Basis Sosial GBHN
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 12
Februari 2016
Bola salju wacana
restorasi Garis-garis Besar Haluan Negara terus menggelinding sejak
dilemparkan ke tengah publik oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati
Soekarnoputri.
Dari berbagai arus
pendapat yang berkembang, ada satu dimensi penting yang luput dari perhatian
para pengamat, yakni dimensi sosial sebagai anteseden tentang perlu atau
tidaknya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bagi suatu negara.
Pilihan-pilihan hukum-ketatanegaraan dan kebijakan itu sesungguhnya harus
mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis, yang justru sering diabaikan para
pemerhati dan pengambil keputusan di negeri ini.
Pilihan model demokrasi
Konsepsi yang
menyerahkan rencana (kebijakan) pembangunan kepada Presiden sesungguhnya
bermula sebagai konsekuensi dari tradisi demokrasi majoritarian. Dalam
pandangan mahaguru demokrasi, Arend Lijphart (1999), pola demokrasi secara
garis besarnya bisa dibedakan dalam dua model: majoritarian democracy (demokrasi yang lebih mengutamakan suara
mayoritas) dan consensus democracy
(demokrasi yang lebih mengutamakan konsensus).
Sungguh mengejutkan
bahwa dalam wacana (ilmu) politik terdapat kecenderungan kuat untuk
menyamakan demokrasi dengan majoritarian democracy; gagal mengakui consensus
democracy sebagai alternatif yang sama absahnya. Dalam kenyataannya, Lijphart
menunjukkan fakta bahwa jarang sekali negara yang menjalankan model majoritarian democracy secara murni;
boleh dibilang hanya Inggris Raya, Selandia Baru (hingga 1996), bekas koloni
Inggris di wilayah Karibia, dan dalam taraf yang berbeda juga Amerika
Serikat. Kebanyakan pemerintahan demokratis lebih menganut model konsensus.
Lebih dari itu, Lijphart menilai bahwa consensus
democracy jauh lebih demokratis ketimbang majoritarian democracy dalam banyak hal.
Dengan meminjam
argumen dari Arthur Lewis (1965), Lijphart menunjukkan bahwa penekanan model
majoritarian pada majority rule serta pola pemerintah-versus-oposisi dalam
politik bisa ditafsirkan tidak demokratis karena mengandung prinsip-prinsip
pengucilan (exclusion). Perlu diingat, pengertian pertama demokrasi adalah
bahwa "semua yang terpengaruh oleh suatu keputusan harus memiliki
peluang untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan baik secara langsung
maupun melalui perwakilan. Pengertian kedua adalah bahwa "kehendak
mayoritas harus menang". Jika hal ini berarti bahwa partai pemenang
boleh membuat seluruh kebijakan pemerintah dan rencana pembangunan dan yang
kalah boleh mengkritik tapi tak boleh ikut memerintah, maka kedua pengertian
itu, menurut dia, tidaklah kompatibel: "mengucilkan kelompok-kelompok
yang kalah dari keikutsertaan dalam pengambilan keputusan secara nyata
melanggar pengertian pertama dari demokrasi".
Meski demikian, ia
berpandangan bahwa model majoritarian masih bisa diterima di bawah dua
kondisi. Pertama, pengucilan minoritas bisa dikurangi jika pemerintahan bisa
dimenangkan secara bergantian sehingga mayoritas dan minoritas bisa silih
berganti. Hal ini biasanya berlaku dalam sistem dwi-partai seperti yang
berkembang di Inggris, Selandia Baru, Barbados, dan juga Amerika Serikat.
Kedua, dalam negara
yang masyarakatnya relatif homogen. Dalam masyarakat seperti itu,
partai-partai utama tidaklah terlalu lebar perbedaannya dalam pandangan
kebijakannya (policy outlooks) dan siapa pun yang memimpin tak akan
menghadirkan diskriminasi bagi pendukung partai lawan. Singkat kata,
pengucilan partai lawan (termasuk pendukungnya) dari pemerintahan dan rencana
pembangunan memang tak demokratis dipandang dari kriteria government by the
people, tetapi bilamana kepentingan dan pilihan pemilih secara rasional
dilayani oleh kebijakan partai lain dalam pemerintahan, sistem ini mendekati
definisi government for the people dari demokrasi.
Dalam masyarakat
majemuk dan menganut sistem multi-partai, kedua kondisi tersebut tak
terpenuhi. Masyarakat plural ditandai pembelahan masyarakat secara tajam
menurut garis keagamaan, ideologi, bahasa, budaya, etnis dan ras, hingga
membentuk sub-sub masyarakat yang berafiliasi dengan partai politik, kelompok
kepentingan, dan media komunikasinya masing-masing. Di bawah kondisi seperti
itu, fleksibilitas untuk majoritarian democracy tak tersedia; dengan
demikian, model majoritarian bukan hanya tidak demokratis, tetapi juga
berbahaya karena kekuatan-kekuatan minoritas akan terus-menerus terhalang
aksesnya ke dalam kekuasaan dan kebijakan pembangunan sehingga merasa
terkucilkan dan terdiskriminasikan yang akan menghilangkan kesetiaannya pada
rezim pemerintahan, bahkan pada negara.
Dengan perspektif
teoretis seperti itu, idealisasi para pendiri bangsa atas model demokrasi
konsensus (demokrasi permusyawaratan) merupakan pilihan demokrasi yang
tepat-guna. Indonesia adalah masyarakat plural dengan kecenderungan sistem
multipartai yang kuat. Dalam kondisi seperti itu, model majoritarian
democracy sulit dibumikan bahkan akan menimbulkan banyak masalah dalam proses
nation-building. Dalam kaitan itu, JS Furnivall (1980) mengingatkan masyarakat
plural sulit menemukan kehendak bersama (common
will), suatu fakta yang membuat pembangunan bangsa dalam masyarakat
seperti itu merupakan suatu proyek muskil. Padahal, rasa pertautan ke dalam
suatu entitas politik bersama merupakan prakondisi bagi demokrasi.
Seperti ditegaskan
Dankwart Rustow (1970), persatuan nasional harus mendahului fase-fase lain
dari demokratisasi; diindikasikan oleh adanya sejumlah besar warga negara
yang tidak memiliki keraguan untuk bertaut pada komunitas politik kebangsaan.
Majoritarian democracy yang cenderung mendiskriminasikan kekuatan-kekuatan
minoritas akan semakin menyulitkan penemuan kehendak bersama dan persatuan
nasional dari masyarakat plural. Oleh karena itu, pilihan pada consensus
democracy merupakan pilihan yang bisa membawa banyak kemaslahatan bagi bangsa
Indonesia.
Presiden dan negara kekeluargaan
Di bawah sistematik
negara kekeluargaan, Indonesia memilih demokrasi permusyawaratan dengan lebih
menekankan daya-daya konsensus (mufakat) dalam semangat kekeluargaan.
Demokrasi permusyawaratan ini berusaha mengatasi paham perseorangan dan
golongan. Yang dihindari bukan saja dikte-dikte diktator mayoritas, melainkan
juga dikte-dikte tirani minoritas dari oligarki elite penguasa dan pengusaha.
Dalam ungkapan Soekarno, demokrasi kita janganlah mengikuti model
"mayorokrasi" dan "minorokrasi".
Di dalam negara
kekeluargaan dengan demokrasi konsensus ala Indonesia, kebijakan dasar
(rencana) pembangunan tidaklah diserahkan kepada presiden sebagai ekspresi
kekuatan majoritarian. Kebijakan dasar rencana pembangunan harus dirumuskan
bersama melalui mekanisme konsensus seluruh representasi kekuatan politik
rakyat dalam suatu lembaga perwakilan terlengkap, yakni Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan kata lain, presiden tidak mengembangkan
politik sendirian, tetapi haru menjalankan prinsip-prinsip direktif yang
ditetapkan MPR dalam suatu GBHN.
GBHN memiliki fungsi
penting dalam mewujudkan konsepsi negara kekeluargaan dan kesejahteraan.
Selain memberikan prinsip-prinsip direktif yang memberikan haluan pembangunan
nasional secara menyeluruh (semesta), bertahap dan berencana, GBHN juga
memiliki fungsi alokatif dalam pendistribusian sumber daya ekonomi. Di dalam
sistem kapitalisme, fungsi alokasi sumber daya strategis diserahkan
sepenuhnya pada mekanisme pasar. Dalam sistem etatisme, fungsi alokasi sumber
daya diserahkan pada pusat komando diktatorial. Dalam sistem Pancasila,
alokasi sumber daya tidak hanya tunduk pada mekanisme-mekanisme tersebut,
melainkan juga melalui mekanisme permusyawaratan rakyat dalam MPR.
Orde Reformasi
tampaknya cenderung hendak meniru sistem AS, tetapi "salah arah"
karena tidak mengadopsinya secara konsisten. Setelah MPR dijatuhkan posisinya
dari lembaga tertinggi, kewenangannya dalam menyusun GBHN juga ditiadakan.
Sebagai gantinya, muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
yang ditetapkan dengan UU. RPJPN ini kemudian diturunkan ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode lima tahunan dengan
memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menentukan platform politik
pembangunannya tersendiri sesuai dengan janji kampanye.
Masalahnya, karena
RPJP ini ditetapkan oleh UU, presiden ikut serta dalam merumuskan
ketentuannya. Setelah itu, karena presiden juga diberi kewenangan menetapkan
platform pembangunan, Presiden juga yang menjalankan UU itu dan menetapkan
anggarannya. Dan akhirnya, karena tidak ada mekanisme pertanggungjawaban
kepada MPR, presiden juga yang mengawasi pelaksanannya. Alhasil, jika
presidennya tidak amanah, mudah sekali kebijakan pembangunan di negeri ini
jatuh ke tangan kepentingan perseorangan yang dapat merugikan kepentingan
nasional.
Hal ini amat berbeda
dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di AS. Di sana, meskipun presiden
diberikan wewenang untuk menetapkan platform kebijakannya, fungsi Kongres
(MPR) dalam menentukan anggaran lebih kuat. Sesuai sistem pemisahan
kekuasaan, baik Senat maupun DPR di AS harus sama-sama menyetujui anggaran,
kemudian ditandatangani Presiden AS. Jika Presiden tidak setuju atas
rancangan anggaran yang ditetapkan Kongres, Presiden bisa memvetonya, dan
rancangan anggarannya dikembalikan ke Kongres. Di Kongres, veto tadi dapat
dibatalkan dengan dua pertiga suara menolak. Dengan demikian, final say
tentang anggaran itu tetap ada di Kongres yang bisa menjadi alat kendali bagi
kebijakan rencana pembangunan yang dicanangkan presiden.
Selain itu, fakta juga
menunjukkan bahwa sekalipun Presiden RI memenangkan dukungan mayoritas
popular vote, dalam kenyataannya tak pernah mudah menguasai parlemen.
Solusinya, Presiden sering tergoda membentuk kabinet dengan koalisi lebar
tanpa kesamaan basis ideologis. Koalisi yang terbentuk bersifat pragmatis,
yang menyimpang dari prinsip-prinsip deliberatif demokrasi konsensus yang
mesti bersifat inklusif, imparsial, dan berorientasi jauh ke depan. Dengan
pragmatisme, menteri-menteri dari ragam partai mengembangkan loyalitas ganda.
Kementerian-kementerian tampil bak negara dalam negara karena kebijakannya
sering kali tak taat asas terhadap platform pembangunan yang digariskan
presiden ataupun terhadap tujuan dan fungsi negara. Untuk menghindari itu,
lebih baik semua elemen kekuatan politik tunduk pada prinsip-prinsip direktif
GBHN, disertai adanya mekanisme pertanggungjawaban atas pelaksanaan haluan
negara itu.
Lebih dari itu,
keberadaan GBHN sangat penting manakala pembangunan Indonesia saat ini
dihadapkan pada problem diskontinuitas dan diskonektivitas. Para pengambil
keputusan politik terjebak pada kepentingan jangka pendek dan terfragmentasi
menurut garis kepartaian dan kedaerahan. Dengan kondisi seperti itu,
pilihan-pilihan kebijakan sering bersifat tambal-sulam dan parsial;
mengabaikan pilihan-pilihan strategis yang bersifat fundamental dan integral,
yang memerlukan kesinambungan dan keterpaduan berjangka panjang. Kesadaran
untuk menghidupkan kembali GBHN tampaknya mendapatkan sokongan arus bawah
yang kuat. Meski demikian, perlu diingatkan bahwa format dan isi GBHN
tidaklah harus sama dan sebangun dengan versi terdahulu. Kandungan GBHN cukuplah
berisi pedoman-pedoman dasar (guiding principles) atau arahan-arahan dasar
(directive principles) yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam
merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara terpimpin dan
terencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar