Dubes
Menjadi Salesman
Djoko
Susilo ; Mantan Dubes RI di
Bern, Swiss, Mantan Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 24 Juni 2014
DEBAT
capres Jokowi melawan Prabowo Subianto Minggu malam (22/6) tentang masalah
pertahanan nasional dan politik luar negeri cukup menarik. Pada sesi ini,
capres Jokowi dipersepsikan kalah berpengalaman dari Prabowo. Namun,
sebenarnya dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Jokowi sempat mengajukan ide
yang menarik dalam kebijaksanaan luar negerinya. Yakni, menjadikan duta besar
RI sebagai salesman, dengan porsi 90 persen kegiatan ekonomi dan hanya 10
persen urusan politik.
Gagasan
Jokowi itu sangat menarik, meski untuk kalangan ASEAN bukan hal baru.
Thailand, misalnya, sudah lama mengukur keberhasilan kinerja seorang duta
besar bilateral (bedakan dengan yang diposkan di forum multilateral seperti
PBB, ASEAN, dan WTO) dengan berapa banyak Dubes bisa menggelar pameran dagang
atau berapa restoran yang bisa dibuka selama dia menjabat. Rata-rata masa
jabatan Dubes yang tiga atau sampai empat tahun secara efektif digunakan
untuk mendukung diplomasi dagang dan ekonomi. Tidak mengherankan jika
restoran Thailand berkembang di seluruh dunia karena mendapat dukungan penuh
pemerintahnya. Di Swiss yang berpenduduk 7,6 juta jiwa, mungkin terdapat
lebih dari seribu restoran Thailand dan hanya terdapat kurang dari 10
restoran Indonesia.
Bagaimana
Thailand bisa maju pesat? Menurut informasi, sejak zaman PM Thaksin
Shinawatra, diplomasi restoran itu menjadi hukum wajib bagi para diplomatnya.
Untuk menyokong suksesnya program tersebut, pesawat Thai Airways ke mana pun
diwajibkan membawa hasil bumi atau hasil pertanian dengan biaya disubsidi
pemerintah. Dengan demikian, kalau kami ingin beli mangga atau durian montong
Thailand, sudah pasti kami di Swiss mendapat suplai fresh dari Thailand
karena Thai Airways yang tiap hari mendarat di Bandara Zurich bisa dipastikan
membawa barang pertanian tersebut. Apakah pemerintah mendatang sanggup membuat
policy yang senada dengan memerintah Garuda yang terbang ke Amsterdam
langsung tiap hari membawa komoditas pertanian? Emirsyah Sattar, Dirut
Garuda, ketika bertemu saya di Davos beberapa waktu lalu sanggup memenuhi
perintah itu, asal ada dukungan pemerintah. Masalahnya, selama ini pemerintah
lebih suka menyubsidi BBM yang lebih banyak dinikmati orang kaya daripada
menyubsidi pertanian yang dinikmati rakyat miskin.
Untuk
mewujudkan ide duta besar sebagai salesman, pemerintah mendatang harus
merombak total Kementerian Luar Negeri, baik budaya kerja, anggaran, maupun
infrastrukturnya. Pada masa lalu, dalam birokrasi Kemenlu terdapat Direktorat
Jenderal HELN atau yang dikenal dengan nama Hubungan Ekonomi Luar Negeri.
Namun, sejak reformasi Kemenlu 2006, Ditjen HELN dihapus. Akibatnya, diplomat
RI hanya terfokus pada urusan konsuler, protokol, dan politik. Bisa
dikatakan, porsi promosi budaya dan ekonomi sangat minimal. Soal itu juga
terkait dengan anggaran yang terus menyusut.
Di bawah
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Kemenlu menambah pembukaan perwakilan
diplomatik di sejumlah negara. Misalnya, Kazakhstan, Ekuador, Panama,
Azerbaijan, Oman, dan Bahrain. Tapi, anehnya, anggaran Kemenlu disunat dari
sekitar Rp 5,6 triliun pada masa akhir jabatan Menlu Hassan Wirajudha menjadi
sedikit di bawah Rp 5 triliun saja. Tentu saja, dengan anggaran yang sangat
mepet, hanya setara dengan salah satu direktorat di Kemendikbud, gerak para
diplomat di luar negeri sangat terbatas.
Pengalaman
saya menggelar pameran dagang MUBA di Basel pada 2013 bisa menjadi hikmah.
Selama 60 tahun hubungan diplomatik bilateral antara Indonesia dan Swiss,
KBRI Bern atau Indonesia belum pernah sekali pun mengikuti pameran terbesar
di Swiss sekelas MUBA. Alasannya macam-macam. Pada 2012 saya dan tim KBRI
Bern berhasil melobi Kemendag, Pemprov Jatim, dan Pemprov Sumbar untuk ikut
acara dagang serta budaya dalam MUBA
Trade Show. Saya mengajukan tambahan anggaran Rp 1,6 miliar dan disetujui
Komisi I DPR. Tetapi, kenyataannya, anggaran sekecil itu disunat lagi dan
hanya diturunkan Rp 875 juta. Dari pengalaman tersebut, sangat jelas bahwa
pimpinan Kemenlu belum melihat perlunya memberikan dukungan all-out atas
suksesnya pameran dagang MUBA.
Ide
bagus menjadikan para Dubes dan diplomat RI sebagai salesman juga tidak
sesuai dengan kondisi di lapangan. Saat ini banyak fungsi promosi ekonomi dan
bisnis yang tumpang tindih. Misalnya, di negara seperti Inggris, AS, Belanda,
atau sekelas yang lain seperti RRT, Jepang, dan Australia, masih banyak fungsi
yang saling bertabrakan. Misalnya, Kemenlu mempunyai pejabat seksi ekonomi di
KBRI, Kemendag mempunyai atase perdagangan dan ITPC (Indonesian Trade and Promotion Center), BKPM masih punya pejabat
investment representative sendiri, dan masih ada sejumlah perwakilan BUMN
seperti Bank Mandiri atau BNI. Mereka biasanya berjalan sendiri-sendiri,
tidak dikoordinasi KBRI. Mungkin hanya seksi ekonomi dan atas perdagangan
yang berada di bawah koordinasi seorang duta besar karena mereka biasanya
menjadi bagian organik dari KBRI.
Persoalan
lain, sistem yang berlaku tidak memungkinkan adanya sinergi antara KBRI yang
berdekatan. Misalnya, menurut peraturan, KBRI Washington DC bisa menggelar
kegiatan promosi di seluruh 50 negara bagian, termasuk Hawaii yang jauhnya 12
jam penerbangan dari Washington DC. Sebaliknya, untuk Eropa Barat yang
terdapat sekitar 28 negara dan hampir 22 KBRI, antara KBRI yang berdekatan
itu tidak boleh saling mendukung. Misalnya, sewaktu jadi Dubes RI di Bern,
saya tidak boleh membantu berpromosi di Muenchen yang jaraknya hanya 4 jam
dari Bern. Sebab, promosi di Muenchen hanya boleh dilakukan KBRI Berlin yang
jaraknya hampir 10 jam dengan mobil. Hal yang sama tidak bisa saya lakukan di
Lyon, wilayah Prancis. Sebab, itu merupakan tugas KBRI Paris yang jauhnya
hampir 8 jam.
Di
negara lain, merupakan hal biasa bila antara kedutaan mereka saling membantu
dengan wilayah yang terdekat. Tetapi, sistem yang diberlakukan untuk diplomat
Indonesia memang sangat membelenggu kepentingan nasional. Karena itu, hampir
bisa dipastikan bahwa kota yang jauh tidak akan pernah bisa tergarap dengan
serius, kecuali pejabat setempat agak bersikap nekat. Itulah yang saya
lakukan ketika melayat Ibu Ainun Habibie pada 2010 ke Muenchen atau saat saya
memberikan ceramah di Pusat Studi Asia di Freiburg University, Jerman. Dua
kota itu lebih dekat dengan Bern daripada Berlin. Tapi, saya jamin, bagi
birokrat Kemenlu, hampir pasti hal itu ditabukan karena tidak sesuai dengan
aturan main.
Dengan
demikian, saya hampir bisa memastikan, ide menjadikan duta besar dan para
diplomat sebagai ’’salesman Indonesia’’
akan gagal total jika tidak ada perombakan menyeluruh dalam tubuh korps
diplomatik Indonesia. Sudah waktunya pelaksanaan politik luar negeri ditata
ulang untuk kepentingan nasional yang menyeluruh. Para diplomat harus sadar
bahwa mereka dibayar mahal oleh rakyat Indonesia untuk ’’menjual Indonesia’’, bukan menjadi turis permanen selama
beberapa tahun di luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar