Rabu, 10 Februari 2016

Perintah Presiden Selesaikan Kasus Novel Baswedan

Perintah Presiden Selesaikan Kasus Novel Baswedan

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
                                               KORAN SINDO, 09 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Koran Tempo (6/2) menurunkan berita berjudul ”Jaksa Agung Stop Kasus Novel” yang isinya tentang Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengambil alih kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan.

Dalam berita tersebut dikatakan Jaksa Agung akan segera memutuskan perkara itu tidak dilanjutkan. Pada bagian lain pemberitaan disebutkan, ”Keputusan ini diambil setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus-kasus yang menjerat mantan pemimpin dan penyidik KPK yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan segera diselesaikan.

Perintah ini disampaikan Jokowi kepada Prasetyo dalam pertemuan yang juga dihadiri Kepala Kepolisian RI Jenderal Pol Badrodin Haiti di Istana Negara .” Berita Koran Tempo tersebut disambut dengan sukacita oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) penggiat antikorupsi, khususnya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM.

Dua LSM tersebut vokal menyerukan Presiden Jokowi untuk menghentikan penyidikan kasus tiga warga negara Indonesia tersebut. Saya pribadi–sebagai ahli hukum pidana, penggiat antikorupsi, ketua tim penyusun UU KPK, serta ketua tim persiapan pembentukan KPK dan UU Pemberantasan Korupsi–merasa berdukacita. Di balik kesukacitaan kelompok tersebut terselip masalah hakiki terkait tujuan hukum yaitu kepastian hukum serta keadilan dan kemanfaatan.

Prinsip-prinsip hukum pidana yang sangat dimuliakan juga terganggu yaitu due process of law, presumption of innocence, dan fair trial, serta teramat penting adalah prinsip hukum umum yaitu equality before the law. Semua prinsip hukum umum dan hukum pidana pada khususnya adalah perlindungan hak asasi manusia dan keadilan hukum (justice by law).

Bukan saja terhadap pelaku, tetapi juga lebih penting lagi dan mendasar terkait perlindungan hak asasi korban tindak pidana. Termasuk korban dugaan tindak pidana penganiayaan, yang diduga telah dilakukan oleh Novel Baswedan, terlepas dari tempus delicti kasus yang bersangkutan yang telah terjadi sebelum yang bersangkutan menjadi pegawai/penyidik KPK.

Dalam doktrin hukum pidana, sekalipun seseorang telah melepaskan jabatan dan kedudukannya, perbuatan pidana tetap melekat pada yang bersangkutan, kecuali karena asas kedaluwarsa (Pasal 78 KUHP). Tidak berbeda halnya dengan ketentuan Pasal 5 ayat ( 2) KUHP yang menyatakan bahwa penuntutan perkara dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara lain (yang telah mengangkat sumpah setia pada negara yang bersangkutan) sesudah melakukan perbuatan.

Aturan ini harus dimaknai bahwa bahkan masalah perpindahan kewarganegaraan saja tidak menghapuskan penuntutan. Kemudian tidak berbeda juga halnya dengan ketentuan Pasal 4 UU Tipikor tahun 1999 yang menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan penuntutan. ***

Dalam berita Koran Tempo tersebut (halaman 2) terdapat juga berita dengan judul ”Seponering Dinilai sebagai Jalan Keluar Terbaik”. Padahal, Jaksa Agung masih belum memutuskan cara yang tepat untuk ”melepaskan” Novel Baswedan dari jeratan hukum atas perintah Presiden sebagaimana tercantum dalam berita Koran Tempo tersebut.

Pertanyaan yang masih mengganjal dalam diri penulis adalah siapakah Novel Baswedan? Ada yang mengatakan, berkat dialah koruptor kakap dapat ditangkap dan ditangani serta berhasil membawa mereka ke penjara. Ada yang mengatakan bahwa yang bersangkutan pahlawan antikorupsi. Kita semua tidak menampik kerja keras yang bersangkutan dalam penyidikan dan penindakan kasus korupsi.

Meski demikian, persoalannya bukan terletak pada masalah kerja keras Novel Baswedan. Keberhasilan KPK bukan ditentukan oleh yang bersangkutan sendiri, melainkan oleh semua pegawai penyidik dan penuntut KPK. Bukan juga hasil kerja keras pimpinan KPK perorangan karena setiap kasus harus diputuskan oleh lima pimpinan secara kolektif.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana kita mengetahui telah terjadi rekayasa kasus Novel Baswedan dan mengapa yang bersangkutan mencabut kembali upaya hukum praperadilan yang telah tersedia dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Dan, mengapa kesimpulan Ombudsman RI yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan wewenang penyidikan dan penuntutan, yang tidak dapat diajukan gugatan tata usaha negara terkait penyalahgunaan wewenang dalam rangka penegakan hukum kecuali praperadilan.

Gugatan praperadilan yang telah diperluas sejak putusan praperadilan Budi Gunawan dan Hadi Purnomo, serta putusan Mahkamah Konstitusi RI (MKRI), merupakan mekanisme hukum lebih dari cukup, tetapi tidak digunakan oleh yang bersangkutan. Bahkan yang bersangkutan telah menggunakan sarana di luar mekanisme hukum sebagaimana seharusnya dalam negara hukum, dan tampaknya menurut berita Koran Tempo telah diamini oleh Presiden sendiri.

Situasi ini sangat berbeda jika kita bandingkan dengan kasus Antasari Azhar, mantan ketua KPK, yang kemudian harus mendekam dalam penjara karena dinyatakan bersalah dalam tindak pidana pembunuhan dan dihukum selama 18 tahun. Tidak ada satu pun penggiat antikorupsi, pimpinan KPK, berdemo ria untuk membela ”pahlawan”-nya.

Sangat berbeda ketika Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Tetapi, di situlah kebenaran bahwa hukum tidak membedakan seseorang dalam kedudukan dan jabatannya. Antasari Azhar tidak meminta pertolongan dan bantuan ke mana pun hanya demi menghormati nilai-nilai keadilan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan.

Saya terheran-heran dan merasa kaget ketika membaca berita yang secara eksplisit disebutkan ada perintah Presiden terkait Novel Baswedan. Dalam pandangan saya, seorang Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangat perhatian khusus terhadap ”nasib” seorang pelaku Novel Baswedan, tetapi tidak adil terhadap korban tindak pidana penganiayaan yang diduga telah dilakukan oleh Novel Baswedan.

Alangkah bahagianya jika setiap orang ”diperhatikan Presiden” ketika mendapat musibah sebagai tersangka, sekalipun kebahagiaan semu karena sejatinya ”perhatian” tersebut adalah pelanggaran hukum. Namun, ada seorang ahli hukum tata negara yang mengatakan bahwa Presiden sebagai kepala negara dapat ikut campur dalam proses penegakan hukum.

Mungkin pandangan ahli hukum tata negara itu benar, tetapi dari sudut hukum pidana memang aneh dan ganjil karena pernyataan ahli hukum tata negara tersebut tidak teliti dalam membaca UUD 1945. Bahwa satu-satunya hak prerogatif yang terkait dengan penegakan hukum tercantum dalam Pasal 14 UUD 1945. Dari sudut hukum pidana khususnya ketentuan KUHAP UU RI Nomor 8 Tahun 1981, surat penghentian penyidikan perkara atau dikenal dengan SP3 dikeluarkan hanya jika tidak terdapat cukup bukti.

Atau, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP) atau dalam tingkat penuntutan, maka penuntutan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (Pasal 140 ayat (2) a KUHAP).

Cara lain adalah saponering sesuai dengan Pasal 35 huruf c UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Kendati demikian, cara terakhir masih dipertanyakan ”demi kepentingan umum”. Bagian mana yang dapat dijadikan alasan Jaksa Agung harus mengeluarkan saponering, sedangkan perkara Novel Baswedan adalah dugaan tindak pidana penganiayaan.

Cara terakhir yang bersifat administrasi projustisia adalah menggunakan Pasal 144 KUHAP yang menyatakan penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan, dengan tujuan penyempurnaan atau tidak melanjutkan penuntutan, cara yang mungkin dapat dilakukan Kejaksaan Agung.

Namun, masih tersisa pertanyaan. Alasan-alasan hukum penuntut untuk tidak melanjutkan penuntutan harus diketahui publik secara jelas sehingga tidak terkesan diskriminatif dan melanggar UU RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Konvensi PBB Antipenyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Perlakuan dan Penghukuman yang Merendahkan (1985) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI.

Selain itu, ”perintah Presiden” melalui Jaksa Agung juga berlawanan dengan Briefing Paper RUU KUHAP Seri IV -Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana jaringan LSM untuk Advokasi RUU KUHAP (2009) khusus untuk perlindungan korban. Jika perintah Presiden benar diwujudkan oleh Jaksa Agung dengan ”mencari-cari” cara yang pas dengan bersandar pada KUHAP, jelas cocok dengan pendapat Satjipto Rahardjo (alm).

Dari sisi kepentingan hukum korban dan dapat digolongkan kepada ”miscarriage of justice” dari sudut perlindungan hak asasi korban kejahatan. Cara tersebutdari sudutkepentingan hukum korban hanya akan menghasilkan ketidakadilan struktural yang telah sejak lama dijadikan jargon kalangan LSM di Indonesia.

Di sinilah letak keganjilan sikap LSM di Indonesia, khususnya LSM yang bersifat ambigu, ketika berhadapan dengan kasus aquo dibandingkan dengan kasus Antasari Azhar yang notabene pimpinan KPK.

Dalam pandangan saya, penyelesaian kasus Novel Baswedan–jika terjadi penghentian apa pun nama dan caranya– justru merupakan antiklimaks terhadap upaya pemerintah menghasilkan banyak instrumen ratifikasi atas Konvensi Internasional tentang Prinsip Perlindungan (HAM) Khusus Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Victims of Crime and Abuse of Power, 1985).

Hal ini sekaligus preseden buruk negara hukum bahwa telah terjadi imunitas–bukan kriminalisasi– terhadap pimpinan dan pegawai KPK terhadap penegakan hukum yang sangat menyinggung hati nurani dan keadilan sesama warga negara Indonesia yang dilindungi UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar