Selasa, 24 Juni 2014

Kampanye Hitam vs Kampanye Putih

Kampanye Hitam vs Kampanye Putih

Kristi Poerwandari  ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 22 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Inilah takdir zaman yang sangat sulit menelusur lagi asal muasal fakta akibat kehebatan teknologi, apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang ternyata mudah diprovokasi. Ada opini, fakta, dan rekayasa, tercampur baur sulit dipisahkan lagi. Gambar visual mengenai calon presiden dipertajam, dipersamar, atau ditambahi efek-efek yang diinginkan lewat otak-atik komputer, dilengkapi sedikit narasi memprovokasi, dikirim ke seluruh penjuru Indonesia, bahkan dunia.

Diskusi di media sosial memunculkan kemarahan, ada yang di-unfriend oleh temannya, ada yang menelurkan kata-kata nasihat, ada yang membalas posting dengan kata-kata kasar, ada yang tidak mau lagi membuka Facebook-nya. Sebagian awalnya cukup simpati kepada salah satu calon presiden, tetapi jadi muak terhadap perilaku para pendukung dan memilih menyeberang.

Saking kacaunya situasi, sebagian kalangan yang merasa ”lebih sopan”, ”terdidik”, atau ”ilmiah”, mengimbau rekan-rekannya untuk ”tidak usah menyuarakan apa pun”; kalau mendukung salah satu capres, cukup ”dalam hati saja”. Ini tampaknya juga jadi problematis karena jika yakin pada salah satu pilihan (yang dinilai lebih baik atau lebih benar), bukankah kita wajib menyampaikannya kepada publik? Bukankah kekacauan banyak terjadi justru akibat ”orang baik hanya diam”?

Polarisasi yang terjadi saat ini sungguh menjelaskan bahwa dunia ilmu itu tidak bebas nilai, yang obyektif dan netral sebenarnya tidak ada. Yang disebut netral atau ”bebas nilai” sesungguhnya mencerminkan nilai-nilai dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Persepsi, cara berpikir, penghayatan, dan perilaku manusia tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dari konteks sosialnya: jenis kelamin, agama, suku, lingkungan pergaulannya, cara pandangnya tentang hidup, pengalaman sebelumnya, antisipasinya akan masa depan terkait diri sendiri maupun Indonesia.

Maka, ada polarisasi, kelompok mana akan cenderung memilih siapa akibat kesamaan cara berpikir mengenai apa yang dianggap akan menguntungkan dan memberi rasa aman bagi kelompok. Meski begitu, dapat dimengerti tetap akan ada yang bersuara berbeda dari kelompok kecil atau kelompok besarnya karena pengalaman dan penalarannya sendiri yang sangat khusus.

Pembangunan opini

Kampanye hitam atau putih, tujuan akhirnya sama, menggiring sebanyak mungkin pemilih ke kubu yang diusung, memengaruhi yang masih bingung untuk segera ambil pilihan, dan yang sebelumnya sudah yakin untuk menjadi ragu dan pindah haluan.

Bagaimanapun, kampanye hitam dan putih sangat berbeda karakteristiknya. Kampanye hitam banyak yang diisi caci maki, tetapi mungkin saja tampilannya malah dibikin halus. Cirinya yang utama adalah secara sistematis membangun persepsi dan opini melalui rekayasa dan penghalalan kebohongan mengenai pihak lawan. Kebohongan dan langkah-langkah mendiskreditkan kelompok lain itu sengaja disebarkan agar dipercaya oleh sebanyak mungkin orang.

Dari sisi telaah psikologi banyak orang mungkin tak sadar telah termakan kampanye hitam dan ikut menyebarluaskannya. Namun, dari sisi pembuatnya, kampanye hitam dirancang secara sangat sadar bahkan dengan perencanaan dan tujuan sangat rinci.

Kampanye putih tentu jauh lebih baik karena tidak merekayasa gambaran buruk dan mendiskreditkan pihak lain, tidak menyebarkan kebohongan mengenai pihak lawan. Kampanye putih jauh lebih baik karena tidak memunculkan kemarahan dan emosi-emosi negatif, tidak memecah belah, tidak memunculkan polarisasi, tidak membuat kelompok-kelompok berbeda jadi saling curiga dan canggung dalam berelasi.

Kampanye hitam itu kriminal, pengecut, memalukan, dan menunjukkan kualitas yang sangat rendahan. Kampanye hitam itu pembodohan masyarakat dan sekaligus sangat berbahaya karena taruhannya adalah keutuhan negara.

Bagaimanapun, kampanye hitam itu mudah dipercaya oleh orang yang kurang berpikir dan tidak mantap dengan diri dan kelompoknya. Jadi, dalam pergaulan sosial, kampanye hitam tetap harus ditanggapi secara tenang dan cerdas. Janganlah saking muak pada kampanye hitam, kita mencaci maki dan bicara kotor, karena hal itu dapat membuat massa mengambang justru menyeberang.

Kampanye putih itu bagus, tetapi jangan salah, tetap harus dicermati dengan waspada. Barangkali ia mengandung kebohongan-kebohongan juga yang bentuknya berbeda, yakni menutupi gambar dan karakteristik yang sesungguhnya tentang diri dan kelompok dengan pencitraan serba positif. Bukankah pedagang menggiring orang yang datang untuk membeli produknya, terlepas dari apakah barangnya asli atau tiruan, mudah rusak atau tahan lama, berdampak positif atau justru merusak kesehatan?

Semoga kita semua dapat menenangkan hati yang panas, merenung dengan tenang, mencari informasi selengkap mungkin dari sumber yang dapat dipercaya. Tentu boleh mendengar opini kelompok, tetapi baik untuk dapat keluar dari kecemasan primordial yang sebenarnya tidak membebaskan. Semoga pemilu presiden kali ini menjadikan kita manusia yang lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berpikir jangka panjang, lebih berani menyuarakan yang kita anggap lebih baik, lebih cinta bangsa. Selamat mencoblos.

msoZ �es@� � mily:"Times New Roman";mso-bidi-font-weight:bold'> 

Mesin pembunuh

Tindakan sadis terhadap musuh juga dianut kelompok radikal lainnya, seperti Boko Haram di Nigeria, Al-Shabab di Somalia, Al Qaeda di Afrika Utara (AQIM), Al Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP), bahkan Ansar Dine di Mali, serta Taliban di Asia Selatan. Namun, di antara mereka, Boko Haram dikenal lebih brutal lagi. Semuanya berpayung pada Al Qaeda.

Sejak dipimpin Abubakar Shekau pada 2009, Boko Haram berubah jadi mesin pembunuh. Lebih dari 5.000 orang tewas di tangan mereka. Tak hanya menarget kelompok tertentu, Muslim yang berseberangan dengan sepak terjang Boko Haram juga dijadikan musuh dan dibantai.

Radikalisme mengancam stabilitas, melemahkan, dan menyebabkan disintegrasi negara. Pemerintahan yang lemah, yang tak didukung aparatur keamanan dan intelijen yang kuat, cenderung jadi lahan subur bagi kelompok ini.

Al-Shabab membuat Somalia menjadi negara gagal. Pemerintah Nigeria yang lemah dan sektarianis menjadi lahan subur Boko Haram. Padahal, Nigeria pernah menjadi model ekonomi dan demokrasi bagi Afrika dan khususnya di kawasan Afrika Barat. Taliban juga telah merongrong Afganistan dan Pakistan di Asia Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar