Indahnya Dunia Mahasiswa
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 05
Februari 2016
Menjalani kehidupan di
kampus sebagai seorang mahasiswa itu indah sekali. Mengisi usia remaja dalam
komunitas intelektual yang serbateratur, damai, dan berbudi luhur.
Imajinasi itu muncul
di benak saya sangat kuat ketika masih belajar di pondok pesantren. Mengingat
Pesantren Pabelan tempat saya belajar tidak jauh dari Yogyakarta dan
Magelang, sering kali saya melihat serombongan mahasiswa mengadakan kegiatan
di pesantren dan berdiskusi dengan Kiai Hamam Ja’far (alm). Juga tamu dari
taruna Akabri rutin berkunjung ke pesantren.
Mereka terlihat gagah
dan intelek. Yang rajin berkunjung ke pesantren adalah juga Romo Mangunwijaya
(alm). Imajinasi dunia mahasiswa yang indah itu sangat menghibur, tetapi
sekaligus menyakitkan karena kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan
membiayai saya melanjutkan belajar di dunia perguruan tinggi. Sebutan UGM,
UII, IAIN yang berada di Yogyakarta sudah sangat akrab di telinga saya.
Tapi, lagi-lagi, masuk
dunia kampus hanyalah mimpi bagi anak kampung seperti saya yang jumlahnya
jutaan di seluruh negeri. Memori yang terekam tentang dunia mahasiswa waktu
itu, mereka mengenakan jaket almamater, simbol dari sebuah komunitas elite
terpelajar yang tinggal di kota, yang fokus kegiatannya adalah menuntut ilmu
tingkat tinggi.
Mereka bergaul dengan
putra-putri terbaik yang datang dari berbagai desa dan kota Indonesia di
bawah pengasuhan dosen-dosen. Di samping kuliah, mereka berkegiatan dalam
bidang seni, olahraga, dan budaya. Pendeknya, bagi santri kampung yang miskin
seperti saya, dunia mahasiswa itu sebuah kehidupan yang ideal dan memukau.
Yang menjanjikan masa depan cemerlang.
Bukan madesu, masa
depan suram, sebuah diksi yang saya dengar tahun 1967-an. Demikianlah,
setamat SLTA (sekolah lanjutan tingkat atas) dengan memegang ijazah Madrasah
Aliyah Al-Iman Muntilan, muncul kegalauan dan kesedihan. Dikelassejak SD
sampai SLTA nilai ujian selalu peringkat teratas, tapi harus berhenti dan
menganggur karena kuliah terhambat biaya, masuk dunia kerja juga tidak
tertarik dan tidak ada peluang.
Lagi-lagi, pasti
jumlahnya ratusan ribu remaja yang senasib dengan saya, setamat sekolah lalu
menjadi penganggur. Untuk mengisi waktu dan mengurangi kegalauan, akhirnya
selama dua tahun saya menyibukkan diri aktif di organisasi sosial
kemasyarakatan Muhammadiyah Cabang Muntilan, terutama di lingkungan IPM (Ikatan
Pelajar Muhammadiyah) dan Pemuda Muhammadiyah.
Keluar masuk mengisi acara
training dan pengajian pemuda dan
pelajar Muhammadiyah yang berbaur dengan anggota PII (Pelajar Islam
Indonesia). Saya rasakan dan alami secara intens kredo trifungsi utama
organisasi, yaitu: tempat pelatihan kepemimpinan, pembentukan pribadi, dan
alat perjuangan. Lebih dari itu adalah untuk membangun jaringan persahabatan.
Dua tahun
berputar-putar di Muntilan mulai muncul kejenuhan sehingga terpikir untuk
menjajal hidup ke Jakarta berspekulasi mencari pengalaman dan menaklukkan Ibu
Kota. Ternyata hobiku membaca novel silat karangan Ko Ping Hoo dan
petualangan heroik Nagasasra Sabuk Inten karangan SH Mintardjo cukup memengaruhi
tekadku untuk berspekulasi masuk Jakarta tanpa agenda yang jelas.
Terngiang nasihat
kiai, cintailah ilmu, jagalah akhlakmu, jangan malas, pasti kamu bisa hidup
di mana pun kamu berada . Demikianlah, dengan mengantongi nama seorang teman
yang tinggal di wilayah Salemba, saya naik bus malam ke Jakarta, tahun 1974.
Setelah dua malam tinggal di rumah teman sesama aktivis Muhammadiyah dan PII
sewaktu di Muntilan, saya lalu berkunjung ke rumah teman di Kompleks MABAD
Rempoa, Ciputat.
Di luar perkiraan,
ternyata kunjungan ke Ciputat ini mengingatkan dan membangkitkan kepedihan
dan luka lama yang terpendam ketika saya melihat kampus IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang sudah berubah menjadi
UIN. Terbayang betapa indah dunia mahasiswa.
Muncul dorongan hati
yang tak terbendung untuk melangkahkan kakiku masuk kampus dan ini adalah
yang pertama kali kakiku masuk zona perguruan tinggi. Ternyata ujian seleksi
mahasiswa baru masuk IAIN Syarif Hidayatullah tengah dibuka. Hatiku tak
tertahan untuk ikut mendaftar ikut tes seleksi, karena biayanya sangat murah,
untuk tidak disebut gratis.
Singkat cerita, saya
lulus seleksi, mendaftar pada Fakultas Adab, yaitu Jurusan Sastra Arab dan
Sejarah Peradaban Islam. Pilihan fakultas ini semata mengikuti jejak almarhum
Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang saya kagumi. Dia alumni IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan selanjutnya mengambil program doktor di Universitas
Chicago, USA. Benar-benar serasa mimpi, the dream comes true, akhirnya saya
jadi mahasiswa.
Tantangan berikutnya
adalah bagaimana saya hidup di Ciputat sebagai mahasiswa sambil bekerja mencari
uang. Tantangan ini rupanya tidak sulit untuk ditaklukkan. Bagi seseorang
mahasiswa yang aktif dan kreatif, di Jakarta banyak peluang pekerjaan yang
mendatangkan uang. Asal kreatif, jujur, dan rajin, sekadar untuk membiayai
hidup sendiri sambil kuliah ternyata bisa saya lalui. Dan pengalaman ini juga
dialami ratusan mahasiswa lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar