KTP
Putu
Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
22 Juni 2014
Nyonya Murtina mendadak pingsan
di sebuah halte Trans Jakarta. Orang-orang panik karena wanita ini datang
sendirian. Petugas lantas membawanya ke rumah sakit terdekat untuk
mendapatkan perawatan. Syukur, kartu tanda penduduk (KTP) Murtina
diketemukan. Segera KTP itu dibawa ke bagian pendaftaran. Dengan memasukkan
ke card reader, semua catatan
pribadi Murtina terungkap, termasuk riwayat kesehatannya. Setelah diberikan
pertolongan, pihak rumah sakit memasukkan riwayat kesehatan yang baru di KTP
Murtina, tentang jenis penanganan dan obat yang diberikan.
KTP itu canggih. Cip elektronik
yang ada di sana bisa menyimpan berbagai data, bahkan bisa ditambahkan data
baru. Itulah KTP Online yang diperkenalkan pertama kali di Kabupaten
Purwakarta, Jawa Barat, pada 2011. Dari KTP Online ini lantas dikembangkan
KTP elektronik (e-KTP) yang dijadikan program nasional. Jika saja e-KTP
berjalan sesuai dengan rencana, dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara
nasional, orang tak bisa punya KTP ganda. Data yang tercantum di kartu juga
bisa dipangkas. Cukup dengan kolom nama, tanggal lahir, dan alamat.
Ini bisa menjawab polemik
tentang perlu-tidaknya ada kolom agama di KTP, sebuah perdebatan yang muncul
lagi belakangan ini. Adalah Siti Musdah Mulia, guru besar di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang melontarkan perlunya kolom agama
dihapus dalam KTP. Alasannya, agama kerap dipolitisasi dalam berbagai
kepentingan jangka pendek. Semisal, kata Siti, pegawai yang berbeda agama
dengan pimpinannya akan dipersulit saat naik jabatan. Banyak kasus yang
dialami masyarakat minoritas yang tak bisa mencantumkan agama yang
diyakininya karena dipersulit oleh petugas kelurahan dan kecamatan. Apalagi
kalau ada razia yang menyasar masalah SARA.
Di KTP (versi lama) memang sudah
ada NIK, lalu kolom nama, tanggal lahir, alamat, agama, status kawin,
pekerjaan, dan kewarganegaraan. Untuk apa kolom status kawin? Ada kisah
tentang seorang wanita yang ketika memperbarui KTP sedang berstatus janda.
Maka petugas mencantumkan janda di kolom status kawin. Setahun kemudian dia
menikah. Tapi, dengan alasan KTP berlaku lima tahun, dia tak bisa mengubah
status itu. Celakanya, saat dia dan suaminya bermalam di hotel kecil di
Pasuruan, ada razia. Suami-istri itu pun terkena razia, Satpol tak percaya
bahwa pasangan itu suami-istri.
Kolom pekerjaan juga tak
berguna. Petugas kecamatan yang mengeluarkan "KTP primitif" itu
terbatas pengetahuannya tentang pekerjaan, yakni pegawai negeri, swasta,
petani, ibu rumah tangga, dan pekerjaan lain. Kalau wartawan mencari KTP di
kolom pekerjaannya, tertera swasta atau pekerjaan lain. Adapun kolom
kewarganegaraan, untuk apa pula? Bukankah di balik kolom identitas itu sudah
tertulis besar: Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia.
Saatnya program e-KTP yang lebih
canggih dari KTP Online versi Purwakarta segera diteruskan dengan
meminimalkan kolom-kolom "KTP primitif". KTP modern sudah memiliki
cip yang bisa dibaca di card reader
dan di situ terpampang identitas yang sangat lengkap. Pada April tahun lalu,
PT Jamsostek dan PT Askes juga sudah menandatangani perjanjian kerja sama
pemanfaatan e-KTP dan database kependudukan yang berbasis NIK dengan
Kementerian Dalam Negeri. Kalau e-KTP yang dipermodern ini bisa terwujud,
Pemilu 2019 sudah bisa dilakukan secara e-voting.
Betapa murahnya pemilu.
Sayang, program e-KTP terhambat
gara-gara korupsi. Mudah-mudahan pemerintahan yang akan datang serius
menggarap KTP modern ini, siapa pun presiden yang terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar