Daya Magis PPP
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 11
Februari 2016
Ada sebuah cerita lama
dari kampung. Peristiwanya kira-kira pada rentang waktu tahun 1970-an hingga
awal 1990-an. Seorang pegawai negeri di sebuah kelurahan di DKI Jakarta
dijegal kariernya. Bahkan berulang kali dipanggil atasannya. Bukan karena ia
tidak mampu bekerja profesional. Bukan pula tersangkut kasus etik ataupun
hukum. Namun, gara-gara mertuanya seorang kiai tokoh penggerak Partai
Persatuan Pembangunan di kampung. Pada suatu masa, PPP ternyata
"ditakuti" penguasa.
Cerita seperti itu
tidak terjadi hanya di satu kampung, tetapi di seantero negeri ini. Pada masa
jaya Orde Baru, cerita semacam itu menjadi untold story. Waktu itu kekuasaan Presiden Soeharto sangat kuat.
Semua PNS wajib menjadi anggota Golkar. Seragam Korps Pegawai Negeri (Korpri)
saja jelas-jelas Golkar banget: motif beringin. Jangan coba-coba PNS aktif di
luar Golkar, nasibnya-bukan sebatas karier-benar-benar terancam.
Kuningisasi atau golkarisasi
terjadi di seluruh lapisan sosial. Lalu, pagar, pohon, genteng, rumah,
semuanya dicat kuning. Sebuah simbol kekuasaan yang dominatif. Warna hijau
(PPP) dan merah (PDI) rasanya "ditabukan". Dua partai itu dikebiri,
hanya asal dapat bertahan hidup pada era "Demokrasi Pancasila".
Namun, dibanding PDI,
PPP menjadi kekuatan politik yang lebih ditakuti. Sebab, PPP sangat
ideologis. PPP adalah hasil fusi partai-partai Islam (Partai NU, Parmusi,
PSII, Perti) pada 5 Januari 1973, setelah Orde Baru merampingkan partai
politik. Kabah, lambang PPP, secara psikologis memiliki kekuatan luar biasa,
bahkan kerap "magis". Misalnya, pada masa kampanye ada kabar
seseorang meninggal, setelah merobek-robek pamflet "Kabah" pada
malam harinya. Mungkin cuma isu atau kabar burung. Namun, burung-burung
membawa terbang jauh sampai-sampai menjadi mitos. Meskipun kecil, Orde Baru
rupanya gentar juga pada PPP.
Saat Golkar menang
mutlak dalam setiap pemilu, rupanya di beberapa daerah kunci justru
dipecundangi PPP. Di "Serambi Mekkah" Aceh dan ibu kota Jakarta,
Golkar malah kalah, misalnya pada Pemilu 1977. Meskipun di 25 provinsi lain
Golkar berjaya, kegagalan di dua provinsi itu membuat Orde Baru gelisah.
Jakarta adalah pusat kekuasaan di mana Soeharto memerintah. Aceh adalah daerah
pergolakan yang sulit pula ditaklukkan pusat.
Tak heran upaya
mengooptasi PPP tidak berhenti. Pemilu 1987, PPP kehilangan 33 kursi di DPR,
setelah era asas tunggal Pancasila, penggantian lambang "Kabah"
menjadi "Bintang" serta penggembosan di daerah-daerah.
Tiga dekade kemudian,
ketika zaman sudah terbuka, PPP tidak lagi menjadi kekuatan yang
diperhitungkan. Kondisinya malah mencemaskan. Hari ini, sudah berbulan-bulan
PPP pecah: kubu Muktamar Surabaya (Romahurmuziy dkk) versus kubu Muktamar
Jakarta (Djan Faridz dkk). Awal 1990-an, PPP juga retak. Muncul Naroisme,
yaitu pendukung HJ Naro (mantan Ketua Umum PPP). Di seberang lain ada
penolaknya. Naro tidak dicalonkan pada Pemilu 1992. Sekitar 30 anggota DPR
bernasib sama. Naro pun diisukan loncat ke PDI (Kompas, 20/8/1991).
Dan, Silatnas pada
awal Februari 2016 ini semestinya menjadi langkah positif untuk islah.
Berpolitik adalah the art of possible. Bukan soal it's not about what's right or what's wrong. Golkar saja sudah
memulai. Partai-partai lain juga sudah berbenah, termasuk merapat ke
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Masak, PPP yang lebih
berpengalaman tak mampu mengakhiri konflik internal. Bukankah PPP teruji
tahan banting diperlakukan Orde Baru. Sebagai "partai Islam",
menjadi relevan tetap menjaga ukhuwah,
terkhusus ukhuwah wathaniyah
(persatuan bangsa). Masihkah PPP memiliki daya magis untuk bangsa ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar