Jumat, 12 Februari 2016

Hater di Ruang Publik

Hater di Ruang Publik

Rahma Sugihartati  ;   Ketua serta Dosen Departemen Ilmu Informasi dan Ilmu Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga Surabaya
                                                   JAWA POS, 10 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BERUJAR sembarangan di dunia maya tak hanya tidak bijak, tetapi juga berisiko membuat pelaku dibawa ke meja hijau. Pesan itu bisa diambil dari kasus netizen yang ditangkap Deddy Corbuzier gara-gara mengumbar pernyataan yang melecehkan dan berbau SARA.

Deddy berhasil menangkap Antho Nugroho, netizen dari Jambi yang berkomentar tak senonoh di Instagram milik presenter dan mentalis kondang tersebut. Antho menyebut Chika Jessica, artis rekan kerja Deddy, sebagai PSK. Dia juga menuding Deddy dengan istilah berbau SARA. Keberadaan Antho berhasil dilacak dan kemudian ditangkap Deddy.

Dewasa ini, kesempatan semua orang yang memiliki teknologi informasi (TI) dan bisa mengakses internet memang terbuka untuk menyampaikan apa pun. Di era digital seperti sekarang, siapa pun bisa mengolah informasi dan kemudian menyirkulasikannya secara bebas di media sosial. Tetapi, ketika orang tidak memahami dengan benar perkembangan TI yang luar biasa cepat dan memudahkan, bisa dipahami jika yang terjadi kemudian adalah sebagian orang bertindak kebablasan.

Perkembangan TI, terutama jaringan internet yang luar biasa pesat di kalangan digital natives, di satu sisi mungkin benar telah melahirkan berbagai ruang publik (public sphere) yang makin terbuka dan bahkan tanpa batas untuk menjadi saluran bagi para netizen untuk menyampaikan aspirasi sosial politiknya. Tetapi, di sisi lain, ruangruang publik yang ada di cyberspace ternyata juga berisiko menghadirkan orang-orang seperti Antho.

Public sphere atau ruang publik pada dasarnya adalah wilayah dalam kehidupan sosial yang memungkinkan setiap warga negara berbicara dan terlibat dalam berbagai silang pendapat serta secara bersama-sama membentuk pendapat umum. Ruang publik atau disebut juga ranah khalayak pada dasarnya adalah ruang politik tempat berlangsungnya pembahasan, perdebatan, dan pengambilan keputusan bersama (Kusumawijaya & Hamdi, 2011). Melalui kehadiran ruang publik, masyarakat diharapkan dapat mengorganisasi diri untuk membangun pendapat umum, melontarkan kritik, dan bertindak sebagai watchdog sebagai bagian dari upaya masyarakat sipil yang madani untuk melakukan kontrol demokratik terhadap perilaku kelas yang berkuasa dan kelas kapitalistis yang acap kali mengeksploitasi masyarakat.

Siapa pun para netizen yang merupakan bagian dari digital natives, di atas kertas mereka sebetulnya memiliki peluang untuk mengakses ruang publik dan memanfaatkannya untuk menyalurkan aspirasi sosial politik mereka. Tanpa khawatir akan dihambat regulasi kelas yang berkuasa melalui wewenang mereka membatasi kebebasan media atau melakukan penyumbatan media komunikasi yang ada. Tetapi, ketika anak-anak muda ini tumbuh dalam lingkungan sosial yang mismatch dengan kultur dan tata krama komunitas cyberspace, yang terjadi kemudian adalah tindakan yang melanggar etika dan bahkan tak jarang masuk ke ranah kriminal.

Per teori, kehadiran ruang publik dan internet yang seharusnya menjadi pilar penyangga kehidupan berdemokrasi memang diharapkan dapat menjadi instrumen yang membuka wawasan para netizen dari hegemoni informasi yang serbatunggal seperti era Orde Baru dahulu. Di era pascareformasi, ketika media berkembang makin terdeferensiasi, dan informasi yang diekspos ke ruang publik makin beraneka ragam, seharusnya yang terjadi kemudian adalah munculnya sikap kritis yang makin meningkat. Sebab, para netizen menjadi bagian dari gerakan civil society yang makin berdaya untuk terus mengembangkan kontrol terhadap para penguasa.

Tetapi, bukannya tumbuh menjadi bagian dari kekuatan kontrol dan kritis terhadap berbagai aksi penyimpangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam kenyataan, tidak sekali dua kali terjadi di komunitas cyberspace justru muncul para hater yang kerap memanfaatkan media sosial dan internet untuk bergunjing ”seenak udelnya” sendiri: mengkritik, mencaci maki orang lain, tanpa mempertimbangkan dampak sosial psikologis yang dialami korban.

Bukan rahasia lagi, media sosial selama ini senantiasa dipenuhi citraan-citraan hiperealitas yang penuh dengan distorsi atas kebenaran, pemutarbalikan fakta dan penyelewenganmakna.Ruangpublik dalam era masyarakat posindustrial sering kali menjadi media bagi siapa pun untuk menyampaikan apa yang menjadi unek-uneknya, tapi sebagian di antaranya kadang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Bagi netizen yang belum didukung pengetahuan dan tingkat literasi yang memadai, mereka biasanya belum memahami dengan baik bagaimana seharusnya memanfaatkan ruang publik, untuk tujuan apa, dan tata krama seperti apakah yang harus dipatuhi agar tidak menyinggung pihak lain.

Demokrasi Deliberatif

Bagi para netizen, peluang untuk memanfaatkan ruang publik sebagai arena untuk mempercepat persemaian demokrasi deliberatif dan ruang untuk beraktualisasi diri sebagai bagian dari civil society sebetulnya sangatlah terbuka. Namun, disadari, mendorong digital natives untuk terlibat dalam proses pengembangan demokrasi deliberatif bukanlah hal yang mudah. Tanpa didukung kesadaran dan proses pendidikan politik yang mencerahkan dan membongkar hegemoni yang selama ini membelenggu digital natives, harapan agar mereka terlibat dalam proses pengembangan demokrasi deliberatif akan sia-sia.

Youniss & Levine (2009) dalam bukunya, Engaging Young People in Civic Life, menyatakan bahwa membuka minat dan antuasiasme para netizen terlibat dalam proses pengembangan demokrasi tidak hanya harus dilakukan sejak dini melalui peleburan isu tersebut dalam kurikulum pendidikan. Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran mereka sebagai bagian dari warga negara yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan hal-hal yang lebih besar daripada sekadar memanfaatkan ruang publik untuk mencaci maki orang lain. Semoga kasus Antho membuat para netizen belajar memanfaatkan ruang publik dengan benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar