Merawat KPK
Suwidi Tono ; Koordinator Forum "Menjadi
Indonesia";
Koordinator
Alumni IPB untuk Gerakan Anti Korupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi
|
KOMPAS, 10
Februari 2016
Ada kelemahan analisis
mendasar dan meremehkan nalar ketika revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masuk skala prioritas program legislasi
nasional. Bukan sekadar kontestasi politik dan kekuasaan, hasrat besar
mengubah landasan hukum operasional KPK
itu juga menampakkan kekumuhan paradigma.
Pertama, jika revisi
UU dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja lembaga anti korupsi tersebut,
pertanyaan mendasarnya adalah apakah ada tendensi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) selama ini mandul? Argumen ini dengan mudah terpatahkan melalui
bukti capaian yang diukir lembaga negara paling dipercaya publik itu sejak
berdirinya tahun 2002.
Fakta tak
terbantahkan, semua kasus korupsi yang diusut KPK dan berlanjut ke Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) secara meyakinkan berhasil membuktikan
kesalahan tersangka korupsi, sebagaimana tecermin dari keputusan pengadilan
menjatuhkan vonis hukuman. Dengan tingkat keyakinan (conviction rate) 100 persen, KPK bukan hanya bekerja profesional,
melainkan juga sangat presisional dalam membidik koruptor, terlepas dari
ingar-bingar yang menyertai pengungkapan kasus dan penangkapan pelaku.
Secara preventif, KPK
telah menyiapkan peta jalan penyelamatan dan pencegahan korupsi, khususnya di
bidang sumber daya alam dan anggaran negara. Juga kerja sama masif, organik,
dan terstruktur dengan banyak organisasi massa, kaukus, gerakan-gerakan
otonom dalam masyarakat, dan lembaga pengawasan pemerintah, terutama dalam
mendiseminasikan Pakta Integritas, gratifikasi, dan tata kelola keuangan
negara. Dari jejaring inilah, KPK banyak beroleh informasi, umpan balik, dan
dukungan kuat.
Kedua, kehadiran KPK
sedari awal pembentukannya diniatkan untuk memberi trigger mechanism bagi
lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, agar lebih
efektif memberantas korupsi. Fungsi
stimulus KPK ini belum berjalan dan sering kali menimbulkan resistensi sampai
perlawanan frontal, sebagaimana tecermin pada episode "Cicak vs
Buaya" jilid I dan II. Kenyataan ini seharusnya mengantarkan pada
pemahaman mendalam bahwa reformasi di tubuh penegak hukum masih jauh dari
harapan, sekaligus menegaskan perlunya memperkuat eksistensi dan operasi KPK.
Ketiga, induk
perundang-undangan pemberantasan korupsi adalah UU No 20/2001 tentang
Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Fokus dan seluruh upaya pembenahan untuk menciptakan sistem pemberantasan
korupsi yang lebih memadai dengan kebutuhan dan tantangan semestinya bermula
dari evaluasi menyeluruh terhadap kekurangan dan implementasi UU tersebut.
Keempat, respons
persepsi dan penilaian umum terhadap
kinerja dan integritas DPR-diakui atau tidak-berada pada titik nadir setelah
serentetan kasus korupsi yang menyeret anggota Dewan sepanjang lebih dari
satu dekade terakhir. Inisiatif dan kengototan DPR mengajukan revisi UU KPK
memantik pertanyaan dan kecurigaan besar yang perlu dinilai motifnya
melalui audit terbuka berupa proses
deliberasi publik dan uji naskah akademis, dengan meletakkan kepentingan
bangsa di atas semua tujuan. Apabila proses ini diabaikan, DPR dapat dianggap
menempatkan dirinya sebagai "musuh bersama" semua kekuatan dan
gerakan anti korupsi.
Kelima, cakupan
korupsi menurut UU No 20/2001 hanya terbatas di sektor publik. Per definisi, pengertian menurut UU itu tidak meliputi korupsi oleh swasta,
pihak asing yang beroperasi di Indonesia, dan tidak memasukkan kejahatan
pencucian uang. Semua bentuk politik uang yang sebenarnya bisa dikategorikan
sebagai penyuapan dan gratifikasi justru terdapat dalam UU Pemilu dengan
aturan penindakan yang sangat terbatas.
Demikian pula
transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi predicate crime tidak
menjadi ranah operasi KPK. Keterbatasan wewenang KPK akibat payung hukum yang
tidak memadai itu seharusnya mendorong implementasi seluruh peraturan
perundangan agar sesuai dengan cakupan
korupsi seperti termuat dalam United
Nations Convention Against Corruption 2003, di mana Indonesia ikut serta
meratifikasinya.
Pelemahan KPK
Sumber dan derivasi
korupsi struktural di negeri ini masih jauh dari jangkauan KPK. Alih-alih
memperkuat KPK sebagai ujung tombak pemberantasan kejahatan kemanusiaan
tersebut, kecenderungan pelemahan KPK yang terus berlangsung menyisakan
keganjilan dalam praksis berbangsa dan bernegara.
Empat butir usulan
dalam draf revisi UU KPK berupa (1)
izin penyadapan, (2) pembentukan dewan pengawas, (3) kewenangan untuk
menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan, dan (3) ketentuan terkait
penyelidik dan penyidik, jelas mengirim sinyal perlucutan kewenangan KPK.
Butir-butir pokok dalam draf revisi dimaksud sama sekali tidak menjawab
kebutuhan esensial dalam kerangka menyeluruh dan mendasar upaya pemberantasan
korupsi.
Usulan itu dapat
dinilai sebagai bentuk resistensi partai-partai politik terhadap sepak
terjang KPK ketimbang sebagai wujud kekhawatiran lembaga itu bakal berkembang
menjadi super body. Boleh jadi, dari perspektif parpol, korupsi
endemik yang menjangkiti dan melibatkan kader parpol, anggota DPR/DPRD, dan
kepala daerah hanya dapat diselamatkan dengan membatasi peran dan wewenang
KPK. Jalan pintas dari nalar dangkal
ini tidak mampu menemukan jalan yang lebih terhormat, misalnya dengan membuat
konsensus baru pendanaan parpol dari sumber resmi yang berasal dari APBN atau
sumber sah lainnya.
Mahkamah sejarah
Dalam konstelasi
politik mutakhir, kita sedang menyaksikan "bulan madu" perkawinan
kepentingan dua kutub kekuatan yang semula berlawanan. Pada satu sisi,
berhimpunnya mayoritas parpol yang merapat ke pemerintah memastikan
kelancaran agenda dan program sampai 2019. Pada sisi sebaliknya, ketiadaan
kontrol dan keseimbangan peran membuka peluang munculnya
kesepakatan-kesepakatan baru yang bersifat saling menjerat atau
melindungi. Dalam situasi pendulum
politik penuh kompromi kepentingan ini, kita menjumpai paradoks nilai-nilai
dan kehilangan pegangan untuk memandu
bangsa ke arah kemajuan substansial.
Kita mendapatkan
pelajaran otentik dari riwayat bangsa-bangsa yang berhasil menjaga
martabatnya dan meraih lompatan mengesankan dalam perlombaan memuliakan
watak-otak sebagai basis pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan. Salah
satu karakteristik atau resepnya adalah zero
tolerance terhadap semua bentuk penyimpangan yang mengancam hajat hidup
rakyat. Merawat eksistensi KPK
merupakan salah satu cara menyelamatkan bangsa dari ancaman kehancuran.
Kita lalai memenuhi
pesan pendiri republik untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa" yang
diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dan malah tunduk pada pragmatisme,
transaksi, dan berkecamuknya disorientasi nilai. Cara, sikap, dan tindakan
kita dalam menghadapi usulan revisi UU KPK kelak akan memperlihatkan apakah
membiarkan wabah korupsi semakin meruyak, atau sebaliknya: mampu
mempersembahkan ikhtiar bersama untuk bangkit menjadi bangsa maju dan
beradab. Tanggung jawab besar ini kelak diuji oleh mahkamah sejarah dan
generasi masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar