Tanggung Jawab Sosial Pers Nasional
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum UGM; Penasihat PWI
DIY
|
KORAN SINDO, 09
Februari 2016
Organisasi Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) didirikan 9 Februari 1946 di Solo, Jawa Tengah.
Tanggal bersejarah itu berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1985
ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Puncak peringatan HPN
2016 dipusatkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Presiden Joko Widodo
beserta para menteri, tokoh nasional, dan tokoh pers dipastikan hadir.
Sejumlah kegiatan mewarnai HPN, seperti Pelayaran Wartawan menggunakan KRI
Makassar dari Pangkalan Utama Armada Timur TNI AL Ujung, Surabaya menuju
Pantai Senggigi, Lombok.
Digelar pula bakti
kemanusiaan, operasi katarak, sebagai upaya membantu meringankan beban
saudara-saudara kita, sekaligus sebagai upaya pencapaian visi pemerintah
2020, yaitu menurunkan tingkat penderita katarak di Indonesia. NTB adalah
daerah penderita katarak tertinggi di dunia. Perjalanan panjang sampai di
usia ke-70 tahun, Pers nasional sudah banyak makan garam kehidupan.
Manis-asin, suka-duka, harapan-tantangan, silih berganti, berkelindan mewarnai
kehidupannya.
Satu hal penting perlu
dikawal bersama, yakni tanggung jawab sosial pers nasional. Perlu disadari
bersama bahwa pers tidak hidup dan beraktivitas di ruang kosong (vacuum room). Pers adalah bagian dari
hidup dan kehidupan masyarakat, bangsa, negara, bahkan global. Permasalahan
yang dihadapi masyarakat hendaknya dipandang sebagai permasalahan pers juga,
dan oleh karenanya tanggung jawab sosial pers secara intrinsik berada
sepanjang waktu.
Frederick S Siebert
(1963), dalam teori pers tanggung jawab sosial mengemukakan bahwa kebebasan
pers harus disertai dengan tanggung jawab sosial, diatasi oleh dasar moral
dan hati nurani. Hemat saya, UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, telah
mengakomodasi teori pers tanggung jawab sosial ini, antara lain: Pasal 3 (1)
”Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan kontrol sosial”.
Presiden Joko Widodo,
pernah memerintahkan agar televisi-televisi swasta, termasuk TVRI , bisa
menjadi instrumen penjaga moralitas dan mentalitas bangsa (22/8/15). Sayang,
kesepakatan para direktur program televisi untuk mengevaluasi tayangan-
tayangannya agar ke depan tayangan- tayangan tersebut memenuhi aspek
pendidikan dan komponen moral, ternyata isapan jempol belaka.
Katanya, akan ditinjau
ulang perihal rating, sebagai komponen yang selalu menjadi patokan mendesain
tayangan. Ini pun masih nihil belaka. Teks UU dan perintah Presiden, ternyata
masih sebatas ”wacana” untuk perwujudan tanggung jawab sosial pers nasional,
tetapi seberapa jauh pesan-pesannya efektif secara sosial, sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor, utamanya: independensi, dan jati diri.
Persoalan
independensi, penting dibahas, agar publik, komunitas lain, khususnya
pemerintah mau mengerti dan bersikap proporsional terhadap eksistensi pers
nasional sebagai komunitas yang khas, esoterik dan independen. Independensi
(dari kata indie) berarti bebas,
merdeka, berdiri sendiri. Secara singkat, apa yang dimaksud independensi pers
nasional adalah kenetralan, kemandirian, ketidakbergantungan pers nasional
kepada pihak lain.
Dalam posisi demikian,
pers nasional bekerja tanpa ada paksaan, tekanan, atau kendali siapa pun,
selain rambu- rambu etika, moral, dan kesusilaan, serta responsivitas sebagai
wujud pertanggungjawaban sosial. Tersurat pada Pasal 5 (1) UU Pers bahwa:
”Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah”.
Dengan demikian,
independensi bukanlah kebebasan absolut, melainkan vrijheid in gebendenheid
(kebebasan dalam keterikatan). Kemerdekaan pers nasional telah mendapatkan
jaminan konstitusi dan hukum positif. Namun dalam praktik, para jurnalis dan
pekerja media massa masih menghadapi ancaman, baik internal maupun eksternal.
Ancaman internal berupa intervensi pemilik media ke dalam ruang redaksi (news room).
Pemilik media dengan
kepentingannya– mulai kepentingan usaha sampai kepentingan politik– menjadi
pengekang kebebasan pers paling besar, dan kepentingannya rentan berbenturan
dengan kepentingan publik. Maka, menjadi terang-benderang, kenapa untuk kasus
yang sama, dua stasiun TV atau media cetak memberitakannya dengan tekanan
berbeda. Sejak intervensi berkelindan, sejak saat itulah independensi
terkoyak. Amat mengerikan ketika intervensi eksternal kepada pers muncul
dalam bentuk ancaman pembunuhan.
Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mencatat, sejak 1992 hingga 2015, terdapat 1.123 jurnalis di
seluruh dunia terbunuh karena aktivitas jurnalistiknya. Di Indonesia, ada
delapan kasus kematian jurnalis yang belum diusut tuntas oleh kepolisian.
Ditambah 37 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 3 Mei 2014 hingga 3 Mei
2015. AJI mensinyalir, bahwa di era reformasi, pemilik media, aparat
pemerintah, hingga tekanan dan aksi di lapangan, berpotensi mengekang
kebebasan pers.
Runtuhnya independensi
pers nasional, dalam banyak hal terkait pula dengan lunturnya jati diri.
Terpulang pada peranan pers nasional (Pasal 6), maka komitmen dan jati diri
Pers nasional mestinya menjadi pers promasyarakat, pers prokeadilan, dan pers
prokebenaran. Pers nasional, insan pers, pekerja media, wajib kembali ke
jalur profesional, setia pada kode etik.
Perteguh komitmen pada
prinsip cover both side (meliput
semua pihak terkait). Pertahankan jati diri, agar tidak silau gemerlapnya
kehidupan duniawi, tidak lupa terhadap tanggung jawab sosialnya. Sejak
reformasi 1988, iklim kehidupan berbangsa telah berubah. Idiom-idiom baru
seperti transparansi, demokrasi, dan hak asasi, semakin dominan.
Sejalan dengan arus
perubahan, Pers nasional, perlu mengaktualisasikan tanggung jawab sosialnya
secara konstruktif dan produktif untuk kepentingan bangsa dan negara. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar