Perintah Presiden Selesaikan Kasus Novel Baswedan
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas
Padjadjaran
|
KORAN SINDO, 09
Februari 2016
Koran Tempo (6/2)
menurunkan berita berjudul ”Jaksa Agung Stop Kasus Novel” yang isinya tentang
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengambil alih kasus dugaan penganiayaan yang
dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan.
Dalam berita tersebut
dikatakan Jaksa Agung akan segera memutuskan perkara itu tidak dilanjutkan.
Pada bagian lain pemberitaan disebutkan, ”Keputusan ini diambil setelah
Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus-kasus yang menjerat mantan
pemimpin dan penyidik KPK yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel
Baswedan segera diselesaikan.
Perintah ini
disampaikan Jokowi kepada Prasetyo dalam pertemuan yang juga dihadiri Kepala
Kepolisian RI Jenderal Pol Badrodin Haiti di Istana Negara .” Berita Koran
Tempo tersebut disambut dengan sukacita oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM)
penggiat antikorupsi, khususnya Indonesia
Corruption Watch (ICW) dan Pusat
Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM.
Dua LSM tersebut vokal
menyerukan Presiden Jokowi untuk menghentikan penyidikan kasus tiga warga
negara Indonesia tersebut. Saya pribadi–sebagai ahli hukum pidana, penggiat
antikorupsi, ketua tim penyusun UU KPK, serta ketua tim persiapan pembentukan
KPK dan UU Pemberantasan Korupsi–merasa berdukacita. Di balik kesukacitaan
kelompok tersebut terselip masalah hakiki terkait tujuan hukum yaitu
kepastian hukum serta keadilan dan kemanfaatan.
Prinsip-prinsip hukum
pidana yang sangat dimuliakan juga terganggu yaitu due process of law, presumption of innocence, dan fair trial,
serta teramat penting adalah prinsip hukum umum yaitu equality before the law. Semua prinsip hukum umum dan hukum
pidana pada khususnya adalah perlindungan hak asasi manusia dan keadilan
hukum (justice by law).
Bukan saja terhadap
pelaku, tetapi juga lebih penting lagi dan mendasar terkait perlindungan hak
asasi korban tindak pidana. Termasuk korban dugaan tindak pidana
penganiayaan, yang diduga telah dilakukan oleh Novel Baswedan, terlepas dari tempus delicti kasus yang bersangkutan
yang telah terjadi sebelum yang bersangkutan menjadi pegawai/penyidik KPK.
Dalam doktrin hukum
pidana, sekalipun seseorang telah melepaskan jabatan dan kedudukannya,
perbuatan pidana tetap melekat pada yang bersangkutan, kecuali karena asas
kedaluwarsa (Pasal 78 KUHP). Tidak berbeda halnya dengan ketentuan Pasal 5
ayat ( 2) KUHP yang menyatakan bahwa penuntutan perkara dapat dilakukan juga
jika tertuduh menjadi warga negara lain (yang telah mengangkat sumpah setia
pada negara yang bersangkutan) sesudah melakukan perbuatan.
Aturan ini harus
dimaknai bahwa bahkan masalah perpindahan kewarganegaraan saja tidak
menghapuskan penuntutan. Kemudian tidak berbeda juga halnya dengan ketentuan
Pasal 4 UU Tipikor tahun 1999 yang menegaskan bahwa pengembalian kerugian
negara tidak menghapuskan penuntutan. ***
Dalam berita Koran
Tempo tersebut (halaman 2) terdapat juga berita dengan judul ”Seponering Dinilai sebagai Jalan Keluar
Terbaik”. Padahal, Jaksa Agung masih belum memutuskan cara yang tepat
untuk ”melepaskan” Novel Baswedan dari jeratan hukum atas perintah Presiden
sebagaimana tercantum dalam berita Koran Tempo tersebut.
Pertanyaan yang masih
mengganjal dalam diri penulis adalah siapakah Novel Baswedan? Ada yang
mengatakan, berkat dialah koruptor kakap dapat ditangkap dan ditangani serta
berhasil membawa mereka ke penjara. Ada yang mengatakan bahwa yang
bersangkutan pahlawan antikorupsi. Kita semua tidak menampik kerja keras yang
bersangkutan dalam penyidikan dan penindakan kasus korupsi.
Meski demikian,
persoalannya bukan terletak pada masalah kerja keras Novel Baswedan.
Keberhasilan KPK bukan ditentukan oleh yang bersangkutan sendiri, melainkan
oleh semua pegawai penyidik dan penuntut KPK. Bukan juga hasil kerja keras
pimpinan KPK perorangan karena setiap kasus harus diputuskan oleh lima pimpinan
secara kolektif.
Pertanyaan berikutnya,
bagaimana kita mengetahui telah terjadi rekayasa kasus Novel Baswedan dan
mengapa yang bersangkutan mencabut kembali upaya hukum praperadilan yang
telah tersedia dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Dan, mengapa
kesimpulan Ombudsman RI yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan wewenang
penyidikan dan penuntutan, yang tidak dapat diajukan gugatan tata usaha
negara terkait penyalahgunaan wewenang dalam rangka penegakan hukum kecuali
praperadilan.
Gugatan praperadilan
yang telah diperluas sejak putusan praperadilan Budi Gunawan dan Hadi
Purnomo, serta putusan Mahkamah Konstitusi RI (MKRI), merupakan mekanisme
hukum lebih dari cukup, tetapi tidak digunakan oleh yang bersangkutan. Bahkan
yang bersangkutan telah menggunakan sarana di luar mekanisme hukum
sebagaimana seharusnya dalam negara hukum, dan tampaknya menurut berita Koran
Tempo telah diamini oleh Presiden sendiri.
Situasi ini sangat
berbeda jika kita bandingkan dengan kasus Antasari Azhar, mantan ketua KPK,
yang kemudian harus mendekam dalam penjara karena dinyatakan bersalah dalam
tindak pidana pembunuhan dan dihukum selama 18 tahun. Tidak ada satu pun
penggiat antikorupsi, pimpinan KPK, berdemo ria untuk membela ”pahlawan”-nya.
Sangat berbeda ketika
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim
Polri. Tetapi, di situlah kebenaran bahwa hukum tidak membedakan seseorang
dalam kedudukan dan jabatannya. Antasari Azhar tidak meminta pertolongan dan
bantuan ke mana pun hanya demi menghormati nilai-nilai keadilan berdasarkan
hukum, bukan berdasarkan kekuasaan.
Saya terheran-heran
dan merasa kaget ketika membaca berita yang secara eksplisit disebutkan ada
perintah Presiden terkait Novel Baswedan. Dalam pandangan saya, seorang
Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangat perhatian
khusus terhadap ”nasib” seorang pelaku Novel Baswedan, tetapi tidak adil
terhadap korban tindak pidana penganiayaan yang diduga telah dilakukan oleh
Novel Baswedan.
Alangkah bahagianya
jika setiap orang ”diperhatikan Presiden” ketika mendapat musibah sebagai
tersangka, sekalipun kebahagiaan semu karena sejatinya ”perhatian” tersebut
adalah pelanggaran hukum. Namun, ada seorang ahli hukum tata negara yang
mengatakan bahwa Presiden sebagai kepala negara dapat ikut campur dalam
proses penegakan hukum.
Mungkin pandangan ahli
hukum tata negara itu benar, tetapi dari sudut hukum pidana memang aneh dan
ganjil karena pernyataan ahli hukum tata negara tersebut tidak teliti dalam
membaca UUD 1945. Bahwa satu-satunya hak prerogatif yang terkait dengan
penegakan hukum tercantum dalam Pasal 14 UUD 1945. Dari sudut hukum pidana
khususnya ketentuan KUHAP UU RI Nomor 8 Tahun 1981, surat penghentian
penyidikan perkara atau dikenal dengan SP3 dikeluarkan hanya jika tidak
terdapat cukup bukti.
Atau, peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan
demi hukum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP) atau dalam tingkat penuntutan, maka
penuntutan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum (Pasal 140 ayat (2) a KUHAP).
Cara lain adalah saponering sesuai dengan Pasal 35
huruf c UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Kendati demikian,
cara terakhir masih dipertanyakan ”demi kepentingan umum”. Bagian mana yang
dapat dijadikan alasan Jaksa Agung harus mengeluarkan saponering, sedangkan perkara Novel Baswedan adalah dugaan tindak
pidana penganiayaan.
Cara terakhir yang
bersifat administrasi projustisia adalah menggunakan Pasal 144 KUHAP yang
menyatakan penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan, dengan tujuan
penyempurnaan atau tidak melanjutkan penuntutan, cara yang mungkin dapat
dilakukan Kejaksaan Agung.
Namun, masih tersisa
pertanyaan. Alasan-alasan hukum penuntut untuk tidak melanjutkan penuntutan
harus diketahui publik secara jelas sehingga tidak terkesan diskriminatif dan
melanggar UU RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
serta Konvensi PBB Antipenyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Perlakuan dan Penghukuman yang Merendahkan (1985) yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah RI.
Selain itu, ”perintah
Presiden” melalui Jaksa Agung juga berlawanan dengan Briefing Paper RUU KUHAP Seri IV -Komite untuk Pembaharuan Hukum
Acara Pidana jaringan LSM untuk Advokasi RUU KUHAP (2009) khusus untuk
perlindungan korban. Jika perintah Presiden benar diwujudkan oleh Jaksa Agung
dengan ”mencari-cari” cara yang pas dengan bersandar pada KUHAP, jelas cocok
dengan pendapat Satjipto Rahardjo (alm).
Dari sisi kepentingan
hukum korban dan dapat digolongkan kepada ”miscarriage
of justice” dari sudut perlindungan hak asasi korban kejahatan. Cara
tersebutdari sudutkepentingan hukum korban hanya akan menghasilkan
ketidakadilan struktural yang telah sejak lama dijadikan jargon kalangan LSM
di Indonesia.
Di sinilah letak
keganjilan sikap LSM di Indonesia, khususnya LSM yang bersifat ambigu, ketika
berhadapan dengan kasus aquo
dibandingkan dengan kasus Antasari Azhar yang notabene pimpinan KPK.
Dalam pandangan saya,
penyelesaian kasus Novel Baswedan–jika terjadi penghentian apa pun nama dan
caranya– justru merupakan antiklimaks terhadap upaya pemerintah menghasilkan
banyak instrumen ratifikasi atas Konvensi Internasional tentang Prinsip
Perlindungan (HAM) Khusus Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Victims of Crime and Abuse of Power, 1985).
Hal ini sekaligus
preseden buruk negara hukum bahwa telah terjadi imunitas–bukan kriminalisasi–
terhadap pimpinan dan pegawai KPK terhadap penegakan hukum yang sangat
menyinggung hati nurani dan keadilan sesama warga negara Indonesia yang
dilindungi UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar