Jalan Panjang Membangun Angkutan Massal
M Puteri Rosalina ; Litbang Kompas
|
KOMPAS, 10
Februari 2016
Setelah menunggu
setengah abad lebih, impian Jakarta untuk memiliki angkutan massal berbasis
rel sebentar lagi akan terwujud. Tahun 2018, mass rapid transportation (MRT)
dan light rail transit (LRT) akan beroperasi berbarengan untuk mengurangi
kepadatan lalu lintas. Selama ini, masalah biaya, pembebasan lahan, bahkan
pergantian kepemimpinan menjadi penghambat impian pemerintah dan warga Jakarta
untuk memiliki angkutan massal cepat.
Sebelum bus
transjakarta tahun 2004, sebenarnya Jakarta pernah memiliki angkutan massal,
yakni trem. Trem pada tahun 1869 dihadirkan Belanda di Kota Batavia sebagai
alat transportasi. Trem generasi pertama tersebut menggunakan tenaga empat
kuda.
Setelah itu sekitar
tahun 1881, moda transportasi berganti menjadi trem uap. Trem dengan tungku
bahan bakar batubara di bagian depan ini jarak tempuhnya lebih jauh
dibandingkan trem kuda. Kelemahan trem ini adalah suaranya yang bising.
Hampir 20 tahun
kemudian muncul trem listrik. Namun, trem listrik ini tidak lantas menghapus
keberadaan trem uap. Trem uap baru berhenti beroperasi tahun 1933. Trem ini
menggunakan tenaga listrik melalui pantograf dan kabel-kabel listrik di atasnya.
Akhirnya trem listrik
ini harus mengakhiri tugasnya pada tahun 1960. Gubernur Sudiro menghapus trem
karena dianggap sumber kemacetan, terutama di jalur Gajah Mada. Presiden
Soekarno pun tidak menyetujui keberadaan trem dan mengusulkan metro atau kereta
api bawah tanah sebagai pengganti moda transportasi massal tersebut.
Sejak trem listrik
dihapuskan, Jakarta mulai kehilangan transportasi massal yang membantu
mobilitas warga di dalam kota. Perannya digantikan oleh bus yang dikelola
oleh PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Daya angkut bus yang hanya bisa
mengangkut maksimal 60 orang tersebut jauh lebih kecil dibandingkan trem
listrik yang rangkaiannya bisa menarik tiga gerbong. Sebenarnya pada tahun
1925 sudah mulai beroperasi kereta api yang ditarik lokomotif listrik. Namun,
rutenya terbatas hanya Jakarta Kota-Pasar Senen-Jatinegara dan belum
beroperasi rutin.
Rencana awal kereta rel
Penghapusan trem
menjadi penyesalan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sejumlah pimpinan
DKI berupaya untuk mengembangkan sistem kereta api listrik yang sudah ada
serta membangkitkan kembali angkutan massal berbasil rel. Namun, upaya
tersebut hanyalah rencana indah di atas kertas yang tak pernah terwujud.
Angkutan massal,
menurut Modul "Opsi Angkutan Massal: Transportasi Berkelanjutan",
beroperasi pada jalur khusus tetap atau jalur umum potensial yang terpisah
serta digunakan secara eksklusif. Moda ini beroperasi sesuai jadwal yang
ditetapkan dengan rute yang didesain dengan perhentian-perhentian tertentu.
Hal terpenting, angkutan massal ini bisa mengangkut banyak orang sehingga
mengurangi volume lalu lintas di jalan raya.
Mengacu pada hal
tersebut, Gubernur Soemarno (1964) menyarankan menggunakan kereta api bawah
tanah di dalam kota untuk menggantikan jalur kereta api permukaan
Manggarai-Gambir-Jakarta Kota dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota yang telah
ada. Pertimbangannya, ke depan akan timbul kemacetan lalu lintas seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan mobilitasnya. Daya angkut kereta yang
saat itu bisa mengangkut 80.000 orang per hari lebih efisien dibandingkan
mengangkut 80.000 orang menggunakan 2.650 bus. Namun, rencana tersebut gagal
karena keterbatasan dana.
Tak puas dengan
berbagai rencana pengembangan transportasi massal, tahun 1993 muncul usulan
rencana untuk membangun transportasi LRT. LRT yang direncanakan dibangun
menyatu dengan pola KA Jabotabek memakai teknologi baru aeromovel, yakni
kereta penumpang yang digerakkan oleh udara. Tahap pertama pengembangan LRT
ini adalah membangun rel ganda antara Tangerang-Bekasi sepanjang 36,5
kilometer dan Blok M-Jakarta Kota dan simpang Jalan Sudirman-Jalan Casablanca
(15 km).
Namun, pembangunan
jalur Blok M-Kota dikhawatirkan akan mengganggu pengguna gedung-gedung tinggi
di kawasan Sudirman-Thamrin. Secara fisik, jalur MRT tersebut akan terdiri
dari tiga susun (triple decker), yaitu lantai atas untuk jalan tol, lantai
tengah untuk jalur LRT, serta lantai dasar merupakan jalan raya yang sudah
ada sekarang.
Sampai 2001 pada masa
pemerintahan kedua Gubernur Sutiyoso, rencana pembangunan triple decker belum
juga terwujud. Padahal, transportasi massal tersebut dijanjikan sudah
beroperasi pada tahun 2000. Di tengah janji-janji manis tersebut, muncul
usulan mengatasi kemacetan Jakarta dengan transportasi massal monorel dan bus
transjakarta.
Belakangan, rencana
pembangunan monorel malah tak pernah terwujud sampai sekarang meski tiang
pancangnya sudah kadung berdiri. Faktor ketidakjelasan proyek, dana
investasi, serta daya tampungnya yang lebih kecil membuat proyek ini
dibatalkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada September 2015.
Bus transjakarta
Akhirnya, setelah
puluhan tahun rencana pembangunan transportasi massal tak pernah terlaksana
di Jakarta, pada tahun 2004 lahirlah angkutan massal berbasis jalan raya.
Moda yang menggunakan jalur khusus di jalan raya ini bernama bus
transjakarta.
Bus transjakarta
dipilih oleh Gubernur Sutiyoso saat itu karena biayanya lebih murah
dibandingkan monorel ataupun MRT. Berdasarkan buku Busway, Terobosan
Penanganan Transportasi Jakarta (Dagun, 2006), per kilometer bus transjakarta
membutuhkan dana 0,8 juta-2 juta dollar AS. Nilai ini sangat murah
dibandingkan monorel atau MRT. Sebagai perbandingan, ongkos membangun MRT di
Singapura yang per kilometernya bernilai 45-105 juta dollar AS setara dengan
biaya membangun bus transjakarta sepanjang 135 kilometer.
Meski murah, sejumlah
pihak mengkhawatirkan kehadiran bus transjakarta tersebut akan menimbulkan
kemacetan baru karena memakai satu jalur pada ruas jalan raya. Alasan lainnya
kapasitas bus ini jauh lebih rendah dibandingkan MRT atau monorel.
Kapasitas bus sekali
angkut adalah 85 penumpang, sedangkan kereta komuter bisa mengangkut 1.000
penumpang dalam satu rangkaian. Namun, saat itu Dinas Perhubungan DKI Jakarta
meyakinkan meski kapasitasnya lebih sedikit, dengan ketersediaan armada yang
banyak serta waktu tunggu yang berkisar 25 detik akan bisa menyamai kemampuan
angkutan berbasis rel.
Soal menimbulkan
kemacetan, Dinas Perhubungan yakin jika kebijakan push and pull berjalan,
tidak akan berdampak pada kondisi lalu lintas. Kebijakan tersebut berupaya
menekan penggunaan kendaraan pribadi agar keluar dari sistem jaringan jalan
dengan menyediakan angkutan bus dan pengumpan yang mampu menarik mereka agar
beralih ke angkutan umum.
Namun, sampai
sekarang, bus transjakarta yang sudah menjadi 12 koridor (sekitar 220 km)
belum sepenuhnya bisa menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta. Pengguna
kendaraan pribadi belum mau beralih ke bus transjakarta karena kualitas
armadanya yang semakin menurun, waktu tunggu yang lama, serta kesulitan untuk
menjangkau halte bus dari lingkungan permukiman. Penumpang bus transjakarta
pun cenderung stagnan beberapa tahun terakhir ini. Jumlah penumpang
transjakarta yang rata-rata 350.000 orang per hari saat ini masih jauh dari
target 1 juta orang per hari pada akhir tahun 2016.
MRT dan LRT
Setahun setelah bus
transjakarta beroperasi, usulan membangun angkutan massal berbasis rel MRT
kembali mencuat. Saat itu, Presiden menegaskan bahwa proyek MRT Jakarta merupakan
proyek nasional. Berangkat dari hal tersebut, pemerintah pusat dan Pemprov
DKI Jakarta kemudian bergerak dan saling berbagi tanggung jawab. Pencarian
dana pinjaman disambut oleh Pemerintah Jepang.
Akhirnya tanggal 10
Oktober 2013, proyek MRT diresmikan dengan proses peletakan batu pertama oleh
Gubernur Joko Widodo di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. PT MRT Jakarta bertindak
selaku penanggung jawab proyek yang akan selesai pada 2018. Proyek kereta
yang bisa mengangkut 173.000 penumpang ini memiliki panjang bentangan ke
koridor selatan-utara dan timur-utara 110,8 kilometer. Pada tahap pertama
akan dibangun koridor selatan-utara dari Lebak Bulus-Bundaran HI. Pembangunan
ruas koridor ini sekarang sudah menghasilkan dua terowongan untuk jalur MRT
dari Patung Pemuda hingga Stasiun Senayan.
Dua tahun kemudian,
proyek angkutan massal LRT diresmikan pada 9 September oleh Presiden Joko
Widodo di Gerbang Tol TMII, Jakarta Timur. Proyek kereta ringan ini dibangun
oleh pemerintah pusat yang menitikberatkan untuk mengatasi kemacetan lalu
lintas di kawasan Cibubur, Bogor, dan Bekasi. Adapun Pemprov DKI Jakarta juga
berencana membangun LRT di dalam kota Jakarta. Namun, proyek pembangunan
tersebut harus menunggu empat bulan lagi karena PT Jakpro harus mengkaji
ulang desain dasar dan trase LRT (Kompas, 19 Januari 2016).
Diharapkan kereta
ringan dan kereta berat bisa berkolaborasi bersama. Kereta ringan yang
kapasitasnya hanya 400 penumpang dalam setiap rangkaiannya bisa menjadi
pengumpan bagi angkutan massal MRT yang berkapasitas lebih besar (1.950
penumpang per rangkaian). Namun, fasilitas pendukung kedua moda massal ini,
seperti stasiun, jumlah armada, serta sistem tiket, haruslah nyaman, mudah
diakses, serta murah.
Selanjutnya, kedua
angkutan massal ini yang beroperasi bersamaan ini bisa terintegrasi dengan
angkutan massal yang sudah ada, yakni bus transjakarta dan kereta komuter.
Tahun 2018 menjadi penentu, apakah moda massal yang telah beroperasi mampu
menarik minat pengguna kendaraan pribadi sehingga berdampak pada berkurangnya
kemacetan lalu lintas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar