Mahfud,
Soekarno, dan Dake
Asvi
Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
JAWA
POS, 23 Juni 2014
DI
Bengkulu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. menuding mantan
Presiden Soekarno juga ikut bertanggung jawab dan terlibat dalam kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat memerintah (Kompas.com, 20 Juni 2014). Dia dalam pidatonya antara lain
mengatakan, ”Jenderal-jenderal banyak
yang dibantai, itu yang bertanggung jawab adalah Bung Karno sebagai
presiden.”
Jenderal-jenderal
yang dibantai itu tentu dimaksudkan Mahfud sebagai enam orang jenderal yang
tewas pada 1 Oktober 1966. Walaupun saat
itu Soekarno masih menjadi presiden, apakah dia bertanggung jawab atas
pembunuhan tersebut?
Pendapat
Mahfud itu sebetulnya mengulang tuduhan Antonie C.A. Dake dalam buku Sukarno File. Dake dan penerbitnya
diadukan Yayasan Bung Karno karena
penghinaan yang terdapat dalam buku tersebut. Tidak sekadar menyatakan bahwa
Bung Karno ”biang yang sebenarnya”
dari apa yang terjadi pada paro akhir 1965,
Dake juga menuding bahwa sang proklamator ”secara
langsung harus memikul tanggung jawab atas pembunuhan enam jenderal dan
secara tidak langsung untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis yang
berlangsung kemudian”.
Tuduhan
Dake itu didasarkan pada hasil pemeriksaan ajudan Presiden Soekarno, Bambang
Widjanarko, oleh Teperpu (Team Pemeriksa Pusat) Kopkamtib yang mengungkapkan
bahwa pada 4 Agustus 1965 Bung Karno memanggil Brigjen Sabur dan Letkol
Untung ke kamar tidurnya serta menanyakan apakah mereka bersedia ”menerima perintah yang mencakup tindakan
terhadap para jenderal yang tidak loyal. Untung menyatakan kesediaannya”.
Keterangan Bambang Widjanarko itu dijadikan alasan Dake untuk menyimpulkan
bahwa Soekarno bertanggung jawab secara langsung atas pembunuhan enam
jenderal. Pengakuan Widjanarko itu diterbitkan –dalam dua bahasa, Indonesia
dan Inggris– dengan kata pengantar dari Antonie Dake pada 1974 di Belanda
dengan judul The Devious Dalang. Yang
menarik, Dake mengaku menerima laporan pemeriksaan itu di hotelnya di Jakarta
melalui pos tanpa alamat pengirim.
Pada
1990 pemerintah Indonesia melarang peredaran buku The Devious Dalang itu dengan SK Jaksa Agung No:
Kep-059/J.A/8/1990 dan Instruksi Jaksa Agung No: Ins-014/J.A.8/1990 kedua
tanggal 14 Agustus 1990. Pada 2005 penerbit Aksara Karunia menerbitkan Sukarno File yang terdiri atas 549
halaman, bagian lampiran (sekitar 300 halaman) lebih banyak daripada isi
buku. Pada bagian apendiks itu dicantumkan secara lengkap teks Indonesia
kesaksian Bambang Widjanarko yang sebelumnya dimuat pada The Devious Dalang. Dengan demikian, sebetulnya penerbit Aksara
Karunia telah menerbitkan (ulang) buku yang pernah dilarang di Indonesia.
Dokumen Widjanarko itu sangat lemah dari sudut metodologi sejarah. Sebab,
beberapa tahun setelah itu, ketika mendiskusikan buku Sewindu Dekat Bersama Bung Karno, Widjanarko mengakui bahwa
pengakuan tersebut diberikan secara paksa. Pada 27 Maret 2006 saya menyurati
keluarga Widjanarko yang mengirimkan kliping harian Merdeka edisi 5 dan 7
Oktober 1974. Koran tersebut pada 5 Oktober 1974 memberitakan dibukukannya kesaksian
Widjanarko. Namun, pada 7 Oktober 1974 Widjanarko menyatakan tidak
tahu-menahu, tidak kenal dengan Antonie Dake. Selain melanggar etika,
penerbit tersebut telah membocorkan atau menyebarluaskan rahasia negara
Indonesia kepada pihak internasional.
Maulwi
Saelan yang menjadi wakil komandan Tjakrabirawa mengatakan, tidak ada
pertemuan antara Soekarno dan Letnan Kolonel Untung pada 4 Agustus 1965.
Justru pada tanggal tersebut Bung Karno mengalami stroke ringan.
Yang
sangat mengherankan, Bambang Widjanarko meninggal pada 1996, sedangkan buku The Devious Dalang terbit pada 1974.
Dake sendiri dalam beberapa kesempatan berkunjung ke Indonesia. Dalam rentang
waktu 22 tahun itu (1974 sampai 1996) kenapa Dake tidak mewawancarai Bambang
Widjanarko? Selain sangat lemah dalam hal sumber, secara logika kesimpulan
Dake kurang kuat. Kalau ingin memecat Jenderal Jani atau jenderal lain,
Soekarno bisa melakukannya setiap saat. Mengapa harus dengan cara
berliku-liku? Mengapa Soekarno yang sedang berkuasa membuat persekongkolan
agar terjadi kedeta yang bisa menggulingkan dirinya sendiri? Dengan kata
lain, Soekarno mengudeta dirinya sendiri.
Adanya
berbagai versi dalam penjelasan suatu kejadian sejarah seperti kasus G 30 S
termasuk dalam demokratisasi sejarah. Kalau ada orang yang menyatakan
Soekarno terlibat G 30 S, tentu tidak bisa dilarang, seperti halnya
mengungkap Soeharto melakukan kudeta merangkak pada 1965–1967. Tetapi,
menuding sang proklamator dan bapak bangsa tersebut terlibat langsung dalam
pembunuhan enam jenderal itu sudah fitnah. ●
|
Prostitusi
dapat dikatakan tergolong pekerjaan hitam (black work atau black
activity) di bidang jasa hiburan. Pekerjaan hitam selain itu, ada
pengedar narkoba, sindikat pencurian, pengemis terorganisasi, dan lain-lain.
Semua penduduk kota pasti menginginkan situasi dan kondisi masyarakat dan
lingkungannya yang sejahtera, sehat, nyaman, indah, dan menyenangkan.
Pemimpin kota (daerah) beserta jajarannya mempunyai tanggung jawab untuk
menumbuhkan tempat kerja yang halallan
toyiban, terciptanya sosial budaya yang mengangkat nilai-nilai manusiawi,
terciptanya ekosistem lingkungan yang sehat. Memang berat tugas pemimpin.
Pemimpin adalah amanah yang diharapkan dapat menciptakan harmoni keseimbangan
di berbagai kehidupan. Semoga. ●
Meski
gugatan atas ketidaksetaraan jender kental terasa dalam bukunya, Oka mengaku
tidak membuatnya secara sengaja. Ia lebih ingin merekam budaya dan perubahan
yang terjadi dalam masyarakat Bali. Oka ingin buku yang bagus tentang Bali
tidak hanya ditulis oleh orang asing, tetapi juga oleh pribumi. Buku Oka di
kemudian hari menjadi pembicaraan di kalangan indonesianis.
Tommy
menilai apa yang dilakukan Oka sangat berani. Ia sampai menanyakan, apakah
Oka pernah berdiskusi dengan kalangan laki-laki di Bali tentang buku-bukunya.
Oka menjawabnya, ia sering dikira tidak tinggal di Bali, melainkan di Jakarta
sehingga ia ”aman”. Diakui Oka, ada kekhawatiran dirinya, gugatannya ini akan
dihadapkan dengan persinggungan dengan agama sehingga menyulitkan dialog.
Bagi
Tommy, membaca Tarian Bumi seperti
membuka kotak pandora karena ada banyak hal mengejutkan, termasuk luka dan
kemuraman yang muncul. Tarian Bumi dinilainya
menceritakan kesuraman budaya yang sangat bertolak belakang dengan citra
manis Bali di dunia pariwisata. ”Itu
mengapa pendekatan budaya ditakuti karena bisa memunculkan banyak borok,”
kata Tommy. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar