Merancang Pilkada yang Berkualitas
Djohermansyah Djohan ; Direktur Jenderal Otda Kemendagri
(2010-2014); Presiden Institut Otda
|
KOMPAS, 11
Februari 2016
Pada 9 Desember 2015
telah dilaksanakan pilkada serentak di 264 daerah dari 269 daerah yang
direncanakan, berlangsung di delapan provinsi, 222 kabupaten, dan 34 kota.
Ada lima daerah
tertunda pemungutan suara gara-gara sengketa di pengadilan tata usaha negara
(PTUN):Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun, Kota
Pematang Siantar, dan Kota Manado. Belakangan, Kabupaten Fakfak pada 16
Januari 2016 telah menggelar pencoblosan, begitu pula Provinsi Kalimantan
Tengah (27 Januari 2016). Adapun tiga daerah lainnya direncanakan
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) susulan pada Februari
2016.
Fenomena unik lain,
terdapat tiga kabupaten yang hanya punya satu pasangan calon (Tasikmalaya,
Blitar, dan Timor Tengah Utara). Di samping itu, ada beberapa putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial.
Pertama,putusan yang
menetapkan PNS, TNI/Polri serta anggota DPR, DPD, dan DPRD wajib mundur saat
penetapan pasangan calon. Dampaknya, pilkada minim kandidat karena ”takut”
kehilangan status PNS, anggota TNI/Polri, ataupun anggota Dewan.
Kedua,putusan yang membolehkan mantan narapidana ikut maju dalam pilkada
telah mencederai ketentuan bahwa calon tidak pernah melakukan perbuatan
tercela. Ketiga, putusan penghapusan pembatasan ”politik dinasti” telah
mendorong lahirnya kembali calon-calon dari kerabat petahana (anak, mantu,
ponakan, dan istri). Keempat, putusan yang menolak mengadili sengketa hasil
pilkada jika selisih suara 2 persen lebih, menuai protes dari pencari
keadilan. Kelima,putusan tentang calon tunggal yang perlu ditindaklanjuti.
Persoalan lain, akibat
dana pilkada yang dibebankan pada APBD, pilkada di puluhan daerah berjalan
seret sehingga mengganggu kelancaran tahapan dan tugas KPUD dan Bawaslu.
Pilkada serentak yang didengung-dengungkan murah ongkosnya ternyata mahal.
Kemudian, ketiadaan
batas ”atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan telah
mengakibatkan diborongnya parpol oleh kandidat kuat sehingga muncullah daerah
bercalon tunggal. Politik uang dalam pencalonan ataupun pemungutan suara
masih merajalela. Terakhir, waktu pelantikan kepala daerah direncanakan
pemerintah tidak serentak. Akibatnya, tujuan pilkada serentak untuk
menyatukan akhir masa jabatan kepala daerah guna menuju pilkada serentak
nasional di 541 daerah otonom bisa buyar.
Perlu dikoreksi
Dari segudang masalah
di atas, revisi UU No 8/2015 tentang Pilkada perlu dan mendesak dilakukan.
Lebih-lebih lagi pilkada serentak tahap kedua, Februari 2017, sudah di ambang
pintu.
Beberapa hal yangperlu
dikoreksi, pertama,penetapan pasangan calon bagi PNS, TNI/Polri, anggota DPR,
DPD, dan DPRD sebaiknya wajib mundur sejak ditetapkan sebagai pemenang kepala
daerah/wakil kepala daerah terpilih, bukan saat penetapan pasangan calon. Ini
berguna untuk mencegah calon tunggal. PNS, TNI/Polri, anggota DPR, DPD, dan
DPRD menjadi berani maju. Khusus untuk bekas narapidana yang akan maju perlu
ditata kembali dengan memperberat syaratnya. Kita menginginkan pilkada
berkualitas, yaitu daerah dipimpin oleh orang yang punya integritas, bukan
orang yang buruk perangainya. Untuk mencegah munculnya praktik ”politik
dinasti” perlu didaur ulang syarat pengaturan relasi calon dengan petahana
sehingga tidak bisa dibatalkan MK.
Kedua, dana
penyelenggaraan pilkada sebaiknya disediakan melalui APBN, bukan APBD.
Mengapa? Hal ini guna menghindari dari ”permainan” anggaran oleh kepala
daerah dan DPRD karena berbeda kepentingan politik sehingga APBD-nya
terlambat disahkan, yang dapat mengganggu penahapan pilkada serta tugas KPUD
dan Bawaslu. Lagi pula, pilkada serentak nasional merupakan agenda strategis
nasional sehingga tepat jika didanai dari APBN. Lembaga penyelenggaranya pun
KPU dan Bawaslu yang bersifat nasional, bukan lokal.
Ketiga, ambang batas
perolehan kursi/suara parpol pengusung kandidat sebaiknya tetap mengacu angka
minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi
perolehan suara sah, yang terbukti mampu meminimalkan banyaknya calon. Dulu,
dengan UU Pilkada lama, bahkan ada daerah yang jumlah calonnya sampai 11
pasangan. Sekarang, rata-rata jumlah calon yang berkontestasi tiga pasangan.
Adapun batas ”atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan sebaiknya
tidak perlu diatur. Akan tetapi, yang perlu diatur adalahpemberian sanksi
bagi parpol yang tidak mengajukan calon, misalnya melarang parpol tersebut
mengajukan calon pada pilkada berikutnya.
Keempat,dalam hal
penyelesaian sengketa proses pilkada di PTUN hendaknya diberi batas waktu,
seperti penyelesaian sengketa hasil di MK selama maksimal 45 hari. Kasus
Pilkada 2015 di mana putusan PT-TUN yang berujung pada kasasi di MA memakan
waktu lama sehingga pilkada serentak di lima daerah gagal dilaksanakan. Untuk
sengketa hasil yang diajukan ke MK, syarat selisih tipis dengan kisaran 0,5
persen-2 persen sebaiknya tetap dipertahankan karena sangat signifikan
mengurangi jumlah gugatan. Namun, pembentukan badan peradilan khusus perlu
diprioritaskan.
Kelima,pelantikan
pemenang sebaiknya tetap dilaksanakan serentak pada Juni 2016 (gubernur 17
Juni di Ibu Kota negara, bupati/wali kota 28 Juni 2016 di ibu kota provinsi)
mengikuti batas akhir masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah lama.
Pilkada serentak berarti serentak nyoblos dan serentak pula pelantikannya.
Hanya dengan itu, nanti akan ketemu pilkada serentak nasional di 541 daerah
pada 2027 atau bahkan bisa lebih cepat lagi. Tanpa itu, akhir masa jabatan
kepala daerah akan kembali berbeda-beda.
Jika dikatakan
pembangunan daerah bisa terganggu, toh di 269 daerah itu kini ada penjabat
kepala daerah. Merekalah yang menjalankan pembangunan tahun lalu sehingga
penyerapan anggaran daerah meningkat signifikan. Kita harus taat asas kalau
betul-betul mau menata sistem pilkada secara serius. Pragmatisme politik
harus disingkirkan, lebih-lebih jika ada pikiran supaya bisa mengatur lelang
proyek tahun ini.
Revisi mesti dikebut
Masukan lain, dalam
revisi UU No 8/2015 seyogianya pilkada tidak dilakukan secara berpasangan,
tetapi tunggal (mono eksekutif). Cukup kepala daerah yang dipilih, seperti
pada UU No 1/ 2015. Adapun untuk wakil bisa diangkat dari PNS atau non-PNS.
Model ini bisa mencegah terjadinya ”pecah kongsi” antara kepala daerah dan
wakilnya. Data selama pilkada langsung 2005- 2014, terdapat 971 (94,64
persen) pasangan pecah kongsi dan hanya 55 (5,36 persen) pasangan yang maju
bersama kembali.
Kita tidak ingin
pemerintah daerah kacau gara-gara kepala daerah dan wakilnya tidak akur,
birokrasi terbelah, dan rakyat disuguhi pendidikan politik yang buruk karena
pertarungan orang nomor satu dan orang nomor dua. Akhirnya, sanksi pidana
terhadap pelaku politik uang, baik penerima maupun pemberi, dalam pemungutan
suara pilkada hendaknya diatur dengan tegas.
Revisi tersebut harus
dikebut. Sebelum Juni 2016 mesti sudah selesai karena tahapan pilkada
serentak Februari 2017 (grup II) dimulai pada Juni 2016. Di tangan
pemerintahlah tanggung jawab direktifnya: mau dibawa ke jalan pragmatis atau
idealis pilkada serentak kita ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar