Kamis, 11 Februari 2016

Merancang Pilkada yang Berkualitas

Merancang Pilkada yang Berkualitas

Djohermansyah Djohan  ;   Direktur Jenderal Otda Kemendagri (2010-2014); Presiden Institut Otda
                                                     KOMPAS, 11 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 9 Desember 2015 telah dilaksanakan pilkada serentak di 264 daerah dari 269 daerah yang direncanakan, berlangsung di delapan provinsi, 222 kabupaten, dan 34 kota.

Ada lima daerah tertunda pemungutan suara gara-gara sengketa di pengadilan tata usaha negara (PTUN):Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, dan Kota Manado. Belakangan, Kabupaten Fakfak pada 16 Januari 2016 telah menggelar pencoblosan, begitu pula Provinsi Kalimantan Tengah (27 Januari 2016). Adapun tiga daerah lainnya direncanakan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) susulan pada Februari 2016.

Fenomena unik lain, terdapat tiga kabupaten yang hanya punya satu pasangan calon (Tasikmalaya, Blitar, dan Timor Tengah Utara). Di samping itu, ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial.

Pertama,putusan yang menetapkan PNS, TNI/Polri serta anggota DPR, DPD, dan DPRD wajib mundur saat penetapan pasangan calon. Dampaknya, pilkada minim kandidat karena ”takut” kehilangan status PNS, anggota TNI/Polri, ataupun anggota Dewan. Kedua,putusan yang membolehkan mantan narapidana ikut maju dalam pilkada telah mencederai ketentuan bahwa calon tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Ketiga, putusan penghapusan pembatasan ”politik dinasti” telah mendorong lahirnya kembali calon-calon dari kerabat petahana (anak, mantu, ponakan, dan istri). Keempat, putusan yang menolak mengadili sengketa hasil pilkada jika selisih suara 2 persen lebih, menuai protes dari pencari keadilan. Kelima,putusan tentang calon tunggal yang perlu ditindaklanjuti.

Persoalan lain, akibat dana pilkada yang dibebankan pada APBD, pilkada di puluhan daerah berjalan seret sehingga mengganggu kelancaran tahapan dan tugas KPUD dan Bawaslu. Pilkada serentak yang didengung-dengungkan murah ongkosnya ternyata mahal.

Kemudian, ketiadaan batas ”atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan telah mengakibatkan diborongnya parpol oleh kandidat kuat sehingga muncullah daerah bercalon tunggal. Politik uang dalam pencalonan ataupun pemungutan suara masih merajalela. Terakhir, waktu pelantikan kepala daerah direncanakan pemerintah tidak serentak. Akibatnya, tujuan pilkada serentak untuk menyatukan akhir masa jabatan kepala daerah guna menuju pilkada serentak nasional di 541 daerah otonom bisa buyar.

Perlu dikoreksi

Dari segudang masalah di atas, revisi UU No 8/2015 tentang Pilkada perlu dan mendesak dilakukan. Lebih-lebih lagi pilkada serentak tahap kedua, Februari 2017, sudah di ambang pintu.

Beberapa hal yangperlu dikoreksi, pertama,penetapan pasangan calon bagi PNS, TNI/Polri, anggota DPR, DPD, dan DPRD sebaiknya wajib mundur sejak ditetapkan sebagai pemenang kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, bukan saat penetapan pasangan calon. Ini berguna untuk mencegah calon tunggal. PNS, TNI/Polri, anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi berani maju. Khusus untuk bekas narapidana yang akan maju perlu ditata kembali dengan memperberat syaratnya. Kita menginginkan pilkada berkualitas, yaitu daerah dipimpin oleh orang yang punya integritas, bukan orang yang buruk perangainya. Untuk mencegah munculnya praktik ”politik dinasti” perlu didaur ulang syarat pengaturan relasi calon dengan petahana sehingga tidak bisa dibatalkan MK.

Kedua, dana penyelenggaraan pilkada sebaiknya disediakan melalui APBN, bukan APBD. Mengapa? Hal ini guna menghindari dari ”permainan” anggaran oleh kepala daerah dan DPRD karena berbeda kepentingan politik sehingga APBD-nya terlambat disahkan, yang dapat mengganggu penahapan pilkada serta tugas KPUD dan Bawaslu. Lagi pula, pilkada serentak nasional merupakan agenda strategis nasional sehingga tepat jika didanai dari APBN. Lembaga penyelenggaranya pun KPU dan Bawaslu yang bersifat nasional, bukan lokal.

Ketiga, ambang batas perolehan kursi/suara parpol pengusung kandidat sebaiknya tetap mengacu angka minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah, yang terbukti mampu meminimalkan banyaknya calon. Dulu, dengan UU Pilkada lama, bahkan ada daerah yang jumlah calonnya sampai 11 pasangan. Sekarang, rata-rata jumlah calon yang berkontestasi tiga pasangan. Adapun batas ”atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan sebaiknya tidak perlu diatur. Akan tetapi, yang perlu diatur adalahpemberian sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon, misalnya melarang parpol tersebut mengajukan calon pada pilkada berikutnya.

Keempat,dalam hal penyelesaian sengketa proses pilkada di PTUN hendaknya diberi batas waktu, seperti penyelesaian sengketa hasil di MK selama maksimal 45 hari. Kasus Pilkada 2015 di mana putusan PT-TUN yang berujung pada kasasi di MA memakan waktu lama sehingga pilkada serentak di lima daerah gagal dilaksanakan. Untuk sengketa hasil yang diajukan ke MK, syarat selisih tipis dengan kisaran 0,5 persen-2 persen sebaiknya tetap dipertahankan karena sangat signifikan mengurangi jumlah gugatan. Namun, pembentukan badan peradilan khusus perlu diprioritaskan.

Kelima,pelantikan pemenang sebaiknya tetap dilaksanakan serentak pada Juni 2016 (gubernur 17 Juni di Ibu Kota negara, bupati/wali kota 28 Juni 2016 di ibu kota provinsi) mengikuti batas akhir masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah lama. Pilkada serentak berarti serentak nyoblos dan serentak pula pelantikannya. Hanya dengan itu, nanti akan ketemu pilkada serentak nasional di 541 daerah pada 2027 atau bahkan bisa lebih cepat lagi. Tanpa itu, akhir masa jabatan kepala daerah akan kembali berbeda-beda.
Jika dikatakan pembangunan daerah bisa terganggu, toh di 269 daerah itu kini ada penjabat kepala daerah. Merekalah yang menjalankan pembangunan tahun lalu sehingga penyerapan anggaran daerah meningkat signifikan. Kita harus taat asas kalau betul-betul mau menata sistem pilkada secara serius. Pragmatisme politik harus disingkirkan, lebih-lebih jika ada pikiran supaya bisa mengatur lelang proyek tahun ini.

Revisi mesti dikebut

Masukan lain, dalam revisi UU No 8/2015 seyogianya pilkada tidak dilakukan secara berpasangan, tetapi tunggal (mono eksekutif). Cukup kepala daerah yang dipilih, seperti pada UU No 1/ 2015. Adapun untuk wakil bisa diangkat dari PNS atau non-PNS. Model ini bisa mencegah terjadinya ”pecah kongsi” antara kepala daerah dan wakilnya. Data selama pilkada langsung 2005- 2014, terdapat 971 (94,64 persen) pasangan pecah kongsi dan hanya 55 (5,36 persen) pasangan yang maju bersama kembali.

Kita tidak ingin pemerintah daerah kacau gara-gara kepala daerah dan wakilnya tidak akur, birokrasi terbelah, dan rakyat disuguhi pendidikan politik yang buruk karena pertarungan orang nomor satu dan orang nomor dua. Akhirnya, sanksi pidana terhadap pelaku politik uang, baik penerima maupun pemberi, dalam pemungutan suara pilkada hendaknya diatur dengan tegas.

Revisi tersebut harus dikebut. Sebelum Juni 2016 mesti sudah selesai karena tahapan pilkada serentak Februari 2017 (grup II) dimulai pada Juni 2016. Di tangan pemerintahlah tanggung jawab direktifnya: mau dibawa ke jalan pragmatis atau idealis pilkada serentak kita ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar