi telaah psikologi banyak orang mungkin tak sadar telah termakan kampanye
hitam dan ikut menyebarluaskannya. Namun, dari sisi pembuatnya, kampanye
hitam dirancang secara sangat sadar bahkan dengan perencanaan dan tujuan
sangat rinci.
Kampanye
putih tentu jauh lebih baik karena tidak merekayasa gambaran buruk dan
mendiskreditkan pihak lain, tidak menyebarkan kebohongan mengenai pihak
lawan. Kampanye putih jauh lebih baik karena tidak memunculkan kemarahan dan
emosi-emosi negatif, tidak memecah belah, tidak memunculkan polarisasi, tidak
membuat kelompok-kelompok berbeda jadi saling curiga dan canggung dalam
berelasi.
Kampanye
hitam itu kriminal, pengecut, memalukan, dan menunjukkan kualitas yang sangat
rendahan. Kampanye hitam itu pembodohan masyarakat dan sekaligus sangat
berbahaya karena taruhannya adalah keutuhan negara.
Bagaimanapun,
kampanye hitam itu mudah dipercaya oleh orang yang kurang berpikir dan tidak
mantap dengan diri dan kelompoknya. Jadi, dalam pergaulan sosial, kampanye
hitam tetap harus ditanggapi secara tenang dan cerdas. Janganlah saking muak
pada kampanye hitam, kita mencaci maki dan bicara kotor, karena hal itu dapat
membuat massa mengambang justru menyeberang.
Kampanye
putih itu bagus, tetapi jangan salah, tetap harus dicermati dengan waspada.
Barangkali ia mengandung kebohongan-kebohongan juga yang bentuknya berbeda,
yakni menutupi gambar dan karakteristik yang sesungguhnya tentang diri dan
kelompok dengan pencitraan serba positif. Bukankah pedagang menggiring orang
yang datang untuk membeli produknya, terlepas dari apakah barangnya asli atau
tiruan, mudah rusak atau tahan lama, berdampak positif atau justru merusak
kesehatan?
Semoga
kita semua dapat menenangkan hati yang panas, merenung dengan tenang, mencari
informasi selengkap mungkin dari sumber yang dapat dipercaya. Tentu boleh
mendengar opini kelompok, tetapi baik untuk dapat keluar dari kecemasan
primordial yang sebenarnya tidak membebaskan. Semoga pemilu presiden kali ini
menjadikan kita manusia yang lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih
berpikir jangka panjang, lebih berani menyuarakan yang kita anggap lebih
baik, lebih cinta bangsa. Selamat
mencoblos. ●
|
Mesin pembunuh
Tindakan
sadis terhadap musuh juga dianut kelompok radikal lainnya, seperti Boko Haram
di Nigeria, Al-Shabab di Somalia, Al Qaeda di Afrika Utara (AQIM), Al Qaeda
di Semenanjung Arab (AQAP), bahkan Ansar Dine di Mali, serta Taliban di Asia
Selatan. Namun, di antara mereka, Boko Haram dikenal lebih brutal lagi.
Semuanya berpayung pada Al Qaeda.
Sejak
dipimpin Abubakar Shekau pada 2009, Boko Haram berubah jadi mesin pembunuh.
Lebih dari 5.000 orang tewas di tangan mereka. Tak hanya menarget kelompok
tertentu, Muslim yang berseberangan dengan sepak terjang Boko Haram juga
dijadikan musuh dan dibantai.
Radikalisme
mengancam stabilitas, melemahkan, dan menyebabkan disintegrasi negara.
Pemerintahan yang lemah, yang tak didukung aparatur keamanan dan intelijen
yang kuat, cenderung jadi lahan subur bagi kelompok ini.
Al-Shabab
membuat Somalia menjadi negara gagal. Pemerintah Nigeria yang lemah dan
sektarianis menjadi lahan subur Boko Haram. Padahal, Nigeria pernah menjadi
model ekonomi dan demokrasi bagi Afrika dan khususnya di kawasan Afrika
Barat. Taliban juga telah merongrong Afganistan dan Pakistan di Asia Selatan.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar