Hater di Ruang Publik
Rahma Sugihartati ; Ketua serta Dosen Departemen Ilmu
Informasi dan Ilmu Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 10 Februari
2016
BERUJAR sembarangan di dunia maya tak hanya
tidak bijak, tetapi juga berisiko membuat pelaku dibawa ke meja hijau. Pesan
itu bisa diambil dari kasus netizen yang ditangkap Deddy Corbuzier gara-gara
mengumbar pernyataan yang melecehkan dan berbau SARA.
Deddy berhasil menangkap Antho Nugroho,
netizen dari Jambi yang berkomentar tak senonoh di Instagram milik presenter
dan mentalis kondang tersebut. Antho menyebut Chika Jessica, artis rekan
kerja Deddy, sebagai PSK. Dia juga menuding Deddy dengan istilah berbau SARA.
Keberadaan Antho berhasil dilacak dan kemudian ditangkap Deddy.
Dewasa ini, kesempatan semua orang yang
memiliki teknologi informasi (TI) dan bisa mengakses internet memang terbuka
untuk menyampaikan apa pun. Di era digital seperti sekarang, siapa pun bisa
mengolah informasi dan kemudian menyirkulasikannya secara bebas di media
sosial. Tetapi, ketika orang tidak memahami dengan benar perkembangan TI yang
luar biasa cepat dan memudahkan, bisa dipahami jika yang terjadi kemudian
adalah sebagian orang bertindak kebablasan.
Perkembangan TI, terutama jaringan internet
yang luar biasa pesat di kalangan digital natives, di satu sisi mungkin benar
telah melahirkan berbagai ruang publik (public sphere) yang makin terbuka
dan bahkan tanpa batas untuk menjadi saluran bagi para netizen untuk
menyampaikan aspirasi sosial politiknya. Tetapi, di sisi lain, ruangruang
publik yang ada di cyberspace ternyata juga berisiko menghadirkan orang-orang
seperti Antho.
Public sphere atau ruang publik pada dasarnya
adalah wilayah dalam kehidupan sosial yang memungkinkan setiap warga negara
berbicara dan terlibat dalam berbagai silang pendapat serta secara
bersama-sama membentuk pendapat umum. Ruang publik atau disebut juga ranah
khalayak pada dasarnya adalah ruang politik tempat berlangsungnya pembahasan,
perdebatan, dan pengambilan keputusan bersama (Kusumawijaya & Hamdi,
2011). Melalui kehadiran ruang publik, masyarakat diharapkan dapat
mengorganisasi diri untuk membangun pendapat umum, melontarkan kritik, dan
bertindak sebagai watchdog sebagai bagian dari upaya masyarakat sipil yang
madani untuk melakukan kontrol demokratik terhadap perilaku kelas yang
berkuasa dan kelas kapitalistis yang acap kali mengeksploitasi masyarakat.
Siapa pun para netizen yang merupakan bagian
dari digital natives, di atas kertas mereka sebetulnya memiliki peluang untuk
mengakses ruang publik dan memanfaatkannya untuk menyalurkan aspirasi sosial
politik mereka. Tanpa khawatir akan dihambat regulasi kelas yang berkuasa
melalui wewenang mereka membatasi kebebasan media atau melakukan penyumbatan
media komunikasi yang ada. Tetapi, ketika anak-anak muda ini tumbuh dalam
lingkungan sosial yang mismatch dengan kultur dan tata krama komunitas
cyberspace, yang terjadi kemudian adalah tindakan yang melanggar etika dan
bahkan tak jarang masuk ke ranah kriminal.
Per teori, kehadiran ruang publik dan internet
yang seharusnya menjadi pilar penyangga kehidupan berdemokrasi memang
diharapkan dapat menjadi instrumen yang membuka wawasan para netizen dari
hegemoni informasi yang serbatunggal seperti era Orde Baru dahulu. Di era pascareformasi,
ketika media berkembang makin terdeferensiasi, dan informasi yang diekspos ke
ruang publik makin beraneka ragam, seharusnya yang terjadi kemudian adalah
munculnya sikap kritis yang makin meningkat. Sebab, para netizen menjadi
bagian dari gerakan civil society yang makin berdaya untuk terus
mengembangkan kontrol terhadap para penguasa.
Tetapi, bukannya tumbuh menjadi bagian dari
kekuatan kontrol dan kritis terhadap berbagai aksi penyimpangan dan
pelanggaran hak asasi manusia. Dalam kenyataan, tidak sekali dua kali terjadi
di komunitas cyberspace justru muncul para hater yang kerap memanfaatkan
media sosial dan internet untuk bergunjing ”seenak udelnya” sendiri:
mengkritik, mencaci maki orang lain, tanpa mempertimbangkan dampak sosial
psikologis yang dialami korban.
Bukan rahasia lagi, media sosial selama ini
senantiasa dipenuhi citraan-citraan hiperealitas yang penuh dengan distorsi
atas kebenaran, pemutarbalikan fakta dan penyelewenganmakna.Ruangpublik dalam
era masyarakat posindustrial sering kali menjadi media bagi siapa pun untuk
menyampaikan apa yang menjadi unek-uneknya, tapi sebagian di antaranya kadang
tak bisa dipertanggungjawabkan.
Bagi netizen yang belum didukung pengetahuan
dan tingkat literasi yang memadai, mereka biasanya belum memahami dengan baik
bagaimana seharusnya memanfaatkan ruang publik, untuk tujuan apa, dan tata
krama seperti apakah yang harus dipatuhi agar tidak menyinggung pihak lain.
Demokrasi Deliberatif
Bagi para netizen, peluang untuk memanfaatkan
ruang publik sebagai arena untuk mempercepat persemaian demokrasi deliberatif
dan ruang untuk beraktualisasi diri sebagai bagian dari civil society
sebetulnya sangatlah terbuka. Namun, disadari, mendorong digital natives
untuk terlibat dalam proses pengembangan demokrasi deliberatif bukanlah hal
yang mudah. Tanpa didukung kesadaran dan proses pendidikan politik yang
mencerahkan dan membongkar hegemoni yang selama ini membelenggu digital
natives, harapan agar mereka terlibat dalam proses pengembangan demokrasi
deliberatif akan sia-sia.
Youniss & Levine (2009) dalam bukunya,
Engaging Young People in Civic Life, menyatakan bahwa membuka minat dan
antuasiasme para netizen terlibat dalam proses pengembangan demokrasi tidak
hanya harus dilakukan sejak dini melalui peleburan isu tersebut dalam
kurikulum pendidikan. Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana
menumbuhkan kesadaran mereka sebagai bagian dari warga negara yang memiliki
tanggung jawab untuk melakukan hal-hal yang lebih besar daripada sekadar
memanfaatkan ruang publik untuk mencaci maki orang lain. Semoga kasus Antho
membuat para netizen belajar memanfaatkan ruang publik dengan benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar