Jumat, 20 Juni 2014

Indonesia Butuh Maskapai yang Kuat

Indonesia Butuh Maskapai yang Kuat

Arista Atmadjati  ;   Dosen Mata Kuliah "Aviation" Prodi S1 Pariwisata –FIB –UGM Yogyakarta, Praktisi Penerbangan Nasional
KORAN JAKARTA,  19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Indonesia telah menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang sustainable dalam satu dekade terakhir ini, utamanya di Asia. Hal itu berimbas positif pada bisnis penerbangan niaga. Sejak tahun 2001, kelahiran beberapa maskapai penerbangan yang masih eksis sampai dengan saat ini, seperti Lion Air, Citilink, kemudian disusul Sriwijaya Air, Express air, Air Asia Indonesia, dan sekitar 13 maskapai berjadwal lainnya, menjadi berkah dari deregulasi bisnis penerbangan yang dibuka oleh Pemerintah RI kala itu.

Beberapa maskapai kelahiran era tahun 2000-an yang masih eksis dan sukses antara lain Lion Air, Wing Air, Sriwijaya Air, Express Air, Susi Air, Citilink, Tri Nusa, Sky Aviation, Avia Star, dan terakhir Batik Air – tentu dengan segmen market yang berbeda-beda sesuai dengan konsep pelayanan yang diberikan setiap maskapai, rute yang ditempuh, dan jumlah kekuatan armada yang dimilikinya. Bagaimana dengan dua maskapai pelat merah yang sudah ada, yakni Garuda Indonesia dan Merpati Airline, yang sudah puluhan tahun lahir jauh sebelum adik-adiknya didirikan?

Garuda Indonesia berdiri tahun 1949, dan Merpati Nusantara lahir tahun 1962. Sejauh ini, Garuda Indonesia tetap dan semakin berkibar di market domestic dengan konsep layanan full service airline. Garuda Indonesia nyaris tanpa pesaing berarti sampai dengan saat ini. Hanya Batik Air yang mungkin bisa membuat Garuda kebat-kebit dalam persaingan 5–10 tahun ke depan.

Lalu, bagaimana dengan eksistensi Merpati Airline? Sejak 10 tahun terakhir ini, lahirnya beberapa maskapai baru yang ada di pasar persaingan, seperti Lion, Sriwijaya, dan Indonesia Air Asia, tampaknya bukan membuat Merpti semakin tangguh menghadapi kerasnya persaingan, malah maskapai Merpati (MZ) semakin tergerus market share-nya, dari tahun 1980 masih menduduki porsi market share domestik di atas 20 pct, sekarang malah menjadi hanya 1 digit.

Di depan mata kita, tahun 2015, Indonesia harus menghadapi era global liberalisasi dunia bisnis penerbangan minimal pada level ASEAN yang kita sudah paham akan memasuki ASEAN Open Sky Limited pada tahun 2015 dengan prediksi jumlah penumpang udara di Indonesia saja akan menembus angka 100 juta.

Dengan mayoritas mengandalkan pada pesawat buatan Tiongkok MA 60 turbo propeller peninggalan pembelian era direksi lama serta beberapa Boeing Narrow Body 737 klasik, tampaknya Merpati harus bertarung di market penerbangan dengan adik-adiknya yang memakai fleet yang relatif lebih baru dan andal.

Lihat saja Lion dengan B 737/900ER, Sriwijaya sudah memakai beberapa 737/800 NG seperti yang Garuda punya, Citilink yang memakai armada Airbus AB 320 brand new, belum di rute perintis dan Indonesia timur pelosok Papua dan Ambon, market share Merpati juga mulai digerus oleh Susi Air dengan semua armada small aircraft-nya yang all brand new memakai merek Grand Caravan, dan Piaggio aircraft buatan USA.

Sejauh ini, memang kinerja Merpati masih terseok-seok, dan puncak krisisnya, pasokan avtur dari Pertamina di-hold untuk beberapa kota penerbangan karena utang MZ ke Pertamina sudah melebihi kesepakatan, 100 miliar, sudah menembus 120 miliar rupiah.

Sebenarnya masyarakat Yogyakarta juga kehilangan jasa Merpati ini. Merpati selalu melayani rute dari Jogja ke Jakarta dan Jogja ke Bandung PP sehingga kapasitas seat di Adisucipto juga sedikit berkurang dengan “tidak terbangnya” Merpati kurang-lebih enam bulan ini.

Sebetulnya, untuk keluar dari persoalan akut ini bukanlah hal yang tidak mungkin. Dalam kasus di Merpati, sebetulnya dengan kekuatan dan harta yang menjadi prinsip dasar bisnis penerbangan, yakni AOC (Air Operator Certificate) yang sangat fital dan ditopang networking (rute) dan fleet (armada),

Merpati sampai dengan saat ini memunyai pelanggan yang fanatik dan loyal, utamanya di Papua, Kepulauan Maluku, dan NTT. Tak heran sebagian masyarakat Papua, saking terbiasanya naik Merpati, walau sekarang ada Garuda Indonesia masuk ke Papua, masayarakat Papua menyebut Garuda Indonesia dengan sebutan pesawat “Merpati ekor biru”, sebagaimana Merpati yang asli ekornya dengan warna kuning, saking kecintaan yang mendalam orang Papua menyebut Garuda adalah Merpati ekor biru.

Bukan main, mind set dan brand merk yang kuat adalah modal utama tim sales marketing Merpati untuk kembali meraih pasar bila dana talangan 400 miliar sebagai modal penyertaan pemerintah sukses disetujui oleh PPA, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN jadi dicairkan.

Mengingat Merpati adalah maskapai yang dibentuk Presiden RI Sukarno tahun 1962 , notabene sudah berumur 52 tahun dan 100 persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah (97 persen Kementerian Keuangan dan 3 persen Garuda Indonesia).

Ini maskapai yang asli putra bangsa Indonesia yang semestinya di-back up oleh pemerintah di tengah bisnis penerbangan yang liberal saat ini walau di kawasan regional beberapa maskapai lokal kita telah berganti pemegangnya seperti Awair pindah ke Air Asia, Mandala Airline sebagian di tangan Tiger Air Singapura, Batavia hampir lolos ke Tiger juga, lalu apakah nasib Merpati mau seperti itu?

Sebagai aset nasional, hal itu tidak boleh terjadi. Kegagalan Merpati sama dengan kegagalan regulator c.q Pemerintah RI dalam membina dan mencari jalan keluar solusi yang arif bagi BUMN-nya. Strategi jual, akusisi, dan lainnya adalah strategi yang sangat prematur, dangkal, dan tidak memililiki visi ke depan mengenai persaingan bisnis penerbangan di ASEAN. Atau apakah kita mau jadi penonton saja nantinya?

Ada 26 pesawat dan 66 rute, sudah 20 rute yang dipangkas oleh direksi lama, itu sudah menjadi aset yang luar biasa bagi Merpati untuk bangkit lagi. Merpati memang masih terbebani dengan utang yang luar biasa besarnya melebihi asetnya, utangnya 6,2 triliun.

Namun, sebagai alat transportasi yang sangat diperlukan untuk negara kepulauan yang besar seperti Indonesia ini, dan transportasi yang cepat untuk memfasilitasi kecepatan pertumbuhan Indonesia di masa depan utamanya di kepulauan kepulauan Indonesia Timur, selayaknya pemerintah RI dan semua stake holder, baik itu parlemen, eksekutif (kantor BUMN dan Kementerian Perhubungan) perlu memberikan opsi penyelamatan ke Merpati dengan beberapa langkah sebagai berikut.

1.Utang MZ 6,2 triliun sebagaian besar juga utang ke BUMN milik pemerintah seperti Pertamina, PAP, seharusnya dijadikan modal penyertaan pemerintah saja.

2.Melakukan restrukturisasi utang ke pihak lessor asing yang dijembatani oleh pemerintah, bisa berupa government guarantee letters atau bantuan proses renegosiasi jadwal pembayaran utang.

3.Maskapai flag carrier Garuda Indonesia yang juga memunyai saham 5 pct di Merpati, bisa di-approach untuk memberikan technical assistance ke MZ agar terjadi proses transformasi dari Garuda ke Merpati, paling tidak bisa mencontoh keadaan Garuda yang pernah juga mengalami masa sulit tahun 1990-an kemudian Garuda bisa juga sukses melakukan proses turn around ke arah positif.

Kenapa Merpati harus dibantu semua stakeholder? Memproteksi dua maskapai nasional Garuda dan Merpati utamanya adalah salah satu upaya dalam rangka memperkuat fungsi pertahanan dari sisi ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, politik, sosial, budaya), apalagi selama ini Merpati sudah akrab dan memunyai skill dan net working dan branding yang bagus di wilayah Indonesia Timur, artinya misi membantu Merpati sejalan juga dengan spirit mengembangkan dan mempercepat pembangunan di Indonesia Timur dalam program MP3EI Indonesia wilayah Timur, dan alat transportasi faktor penting untuk mempercepat semua proses pembangunan itu.

Daripada membangun sebuah maskapai baru yang modal awalnya secara textbook 4 triliun dengan pengalaman yang baru, saya rasa lebih rasional bila dana sebesar itu untuk menyehatkan maskapai pelat merah kita Merpati. Tentu bila semua stakeholder sudah mau berkomitmen membantu Merpti, kalangan manajeman dan semua staf MZ juga harus tahu diri, introspeksi.

Kuncinya, semua jajaran Merpati harus bekerja extraordinary, memunyai sense of crisis di semua lini, menciptakan musuh bersama seperti meraih kepercayaan kembali pelanggannya, mengurangi beban utang dengan menaikkan seat load factor dan weight load factor sehingga revenue juga meningkat dan harus kreatif menciptakan peluang seperti yang sudah ada selama ini KSO Kerjasa operasi dengan Pemda-2 yang tiap kabupaten adalah salah satu terobosan jitu di samping misalnya merebut charter flight untuk angkutan kampanye Pemilu mendatang, merebut feeder angkutan haji ke embarkasi dan masih banyak lagi. Semoga dua maskapai pelat merah Garuda dan Merpati tetap akan eksis di tengah zaman liberalisasi dalam bisnis penerbangan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar