Rabu, 10 Februari 2016

Tanggung Jawab Sosial Pers Nasional

Tanggung Jawab Sosial Pers Nasional

Sudjito  ;   Guru Besar Ilmu Hukum UGM; Penasihat PWI DIY
                                               KORAN SINDO, 09 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) didirikan 9 Februari 1946 di Solo, Jawa Tengah. Tanggal bersejarah itu berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1985 ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Puncak peringatan HPN 2016 dipusatkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Presiden Joko Widodo beserta para menteri, tokoh nasional, dan tokoh pers dipastikan hadir. Sejumlah kegiatan mewarnai HPN, seperti Pelayaran Wartawan menggunakan KRI Makassar dari Pangkalan Utama Armada Timur TNI AL Ujung, Surabaya menuju Pantai Senggigi, Lombok.

Digelar pula bakti kemanusiaan, operasi katarak, sebagai upaya membantu meringankan beban saudara-saudara kita, sekaligus sebagai upaya pencapaian visi pemerintah 2020, yaitu menurunkan tingkat penderita katarak di Indonesia. NTB adalah daerah penderita katarak tertinggi di dunia. Perjalanan panjang sampai di usia ke-70 tahun, Pers nasional sudah banyak makan garam kehidupan. Manis-asin, suka-duka, harapan-tantangan, silih berganti, berkelindan mewarnai kehidupannya.

Satu hal penting perlu dikawal bersama, yakni tanggung jawab sosial pers nasional. Perlu disadari bersama bahwa pers tidak hidup dan beraktivitas di ruang kosong (vacuum room). Pers adalah bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat, bangsa, negara, bahkan global. Permasalahan yang dihadapi masyarakat hendaknya dipandang sebagai permasalahan pers juga, dan oleh karenanya tanggung jawab sosial pers secara intrinsik berada sepanjang waktu.

Frederick S Siebert (1963), dalam teori pers tanggung jawab sosial mengemukakan bahwa kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab sosial, diatasi oleh dasar moral dan hati nurani. Hemat saya, UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, telah mengakomodasi teori pers tanggung jawab sosial ini, antara lain: Pasal 3 (1) ”Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”.

Presiden Joko Widodo, pernah memerintahkan agar televisi-televisi swasta, termasuk TVRI , bisa menjadi instrumen penjaga moralitas dan mentalitas bangsa (22/8/15). Sayang, kesepakatan para direktur program televisi untuk mengevaluasi tayangan- tayangannya agar ke depan tayangan- tayangan tersebut memenuhi aspek pendidikan dan komponen moral, ternyata isapan jempol belaka.

Katanya, akan ditinjau ulang perihal rating, sebagai komponen yang selalu menjadi patokan mendesain tayangan. Ini pun masih nihil belaka. Teks UU dan perintah Presiden, ternyata masih sebatas ”wacana” untuk perwujudan tanggung jawab sosial pers nasional, tetapi seberapa jauh pesan-pesannya efektif secara sosial, sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, utamanya: independensi, dan jati diri.

Persoalan independensi, penting dibahas, agar publik, komunitas lain, khususnya pemerintah mau mengerti dan bersikap proporsional terhadap eksistensi pers nasional sebagai komunitas yang khas, esoterik dan independen. Independensi (dari kata indie) berarti bebas, merdeka, berdiri sendiri. Secara singkat, apa yang dimaksud independensi pers nasional adalah kenetralan, kemandirian, ketidakbergantungan pers nasional kepada pihak lain.

Dalam posisi demikian, pers nasional bekerja tanpa ada paksaan, tekanan, atau kendali siapa pun, selain rambu- rambu etika, moral, dan kesusilaan, serta responsivitas sebagai wujud pertanggungjawaban sosial. Tersurat pada Pasal 5 (1) UU Pers bahwa: ”Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.

Dengan demikian, independensi bukanlah kebebasan absolut, melainkan vrijheid in gebendenheid (kebebasan dalam keterikatan). Kemerdekaan pers nasional telah mendapatkan jaminan konstitusi dan hukum positif. Namun dalam praktik, para jurnalis dan pekerja media massa masih menghadapi ancaman, baik internal maupun eksternal. Ancaman internal berupa intervensi pemilik media ke dalam ruang redaksi (news room).

Pemilik media dengan kepentingannya– mulai kepentingan usaha sampai kepentingan politik– menjadi pengekang kebebasan pers paling besar, dan kepentingannya rentan berbenturan dengan kepentingan publik. Maka, menjadi terang-benderang, kenapa untuk kasus yang sama, dua stasiun TV atau media cetak memberitakannya dengan tekanan berbeda. Sejak intervensi berkelindan, sejak saat itulah independensi terkoyak. Amat mengerikan ketika intervensi eksternal kepada pers muncul dalam bentuk ancaman pembunuhan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sejak 1992 hingga 2015, terdapat 1.123 jurnalis di seluruh dunia terbunuh karena aktivitas jurnalistiknya. Di Indonesia, ada delapan kasus kematian jurnalis yang belum diusut tuntas oleh kepolisian. Ditambah 37 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 3 Mei 2014 hingga 3 Mei 2015. AJI mensinyalir, bahwa di era reformasi, pemilik media, aparat pemerintah, hingga tekanan dan aksi di lapangan, berpotensi mengekang kebebasan pers.

Runtuhnya independensi pers nasional, dalam banyak hal terkait pula dengan lunturnya jati diri. Terpulang pada peranan pers nasional (Pasal 6), maka komitmen dan jati diri Pers nasional mestinya menjadi pers promasyarakat, pers prokeadilan, dan pers prokebenaran. Pers nasional, insan pers, pekerja media, wajib kembali ke jalur profesional, setia pada kode etik.

Perteguh komitmen pada prinsip cover both side (meliput semua pihak terkait). Pertahankan jati diri, agar tidak silau gemerlapnya kehidupan duniawi, tidak lupa terhadap tanggung jawab sosialnya. Sejak reformasi 1988, iklim kehidupan berbangsa telah berubah. Idiom-idiom baru seperti transparansi, demokrasi, dan hak asasi, semakin dominan.

Sejalan dengan arus perubahan, Pers nasional, perlu mengaktualisasikan tanggung jawab sosialnya secara konstruktif dan produktif untuk kepentingan bangsa dan negara. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar